Oleh: M. Fazil Pamungkas (kolomnis historia.id)
R
akyat Maluku harus terlibat dalam perkelahian orang-orang Eropa di negerinya. Selalu berakhir sebagai pihak yang terjajah. Daya tarik Kepulauan Maluku seolah tidak akan ada habisnya. Rempah kebanggan mereka (pala dan cengkeh) telah membuka jalan bagi kepulauan di sebelah timur Makassar itu bergaul dengan bangsa dari belahan bumi lain. Berjalan cukup baik di awal, namun berubah kacau kemudian. Bangsa asing itu perlahan memperlihatkan kerakusannya.
Tercatat ada empat bangsa Eropa yang secara gamblang berlomba menarik hati rakyat Maluku, yakni Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Semuanya datang dalam waktu yang cukup berdekatan. Setiap kali satu kekuatan runtuh, kekuatan lain dengan sigap mengambil alih. Maluku tidak pernah sepi dari para pencari kekuasaan. Inggris menjadi yang paling dicintai, sementara Belanda yang paling dicaci.
Sejak abad ke-16 hingga empat abad setelahnya, Maluku secara langsung terlibat dalam ajang pergumulan orang-orang Eropa tersebut. Wilayah Ambon, Bacan, Banda, Ternate, dan Tidore menjadi pusat kegiatan para pendatang itu. Berawal dari penemuan jalur menuju Nusantara oleh bangsa Portugis, petualangan mereka mencari aneka bumbu yang mewah di Eropa itu pun dimulai.
Dari hasil penelitian sejarawan Meta Sekar Puji Astuti diketahui bahwa orang-orang Eropa itu datang karena dorongan sebuah dongeng yang sengaja dibuat di tempat mereka. Dongeng yang berasal dari para pedagang Arab itu menyebut sebuah tanaman yang dapat memberi cita rasa untuk segala jenis makanan. Bahkan dipercaya mampu menyembuhkan beberapa jenis penyakit yang saat itu mewabah di daratan Eropa. Namun yang paling menarik perhatian rakyat Benua Biru adalah harganya.
“Selama bertahun-tahun pala diperdagangkan di Jalur Sutra oleh orang-orang Arab dengan harga ribuan kali lipat dari wilayah asalnya,” kata Meta kepada Historia.
Gabungan Kekuatan
Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku. Para pelaut dari barat daya Eropa ini merapatkan kapalnya pada 1512, setelah setahun sebelumnya memastikan penguasaan Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, para penjelajah Portugis tiba di bawah pimpinan Fransisco Serrao, salah satu kapten kapal dalam ekspedisi Antonio de Abreu. Dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di wilayah Maluku.
Kedatangan Serrao di Maluku mendapat sambutan yang hangat dari penduduk. Meski sejumlah hambatan, utamanya komunikasi, sempat membatasi hubungan kedua bangsa ini, dengan cepat halangan tersebut diatasi. Orang-orang Portugis mampu beradaptasi dengan baik. Belum lama mereka tinggal, kepercayaan rakyat sudah berhasil didapat.
Penduduk Ternate, kata Pires, menjadi kawan terdekat bangsa Portugis di Maluku. Pemimpinnya, Sultan Bayanullah, banyak memberikan bantuan. “Kabarnya raja ini sangat memegang teguh keadilan. Ia menjaga rakyatnya agar tetap patuh. Ia berkata bahwa ia akan sangat senang bertemu dengan pendeta Kristen, karena apabila keyakinan kita tampak lebih baik di matanya maka ia akan meninggalkan sektenya (agama Islam), kemudian memeluk agama Kristen.”
Perlahan namun pasti, orang-orang Portugis mulai menyebarkan pengaruhnya di Maluku. Mula-mula Ternate dikuasai, baik secara politik maupun budaya, kemudian daerah-daerah di sekitarnya turut menjadi incaran. Namun hambatan besar mulai dirasakan saat mereka mencoba menguasai Tidore. Wilayah yang sejak lama berselisih dengan Ternate itu menolak kehadiran mereka. Portugis pun lantas menggunakan cara keras dalam usaha menguasai kerajaan milik ayah Sultan Bayanullah tersebut.
Tekanan dari Portugis membuat posisi Tidore terpojok. Gempuran persenjataan lengkap bangsa Eropa itu sangat menyulitkan. Tidore membutuhkan bantuan besar. Dalam penelitian Hubert Jacobs, A Treatise on the Moluccas: Probably the Prellminary Version of Antonio Galvao’s Lost, disebutkan bahwa pertolongan tak terduga tiba pada 8 November 1521.
Dua orang pelaut Spanyol, Carvalhinho dan Goncalo Gomes, tiba di Tidore bersama sejumlah pasukan. Mereka diterima dengan baik ketika memasuki pelabuhan Tidore. Spanyol pun praktis terlibat dalam perselisihan Tidore-Ternate. Sekaligus menantang musuh bebuyutannya di Eropa yakni Portugis dalam perebutan kuasa atas rempah Maluku.
“Dengan demikian dalam perang itu terdapat di satu pihak Tidore yang dibantu orang-orang Spanyol dan di lain pihak Ternate yang dibantu orang-orang Portugis,” Sartono Kartodirdjo, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid 3.
Perang di Maluku terjadi dalam suasana yang serba tidak menentu. Meski dalam sejumlah peperangan kekuatan Ternate bersama kawan-kawan Portugisnya lebih unggul, tetapi mereka tidak bisa mempertahankan keutuhan dari dalam. Koalisi Tidore-Spanyol dan Ternate-Portugis ternyata tidak bertahan lama. Semakin lama rakyat semakin melihat sifat buruk orang-orang Eropa itu, yang sedari awal hanya mengincar rempah-rempah milik mereka dengan cara memecah belah penduduk Maluku.
Keruntuhan kuasa Spanyol dan Portugis di Maluku semakin terlihat setelah kedua negara itu menyepakati Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. Di tambah sejumlah peristiwa di dalam masing-masing kerajaan yang melibatkan bangsa asing, membuat suasana semakin keruh. Ikut campurnya mereka dalam urusan politik kerajaan adalah sebab utama rakyat ingin kedua bangsa itu keluar dari Maluku.
Sejumlah perlawanan mulai digelorakan rakyat di beberapa tempat. Meski dua tokoh utama, Ternate dan Tidore, belum berbaikan, tetapi perlawanan yang terpecah itu mulai merepotkan kedudukan Portugis dan Spanyol. Rakyat berhasil menduduki benteng pertahanan, dan melucuti persenjataan keduanya. Portugis bahkan terusir dari tanah Ternate pada 28 Desember 1577. Mereka pun terpaksa mengungsi ke pulau-pulau sekitar untuk mengamankan diri.
“Portugis dan Spanyol disatukan di bawah Raja Felipe II, dan raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol yang berkedudukan di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-orang Portugis di Maluku,” tulis Kartodirdjo.
Dibantu tentara Spanyol, Portugis berusaha merebut kembali Ternate. Namun sayang pada 1605, Belanda keburu datang mengacaukan jalannya perang di perairan Maluku. Kekuatan gabungan Portugis-Spanyol pun akhirnya teralihkan ke Belanda. Rakyat Maluku yang sudah muak dengan dua bangsa Eropa tersebut lantas memberi bantuan kepada Belanda. Meski tidak tahu bagaimana perangai para pendatang ini.
Gabungan kekuatan Ternate-Belanda mampu memukul mundur Spanyol dari Ternate dan Tidore. Segera Belanda membangun benteng-benteng pertahanan di beberapa tempat strategis. Pada 1620-an Belanda sudah berhasil mengamankan posisinya di Perairan Maluku. Mereka akhirnya bisa mulai memonopoli rempah dengan tenang.
Menuju Perjalanan Panjang
Rupanya ketenangan dalam proses monopoli ini tidak begitu saja didapat. Meski Portugis dan Spanyol telah disingkirkan, Belanda kembali dipusingkan dengan keberadaan orang-orang Inggris. Pasukan Raja James itu telah menempati perairan Maluku sejak 1605. Namun mereka tidak ikut serta dalam konflik Portugis-Spanyol. Inggris sibuk membangun wilayah koloninya, seperti terlihat di pulau Run.
