Oleh: Gedong Maulana Kabir (Mahasiswa Pascasarjana CRCS-UGM 2019)
Pemahaman mengenai agama (sebagai terjemah dari kata religion) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh paradigma “agama-agama dunia” (world religions). Paradigma ini bukan saja merembesi kebijakan negara dan percakapan sehari-hari masyarakat, melainkan juga dunia akademik. Padahal, dalam tren kesarjanaan studi agama mutakhir, paradigma ini sudah banyak dikritik, karena ia cenderung menyederhanakan praktik keagamaan yang kompleks dan amat beragam, sementara batas-batas agama itu sendiri sering tidak bisa dipancangkan dengan tegas.
Sebagai contoh, masyarakat adat Ammatoa di Sulawesi mengekspresikan keagamaannya ketika ‘berrelasi’ dengan hutan, yang mereka pandang sebagai ‘person non-manusia’ (non-human person). Paradigma agama dunia yang terlalu menekankan dimensi teologis akan melihat praktik yang demikian ini sebagai ‘animis’ dan tidak seutuhnya valid sebagai agama, betapapun masyarakat Ammmatoa sendiri menyebutnya sebagai praktik beragama. Karena paradigma semacam ini, ‘animis’ cenderung bermakna peyoratif sekaligus inferior terhadap agama-agama yang diakui di Indonesia. Pendek kalimat, ini menggambarkan bagaimana paradigma agama dunia mengeksklusi kepercayaan lokal.
Karena dampak eksklusi itu, tampaknya kita perlu menggeser paradigma, dari paradigma agama dunia menuju apa yang akan kita sebut paradigma agama leluhur (indigenous religion paradigm). Di CRCS, topik ini dibahas dalam mata kuliah Academic Study of Religion yang diampu oleh Dr Samsul “Anchu” Maarif. Kelas ini menggunakan rujukan antara lain From Primitive to Indigenous: The Academic Study of Indigenous Religions karya James L Cox (2007) dan Indigenous Religion Paradigm: Re-interpreting Religious Practices of Indigenous People karya Samsul Maarif (2019) sendiri.
Problem reifikasi dan hierarki
Di Indonesia, cara pandang tentang ‘apa-itu-agama’ sebenarnya masih mewarisi paradigma Eropa abad 19. Banyak orang masih menyebut aspek-aspek seperti memiliki Tuhan, figur pendiri/nabi, kitab suci, ritual, dan pengikut lintas bangsa untuk menengarai bahwa suatu tradisi valid disebut agama. Namun, studi agama mutakhir menunjukkan bahwa pemahaman tentang agama semacam ini bukan lahir dari ruang kosong. Ia bahkan adalah fenomena yang muncul belakangan, yang lahir seturut modernisasi abad 19, yang diekspor orang-orang Eropa ke ‘Timur’. Ekspresi keagamaan yang sebelumnya cair dan inklusif kemudian ditegaskan batas-batasnya dan membeku, mengalami ‘reifikasi’, dan dipakai sebagai standar untuk mengidentifikasi ekspresi keagamaan lain dan menilai kelayakannya untuk disebut sebagai agama. (Lebih dalam mengenai sejarah makna agama, baca: Agama [Religion] sebagai Konstruksi Modern)
Di samping aspek-aspek seperti Tuhan, nabi, kitab suci, dst, Maarif (2019) mengajukan pandangan bahwa agama-agama dunia melahirkan cara pandang dunia yang hierarkis dalam tiga aspek, yaitu supernatural, culture, dan nature. Dimensi supernatural (wilayah spiritual, sakral, termasuk konsep tentang Tuhan atau dewa-dewa) paling tinggi posisinya, yang diiikuti culture, tempat manusia, dan diakhiri dengan nature (yang mencakup hewan dan tumbuhan) di posisi terbawah hierarki ini. Relasi hierarkis ini menempatkan manusia dan nature dalam relasi subjek-objek.
Relasi ini bermasalah ketika ia menjadi standar untuk menilai tradisi kepercayaan yang menempatkan relasi antara manusia dan alam dalam posisi yang setara. Dari sinilah lahir anggapan bahwa pemeluk agama leluhur menyembah pohon, sungai, batu, dst. Untuk membendung anggapan semacam inilah paradigma agama leluhur menemukan signifikansinya.
Relasi intersubjektif
Apa itu paradigma agama leluhur? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting untuk dipahami bahwa paradigma agama leluhur tidaklah sama persis dengan agama leluhur itu sendiri (yang boleh disebut dengan istilah lain seperti agama lokal misalnya). Agama leluhur adalah realitas tradisi keagamaan yang dipraktikkan masyarakat lokal/adat, sedangkan paradigma agama leluhur merupakan cara pandang baru yang dikembangkan para akademisi untuk menengarai bagaimana para pemeluk agama leluhur itu memandang dunia.
Dalam perspektif yang ditawarkan Samsul Maarif (2019), paradigma agama leluhur ini dibangun di atas relasi intersubjektif. Di tingkat filosofis, paradigma ini berangkat dari kritik terhadap personhood (ke-diri-an) dalam perspektif modern yang berdiri di atas dualisme ontologis: subjek/manusia dan objek/alam. Paradigma agama leluhur memandang bahwa baik diri-manusia maupun diri-yang-lain (baik manusia maupun non-manusia) bisa menjadi subjek. Dalam kalimat lain, paradigma ini memandang kosmos ini dibangun di atas relasi sesama subjek, bukan subjek dengan objek.
Dalam penjelasan Maarif, relasi intersubjektif ini pada gilirannya mengejawantah dalam tiga prinsip etis, yaitu responsibility, ethics, dan reciprocity. Responsibility bermakna bahwa setiap subjek dalam relasi intersubjektif memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan untuk menjamin kesejahteraan antarsubjek dalam relasi tersebut. Ethics berarti kesadaran bahwa yang diperbuat satu subjek akan berdampak terhadap subjek lain dalam relasi tersebut. Reciprocity bermakna hubungan timbal-balik, bahwa apa yang aku berikan adalah apa yang akan aku dapatkan, atau apa yang aku dapat sebenarnya merupakan apa yang telah aku berikan. Melalui ketiga komitmen ini, relasi intersubjektif mewujud.
Dalam kerangka itu, relasi masyarakat adat dengan hutan adat tidak bisa semata dianggap sebagai relasi antara manusia dan objek (hutan). Mengikuti paradigma agama leluhur, relasi yang terjadi di sini adalah antara subjek manusia dan subjek non-manusia. Masyarakat adat tetap utuh eksistensinya jika masih hidup bersama dan berrelasi dengan hutan adatnya.
Standar baru?
Paradigma agama leluhur yang dibangun dari relasi intersubjektif akan lebih inklusif, karena ia cenderung melihat tindakan keagaman, alih-alih aspek teologis dan ritual seperti dalam paradigma agama dunia. Dalam paradigma agama leluhur, relasi intersubjektif antara manusia dan pohon, gunung, sungai sampai pada leluhur bisa dilihat sebagai relasi keagamaan tanpa beban makna peyoratif. Hingga taraf tertentu, paradigma ini mungkin bisa mengembalikan cara kita memandang agama sebelum mengalami reifikasi.
Hanya saja, satu kekhawatiran yang layak diajukan ialah adanya potensi dari paradigma ini untuk turut jatuh dalam perangkap yang sebelumnya menjebak paradigma agama dunia, yakni ketika dia menjadi parameter baru untuk menilai tradisi lain. “Kinds of relationship that ignore those principles are irreligious,” tulis Maarif (2019: 115), “Ragam relasi yang mengabaikan prinsip-prinsip itu adalah irreligius.”
Karena itu, penting mengikuti ajakan James Cox untuk melihat ulang kompleksitas agama leluhur dalam dua tingkat. Pertama, apakah standardisasi elemen-elemen dalam agama leluhur merupakan konstruksi para akademisi yang diturunkan (sekaligus direfleksikan) dari teori-teori awal sebelum studi empiris terhadap komunitas agama leluhur dilakukan? Kedua, mungkinkah mengompilasi kepercayaan komunitas agama leluhur yang amat beragam sehingga kita bisa mendapatkan elemen-elemen umum yang bisa menginklusi mereka semua guna merumuskan definisi yang menyeluruh?
Kita belum bisa mendapatkan jawaban pasti dari kedua pertanyaan di atas, kalau bukan malah tidak mungkin, karena saking sulitnya untuk menginventarisasi semua agama leluhur di atas bumi. Tetapi pertanyaan yang diajukan Cox itu dapat membawa kita untuk memikirkan sejumlah alternatif lain yang boleh jadi lebih mengakar dalam isu ini. Misalnya, siapa berbicara atas nama siapa ketika seseorang mereprentasikan agama leluhur? Mungkinkah membuat agama leluhur bersuara atas nama dirinya sendiri? Atau, pertanyaan yang lebih radikal lagi, yang membayangi semua pertanyaan dalam tulisan ini: apakah ‘agama’ itu sendiri mungkin dan perlu untuk didefinisikan?
Pertanyaan terakhir tak mudah dijawab. Semoga nanti setelah lulus kuliah di CRCS saya punya bekal lebih banyak untuk menjawabnya. Amin.
“Tulisan ini pertama kali terbit di situs web CRCS UGM dan diterbitkan ulang di sini atas seizin CRCS.”