Beranda Publikasi Kolom Mistik Kejawen sebagai Agama Jawa

Mistik Kejawen sebagai Agama Jawa

4978
1
Mistik Kejawen sebagai Agama Jawa

Oleh: Rohmatul Izad (Dosen Filsafat IAIN Ponorogo)

M

istik kejawen sesungguhnya merupakan manifestasi dari agama Jawa. Agama Jawa adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam praktik religi tersebut, sebagian orang meyakini ada pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya agama Hindu, Budha, dan Islam. Sebaliknya ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada sebelum ada pengaruh lain.

Paling tidak dalam kaitan itu, telah banyak bukti berupa karya-karya sastra Jawa yang merupakan tuntunan bagi para penganut mistik kejawen. Karya-karya yang dihasilkan oleh para pujangga Jawa itu, sebagian memang ada pengaruh agama lain. Karya-karya seperti Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa, Serat Cebolek karya Yasadipura, Serat Centhini karya Pakubuwana V, merupakan karya-karya besar yang memuat pengetahuan mistik kejawen.

Berbagai karya besar para pujangga tersebut, seringkali oleh para penganut mistik kejawen dijadikan sebagai petunjuk praktis dalam menjalankan laku spiritual. Bahkan tak jarang pula di antara mereka meyakini karya leluhur itu sebagai pedoman dalam menjalankan mistik kejawen. Oleh karena yang mereka lakukan berkiblat dari buah karya para leluhur yang telah memiliki pengalaman batin, ada sebagian yang sering menyakralkan beberapa karya pujangga. Mereka lalu beranggapan bahwa laku mistik kejawen itu sebagai salah satu wacana religiusitas yang pantas dihormati.

Sebagai sebuah agama Jawa, tentu saja mistik kejawen akan mengatur hubungan manusia secara horizontal dan secara vertikal. Hubungan secara horizontal disebut memayung hayuning bawana dan secara vertikal dinamakan manunggaling kawula gusti. Hubungan tersebut memiliki dimensi spiritual yang dikenal dengan sebutan panembah. Artinya, manusia Jawa akan berbakti kepada Tuhan melalui ritual mistik kejawen (Suwardi Endraswara, 2012).

Boleh dibilang esensi agama Jawa adalah pada pemujaan nenek moyang atau leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui sikap mistik dan slametan. Meskipun secara lahiriah mereka memuja kepada roh dan juga kekuatan lain, namun esensinya tetap terpusat kepada Tuhan. Jadi, agama Jawa yang dilandasi sikap dan perilaku mistik tetap tersentral kepada Tuhan. Tuhan adalah sumber anugerah, sedangkan roh leluhur dan kekuatan sakti tadi hanyalah perantara saja.

Titik sentral dari agama Jawa, tak lain termanifestasi pada ritual-ritual slametan yang dioplos dengan adat-istiadat Jawa. Tradisi rakyat yang masih primitive dan puritan justru sering mewarnai keaslian hubungan mistik. Para penganut mistik biasanya sangat memercayai adanya slametan sebagai tindakan visual mistik. Slametan dipandang sebagai sebuah representasi harapan yang penuh pengorbanan secara ikhlas lahir dan batin.

Agama Jawa adalah perwujudan keluhuran budi manusia kepada Tuhan. Agama dalam konteks Jawa juga dinamakan ageming aji, artinya bukan agama itu milik raja, melainkan agama Jawa adalah pengorbanan hidup. Aji artinya kesaktian, yang kokoh, yang tak tergoyahkan, dan inilah petunjuk. Jadi, agama Jawa adalah pituduh jati yang sering disebut sebagai pepadhang. Pepadhang berarti huda (petunjuk yang jernih). Atas dasar pepadhang itu, orang Jawa akan tentram hidupnya.

Dalam konteks mistik kejawen, mistisisme merupakan suatu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu yang melibatkan jenis kesadaran tertentu, di mana simbol-simbol inderawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak seolah-olah terhapuskan. Jiwa merasa disatukan dalam suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya. Dalam bentuk idealnya, mistisisme menimbulkan pengakuan bahwa penyatuan seperti itu telah terjadi secara empiris, semua individualitas menghilang dan diserap dalam lautan keilahian yang Mahaluas (M. Soehadha, 2008).

Dalam praktik mistik kejawen lazim disebut juga dengan laku batin. Laku batin pada sebagian masyarakat Jawa, biasanya dilakukan melalui ritual perorangan maupun melalui ritual kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan. Dalam sejarahnya, praktik mistik kejawen berkembang melalui berbagai perkumpulan kebatinan yang muncul sejak abad ke-20 dan mengalami perkembangan yang cukup pesat semenjak kemerdekaan Indnesia pada 1945 (Mark R. Woodward, 2017).

Agama Jawa adalah pituduh jati yang sering disebut sebagai pepadhang. Pepadhang berarti huda (petunjuk yang jernih). Atas dasar pepadhang itu, orang Jawa akan tentram hidupnya.

Pada saat ini, organisasi-organisasi kebatinan (kejawen) masih tetap menunjukkan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran dan praktik ritual masing-masing. Meski bentuk dan cara laku batin beraneka ragam, dan masing-masing gerakan kebatinan mengembangkan dogma dan ritual mereka secara khas dan berbeda-beda, namun pada hakikatnya apa yang mereka lakukan merupakan bentuk tindakan mistik yang berakar pada nilai budaya kejawen yang sama.

Dari berbagai perkumpulan kebatinan yang ada di Indonesia itu, sebagiannya memiliki keanggotaan terbatas, yaitu hanya dari kalangan penganut agama tertentu atau kelompok tertentu saja, dan sebagian besar organisasi kebatinan terbuka bagi para pengikut berbagai agama maupun berbagai golongan sosial, termasuk mereka yang mengaku dirinya sebagai abangan. Di antara gerakan kebatinan di Jawa yang bersifat terbuka dan memiliki anggota para penganut dari berbagai agama itu adalah Pangestu.