Menurut I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura, rakyat Maluku dipaksa berhutang budi kepada Belanda ketika proses pengusiran Portugis dan Spanyol. Akibatnya mereka harus menuruti segala permintaan Belanda, termasuk melarang penduduk menjual rempah-rempahnya kepada bangsa lain. Semua perdagangan rempah diatur dengan menempatkan Belanda sebagai prioritas.
Para penguasa diikat oleh kontrak agar Belanda dapat mudah memonopoli rempah-rempah. Mereka juga mulai membangun pertahanan, dan menyiagakan banyak armada di perairan Maluku. Hal itu dilakukan guna menghalau serangan dari Inggris yang sudah menguasai Banda. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories and Mirackles of Nature, Jan Russell menyebut jika Belanda sulit menembus pertahanan Inggris di Banda. Mereka pun sementara hanya bisa menancapkan pengaruhnya di Ambon, Saparua, dan sebagian Maluku Tengah.
“Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” ucap Meta.
Kebencian rakyat terhadap orang-orang Belanda mulai muncul setelah pemerintahan asing itu membuat kebijakan yang memberatkan rakyat. Perlakuan semena-mena, ditambah sistem tanam paksa yang menyengsarakan, membuat rakyat Maluku semakin menutup hatinya untuk para kompeni. Rakyat semakin yakin bahwa orang-orang ini tidak lebih baik dari Portugis dan Spanyol.
Tahun 1796 terjadi keributan di Ambon. Kehadiran kapal-kapal berbendera Inggris membuat rakyat bertanya-tanya tentang situasai yang terjadi. Bendera Belanda yang semula berkibar di benteng Victoria juga sudah berganti menjadi ‘Union Jack’ milik Inggris. Ratusan tentara bersenjata lengkap ada di seluruh penjuru kota.
Rupanya telah terjadi pergantian kekuasaan antara Belanda dan Inggris atas perairan Maluku. Perang yang berkecamuk di Eropa antara Inggris dan Prancis memaksa kerajaan Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di Afrika dan Asia kepada Inggris.
“Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pengetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mau mengerti pergolakan apa yang sedang terjadi di sana,” tulis Nanulaitta.
Kepanikan melanda rakyat Maluku. Mereka khawatir tentang nasibnya di bawah penjajah baru ini. Tindakan nekat pun akhirnya menjadi pilihan. Sejumlah orang mencoba menyerang benteng pertahanan Inggris. Namun pada akhirnya perlawanan tersebut dapat dihalau. Sebagai konsekuensi, para pemberontak itu dieksekusi.
Perlahan Inggris membangun pemerintahan di seluruh perairan Maluku. Pengalaman selama di Banda dan Run, ditambah informasi tentang cara Belanda memerintah, membuat Inggris cukup berhati-hati dalam membuat kebijakan. Melalui peraturan yang dibuat, Inggris melakukan pendekatan terhadap rakyat dengan cara yang berbeda.
Beberapa peraturan perdagangan yang sebelumnya sangat memberatkan mulai diperlunak. Kerja rodi tetap dipertahankan namun diperingan. Rakyat juga diberi kebebasan dalam berbagai aktifitas. Bahkan Inggris melibatkan penduduk dalam sistem militer mereka, dan membentuk kesatuan khusus untuk rakyat.
“Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebun-kebun cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras juga,” kata Nanulaitta.
Namun kesedihan kembali harus dirasakan rakyat Maluku. Tujuh tahun kebebasan di bawah pemerintah Inggris sirna begitu saja ketika mengetahui orang-orang Belanda kembali menerima hak atas tanah Maluku. Keresahan melanda seluruh negeri. Kepergian bangsa yang memberi kedamaian sangat diratapi rakyat Maluku.
Tahun-tahun berikutnya konflik antara Inggris dan Belanda atas Maluku terus terjadi. Keduanya bergantian memberi pengaruh di tanah kelahiran Pattimura tersebut. Sampai pada kondisi di mana Inggris sudah tidak dapat lagi menginjakkan kakinya di sana. Sebuah perjanjian tahun 1816, Traktat London, menyelesaikan konflik Inggris-Belanda di Maluku untuk selama-lamanya. Dengan gagahnya Belanda mampu menyingkirkan tiga pesaing berat, dan berkuasa penuh atas Maluku.
Sumber: Historia.id