Oleh: Ahmad Suaedy (Dekan Fakultas Islam Nusantara, UNUSIA, Jakarta)
Di harian Kompas (3/2/20:2) dikutip pernyataan Alissa Wahid, koordinatior nasioal Gundurian, tentang usulannya agar pemerintah meninjau kembali PBM Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri No. 8 dan 9, khususnya bagian aturan tentang pendirian rumah ibadah. Ini sehubungan dengan ramainya pelarangan peringatan Natal di Sumatera Barat, pembatalan dan penyerangan renovasi gereja di Karimun serta penyerangan terhadap Mushalla di Minahasa.
Pengaturan yang ada sekarang, misalnya, mempersyaratkan agar ada dukungan 60 warga (bukan persen) sekitar dan diharuskannya minimal memiliki 90 anggota jamaah atau umat sering menjadi alasan untuk tidak diberikannya rekomendasi dan karena itu tidak bisa berdiri, atau berupa pencabutan dukungan karena tekanan massa.
Alissa mengusulkan agar aturan baru itu tidak melanggar konstitusi dan prinsip hak asasi manusia universal. Sembari mengakui realitas di atas, tulisan ini hendak mencoba mengusulkan beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam peninjauan kembali tersebut.
Paradigma
Saya pernah menindiskusikan ini dengan Lukman Hakim Saefudin, Menteri Agama sebelum ini, bahwa problem pelayanan publik beragama khususnya aturan tentang rumah ibadah adalah karena berangkat dari paradigma yang salah. Menteri Lukman mengakui itu tetapi tidak mudah untuk menembus dan mengubahnya.
Bahwa aturan itu berangkat dari paradigma melindungi mayoritas dan agama negara, bukan melindungi dan melayani warga negara yang beragama untuk melaksanakan kewajiban beribadah dan kebebasan beragama. Di samping itu juga pelayanan rumah ibadah seolah mejadi bagian dari ranah agama itu sediri. Akibatnya aturan itu memang untuk membatasi minoritas dari perspektif mayoritas dan bukan untuk melayani semua warga wegara tanpa kecuali.
Kekacuan paradigma ini bukan hanya terjadi pada kasus PBM ini melainkan juga merambah pada pengaturan beragama lainya, misalnya, pada draf RUU KUB (Kerukunan Umat Bergama) dan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dalam pasal-pasal pengaturan tentang agama yang kini sudah ada di DPR. Semua pasal-pasal tersebut dimasukkan dalam paradigma melindungi mayoritas dan negara itu sendiri yang diasumsikan bahwa negara adalah beragama.
Namun respon terhadap pengaturan itu juga sering sama salahnya. Bahwa seolah pendirian rumah ibadah itu bagian dari ranah agama sehingga tidak perlu diatur dan pemerintah tidak boleh ikut campur. Menurut saya, pemerintah justru harus mengatur pendirian rumah ibadah, pertama, dalam persektif HAM rumah ibadah adalah ranah forum externum dan bukan forum internum.
Kedua, karena itu, rumah ibadah bukan agama itu sendiri dan ketidakaturan atau aturan yang tidak jelas bisa menimbulkan konflik dan kekerasan yang menjadi taggungjawab pemerintah untuk mencegahnya. Jadi, pelayanan rumah ibadah oleh negara adalah pelayanan publik sebagaimana yang lain dan bukan bagian dari agama itu sendiri.
Pembatasan
Maka pengaturan rumah ibadah harus didasarkan pada aturan-aturan umum sebuah bangunan misalnya IMB dan RT RW yang di dalamnya terdapat aturan tentang peruntukan tanah, serta keseimabangan pemeluk agama.
Dalam sebuah wilayah atau Fasum sebuah perumahan, misalnya, tidak memungkinkan dibangunnya banyak tempat ibadah untuk semua aliran dalam satu agama, dan bahkan untuk semua pemeluk agama yang ada. Maka pemerintah bisa mengatur tentang keseimbangan ini berdasarkan ketersediaan dan peruntukan tanah dalam RT RW.
Di kota-kota besar negara-negara maju terdapat wilayah yang sulit untuk tidak dikatakan hampir musthasil untuk mengubah peruntukan tanah hanya untuk membangun rumah ibadah karena bertambahnya pemeluk suatu agama. Oleh karena itu, sulit sekali untuk membangun masjid di daerah tertentu di London, misalnya, bukan karena diskriminasi melainkan karera RT RW yang tidak memungkinkan diubah.
Karena agama Kristen datang lebih awal maka mereka memiliki kelebihan mendapat tanah untuk membagun gereja, sedangkan Islam datang lebih belakangan sehingga tanah sudah diatur secara pasti menurut peruntukannya, sehingga tidak memungkin mendapatkan tanah di kawasan itu.
Namun agama yang datang belakangan bisa memanfaatkan peruntukan tanah yang sudah ada, yaitu untuk kegiatan keagamaan. Maka, untuk membangun masjid, misalnya, beberapa komunitas Muslim di London membeli gereja untuk diubah menjadi masjid. Karena pelayanan rumah ibadah adalah bukan bagian dari agama maka perubahan semacam itu sebagai hal yang lumrah, selama pembeli mampu membayar dan pemilik suka rela menjual. Artinya, pemerintah bisa membatasi rumah ibadah dalam satu kawasan sesuai dengan regulasi pendirian bangunan, RT RW dan peruntukan tanah, serta keseimbangan pemeluk agama di sebuah wilayah.
Ada pasal yang penting di dalam PBM yang sejalan dengan konstitusi dan prinsip HAM universal yang saya kira harus tetap dipertahankan. Bahwa jika ada kelompok atau komunitas beragama dalam suatu wilayah yang tidak memungkinkan untuk memiliki tempat ibadah maka pemerintah wajib menyediakannya. Degan prinsip melayani seluruh warga negara dalam beragama maka pemerintah bisa membangun tempat atau gedung yang bisa digunakan untuk beribadah bagi mereka, mungkin bisa bergantian jika lebih dari satu komuitas.
Perlu ditambahkan di sini bahwa dengan Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyetarakan status Penghayat Kepercayaan dengan Agama maka aturan tetang rumah ibadah harus memasukkan mereka sebagai bagian dari pelayanan rumah ibadah oleh pemerintah.
Nomenklatur
Ombudsman mendapatkan laporan masyarakat yang tidak mendapat pelayanan hanya karena tidak masuk dalam nomenklatur pelayanan Kementrian. Sebuah kelompok di Kalimantan Tengah mengurus Akte pendirian dan disyahkan oleh Kemenkumham dengan memasukkan kata ‘agama’ di dalam nama kelompok itu. Namun akibatnya fatal, baik kementerian agama maupun kementerian pendidikan dan kebudayaan menolak melayani mereka dengan alasan nomenklatur.
Kemenag beralasan bahwa agama yang ada di Akte tidak termasuk dalam enam agama sehingga tidak masuk dalam mandat untuk melayani mereka. Sedangkan Kemendikbud beralasan karena ada kata agama maka mereka tidak bisa memberikan pelayanan karena di luar mandat mereka yang hanya melayani penghayat atau aliran kepercayaan. Ada juga pemeluk penghayat yang tidak bisa dilayani karena tidak termasuk dalam organisasi penghayat yang diakui dengan jumlah minimal anggota yang dipersyaratkan.
Saya kira pemerintah sudah harus mengakhiri permainan kata-kata dan nomenklatur ini dan membagun paradigma baru bahwa pelayanan diberikan kepada semua warga negara pemeliuk agama da penghayat sesuai dengan Putusan MK. Pemerintah juga perlu segera mempertimbangkan untuk mengubah nomenklatur pelayanan kepada agama pada Pasal 4 PP No. 83/ 2015 tentang Kementerian Agama dengan menunjuk “jenis pelayanan agama” bukan “nama agama” dalam kedirjenan.
Kedirjenan hendaknya diberi nama pada jenis pelayanan, misalnya, Pendidikan Agama, Hari Besar Agama, Haji atau Pilgrim (bagi non Muslim), saksi dalam sumpah, dan sebagianya sehingga ketika Kemenag hendak melebarkan pelayanan kepada agama di luar yang enam atau bahkan penghayat tidak lagi terbentur pada mandat dalam nomenklatur nama agama.
Pemerintah juga perlu menyusun aturan atau UU baru dengan paradigma pelayanan kepada seluruh warga negara yang juga menjamin kesamaan martabat dan posisi politik penghayat kepercayaan dan agama.
Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di portal Fakultas Islam Nusantara, UNUSIA, Jakarta