Menurut Clifford Geertz (1997), dari segi luarnya gerakan-gerakan kebatinan nampak mengajarkan doktrin-doktrin yang agak berbeda satu sama lain, tetapi mereka pada dasarnya sama saja dalam mistik-filosofinya. Mistik kejawen adalah metafisika terapan, yang merupakan serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisis intelektual dan pengalaman.

Intinya, jalan mistik kejawen merupakan sebuah jalan kesejatian nan unik yang bisa disamakan dengan jalan menuju pusat kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati menurut para mistikus Jawa tidak dapat dilihat dari seberapa banyak ia memiliki emas, atau bagaimana ia mampu membangun istana megah gemerlap, namun kebahagiaan sejati itu adalah apabila seorang individu mampu membangun pribadi agar jadi manusia yang benar-benar manusia.

Sementara itu, konsep mistik kejawen sebenarnya merupakan hasil dari perpaduan antara budaya lama dan budaya baru. Perpaduan itu semacam bercampurnya air dengan warna yang menjadi sebuah sajian “es campur”, sehingga tampak manusia dan enak. Perpaduan budaya spiritual inilah yang banyak dikenal dengan istilah sinkretisme. Karena itu, tidak salah bila Hadiwijoko (1996) mengatakan bahwa di Jawa telah terjadi sinkretisme antara agama Siwa, Budha, Hindu, dan Islam yang diramu menjadi bentuk kebatinan Jawa.

Sehingga dalam memahami mistisisme Jawa tidaklah bisa tunggal dan monolitik. Ada lapisan-lapisan dalam mistisisme Jawa yang sifatnya beragam dan bermacam corak itu dapat digali melalui banyak sistem kebudayaan yang menyatu dengan masyarakat Jawa dan selanjutnya membentuk cara pandang kejawen yang khas.

Sinkretisme di Jawa telah diolah dan disesuaikan dengan adat istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau kejawen. Sinkretisme ini oleh manusia Jawa juga dianggap sebagai sebagai tradisi rakyat. Itulah sebabnya melalui sinkretisme, yang selanjutnya dipelopori oleh kelompok abangan, semakin kental dan sulit dikenali mana budaya yang mendapat pengaruh dan mana budaya asli. Bahkan banyak masyarakat Jawa yang sudah tidak begitu peduli mempersoalkan antara yang asli dan tidak asli. Mereka dengan ikhlas menerima kontak budaya spiritual itu dan selanjutnya hasil sinkretisme itu diakui sebagai pemiliknya.

Dengan kata lain, sinkretisme yang sering dianggap sebuah campur bawur dan bernilai negatif, tidak selamanya benar. Sinkretisme, bukan ibarat sebuah masakan gado-gado yang kurang bumbu. Sinkretisme adalah sebuah masakan gudheg, yang tampak beraroma sedap, manis, enak, dan selaras. Karena itu, harus diakui bahwa dialektika budaya spiritual Jawa jelas sulit meninggalkan sinkretisme. Proses dialektis ini menjadi roda spiritual yang pada galibnya, bisa dikatakan bahwa budaya Jawa berada dalam “proses menjadi” dari kurang mapan menjadi lebih mapan.

Karena memang, dalam ritual mistik kejawen, ternyata memang ada laku-laku yang sepantasnya juga mendapat pengaruh Hindu-Budha, terutama laku semedi. Pengaruh budaya seperti perhitungan tahun Saka dan pengembangan sastra keagamaan Hindu yaitu Ramayana dan Mahabarata ke dalam budaya istana yang halus dan canggih, juga merupakan perwujudan sinkretisme.

Konsep mistik kejawen sebenarnya merupakan hasil dari perpaduan antara budaya lama dan budaya baru. Perpaduan itu semacam bercampurnya air dengan warna yang menjadi sebuah sajian “es campur”, sehingga tampak manusia dan enak. Perpaduan budaya spiritual inilah yang banyak dikenal dengan istilah sinkretisme

Belakangan, mistik kejawen menemukan bentuknya yang paling khas dari sentuhan sufisme atau mistisisme dalam Islam. Hal ini pula yang diamini oleh Woodward (2017) dengan mengatakan bahwa ritual-ritual kejawen yang ada di Kraton dan berbagai sistem mistik kejawen berasal dari sistem kepercayaan dalam Islam. Kendati memang tidak murni berasal dari ruh Muhammad, tetapi tetap khas Islam.

Lepas dari persoalan, apakah ajaran mistik kejawen berakar dari agama Islam, atau apakah Islam-lah yang dipengaruhi oleh sistem kepercayaan asli Jawa, umumnya orang setuju bahwa ajaran gerakan mistik kejawen bersifat sinkretik, memadukan antara kepercayaan asli Jawa dengan berbagai agama dan kepercayaan di dalamnya, terutama Hindu, Budha, dan Islam.

Pengaruh ajaran Islam dalam mistik kejawen tercermin dalam tujuan praktik ritual kebatinan yang menekankan tercapainya insan kamil, yakni manusia sempurna, yang dapat mencapai manunggal dengan Tuhannya, Manunggaling Kawula Gusti. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini hampir menjadi ajaran pokok di setiap karya sastra Jawa yang mengembangkan ajaran-ajaran keislaman, seperti Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pamong Kawula Gusti, Suluk Saloka Jiwa Serat Wedhanta, yang merupakan koleksi kepustakaan Islam kejawen yang sering menjadi acuan para penganut perkumpulan kebatinan Jawa.[]

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini