Oleh: Siti Mariatul Kiptiyah (Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)
Kajian terhadap karya tafsir Al-Qur’an berbahasa lokal telah menyentuh banyak daerah di Indonesia. Salah satunya adalah Jawa. Tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa sedikitnya ditulis dalam tiga aksara, yaitu carakan, pegon dan latin. Ketiga varian aksara ini menurut Islah Gusmian (2016:141-168) menunjukkan basis sosial pengarang di mana penerjemahan atau penafsiran Al-Qur’an dilakukan. Pegon, misalnya menjadi aksara pilihan para ulama pesantren. Carakan lekat dengan tradisi tulis ulama kraton atau kauman. Sedangkan latin banyak digunakan ulama basis putihan atau urban.
Terjemah Al-Qur’an carakan yang dianggap paling tua adalah Kitab Kur’an: Tetedakanipun ing Tembang Arab Kajawekaken. Naskah ini terbit pada 1858 oleh percetakan Lange & Co. of Batavia (Uhlenbeck, 1964: 54). Namun, menurut Pigeaud (1967: 66), terjemah Al-Qur’an beraksara carakan sudah ada sejak abad ke-18. Buktinya adalah naskah berkode Lor 2097-R-15.710 koleksi perpustakaan Profesor Roorda di Delf dan Leiden. Bukti tersebut memperlihatkan betapa upaya memahami Islam di Nusantara telah melahirkan tradisi penerjemahan Al-Qur’an berabad-abad lalu. Namun, terjemahan Al-Qur’an beraksara carakan hanya berlangsung sampai awal abad ke-20 dan selanjutnya lebih populer menggunakan aksara latin.
Model Penyajian
Tulisan ini membahas beberapa terjemah dan tafsir Al-Qur’an carakan abad ke-20. Secara penyajian terdapat dua bentuk, yaitu tembang dan gancaran. Contoh dalam bentuk tembang adalah Sekar Sari Kidung Rahayu: Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma karya Ahmad Djawahir Anomwidjaja (1992). Sedangkan bentuk gancaran memiliki dua model. Pertama, naskah yang tidak menyertakan teks ayat dan seluruhnya menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Contoh dari varian ini adalah manuskrip Serat al-Fatekah dengan cap warna merah di halaman sampul yang menunjukkan stempel kerajaan masa Mangkunegaran IV (1853-1881). Naskah ini anonim dan ditulis tanpa menyertakan teks ayat Al-Qur’an. Menariknya, meskipun berjudul Serat al-Fatekah, isi kitab ini mencakup terjemah Al-Qur’an lengkap 30 juz dengan jumlah 530 halaman.
Kedua, naskah yang menyertakan teks Arab ayat Al-Qur’an serta menempatkan terjemah maupun tafsirnya di samping atau di bawahnya. Misalnya, terjemah Al-Qur’an berjudul Quran Jawen karangan penghulu Kepatihan di kraton Surakarta sekaligus guru Pesantren Man’baul Ulum, bernama Mas Ngabehi Muhammad Amin bin ‘Abdul Muslim. Kitab ini dicetak oleh penerbit A.B. Siti Syamsiyah Surakarta pada 1932-1935. Isinya berupa terjemah Al-Qur’an lengkap 30 juz dalam lima jilid. Jilid pertama memuat juz 1-6, jilid kedua berisi juz 7-12, jilid ketiga terdiri dari juz 13-18, jilid keempat memuat juz 19-24, dan jilid kelima memuat juz 24-30. Penulisan kitab ini mencakup teks ayat Al-Qur’an di sebelah kanan halaman lalu terjemahnya berada di sebelah kiri. Pada kitab ini penomoran halaman tetap menggunakan angka Arab. Dalam setiap surat dibatasi oleh halaman pembuka lengkap dengan foto pengarang serta halaman iklan yang menampilkan buku-buku terbitan A.B. Siti Syamsiyah.
Pada 1927, Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Surakarta juga menerbitkan Qur’an Jawen. Sayangnya, penulis hanya menjumpai satu jilid dari terjemahan ini yang memuat juz ke-10 dari Q.S. al-Anfal (8): 41-75 hingga Q.S. at-Taubah (9): 1-93. Kitab ini memuat 78 halaman ditambah empat halaman sampul dan dua halaman revisi.
Dalam penyajiannya, teks Al-Qur’an ditulis di sebelah kiri dan terjemahan Jawanya berada di sebelah kanan, sebuah model yang tidak biasa. Dengan menempatkan terjemahan di sebelah kanan, dapat diduga bahwa pembaca yang dibayangkan pengarang lebih banyak menaruh perhatian pada terjemahannya. Model ini untuk menjawab kebutuhan pembaca akan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Sebab, bagi sebagian orang Jawa kala itu melafalkan teks Al-Qur’an yang berbahasa Arab sangat sulit, begitu juga memahami maksudnya. Sedangkan mengenai penggunaan aksara Jawa disebabkan komunitas pembaca yang dituju adalah orang-orang Jawa kalangan kraton atau kauman yang secara literasi familiar dengan aksara Jawa. Hal ini sesuai teori Johanna Pink (2017:143-154), bahwa bentuk terjemahan yang bermacam-macam memiliki fungsi masing-masing dan berkaitan dengan audien yang dituju.
Dari terjemah menuju tafsir
Beberapa karya yang telah disebutkan di atas sesuai dengan judulnya masing-masing secara umum didominasi terjemahan Al-Qur’an 30 juz. Karena sifatnya terjemahan, maka tidak banyak penafsiran yang dilakukan selain hanya menambahkan penjelasan singkat atas ayat-ayat tertentu. Tafsir Al-Qur’an beraksara carakan dengan penjelasan cukup panjang muncul dalam kitab berjudul Tafsir Surat Wal Asri karya Siti Chayati. Karya ini juga menjadi varian lain dari karya-karya sebelumnya yakni dengan menyajikan model tafsir per surat. Menurut informasinya, Tafsir Surat Wal Asri diterbitkan pada 1924 di Surakarta. Sesuai dengan judulnya, kitab ini berisi penafsiran Q.S. al-Asr (103): 1-3. Kitab ini ditulis setebal 16 halaman dan menjadi koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta dengan kode Taf 297.122.
Pada periode selanjutnya, terbit Tafsir Qur’an Jawen Pandam lan Pandoming Dumadi oleh A.B. Siti Syamsiyah Surakarta. Dalam pelacakan penulis, penerbit A.B. Siti Syamsiyah ini dipegang oleh anggota Muhammadiyah Surakarta yang banyak menerbitkan buku dan majalah keislaman. Kitab ini mengalami cetak sebanyak tiga kali dimulai dari 25 Januari 1928. Jumlahnya dua jilid dengan tebal 562 halaman ditambah halaman pengantar, transliterasi Arab-Carakan, dan halaman revisi. Jilid pertama terdiri dari Juz ke-1 Q.S. al-Fatihah (1): 1-7 hingga Q.S. al-Baqarah (2): 1-53 dan jilid kedua Q.S. al-Baqarah (2): 54-141.
Sesuai dengan judulnya, Tafsir Qur’an Jawen tidak sekedar menyajikan terjemahan Al-Qur’an melainkan juga tambahan penjelasan yang luas dan kontekstual pada zamannya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sumber-sumber penafsiran yang digunakan pengarang cukup banyak. Di antaranya Mushaf Al-Mufassar, Tafsir Al-Manar dan Tafsir al-Jawahir yang disebut pengarang sebagai karya-karya yang melandasi penulisan Tafsir Qur’an Jawen. Sedangkan dalam menafsirkan Al-Qur’an pengarang banyak mengutip beberapa kitab lain seperti tafsir Jalalain, tafsir Jamal, tafsir al-Tabari, tafsir al-Khazin, tafsir al-Kasyaf, tafsir al-Baidhawi, tafsir Abi Su’ud, dan tafsir fi-Zilal al-Qur’an, bahkan ihya’ ulumiddin dan Bibel.
Berdasarkan pembahasan di atas, banyak terjemah dan tafsir Al-Qur’an carakan terbit di Surakarta dan beberapa di antaranya ditulis oleh intelektual Muhammadiyah. Ini menunjukkan bahwa tradisi menulis carakan dalam terjemahan Al-Qur’an abad ke-20 masih terpelihara dengan baik. Naskah-naskah tersebut membuka cakrawala sejarah, produksi pengetahuan, dan perkembangan Islam di Jawa. Dengan munculnya terjemah dan tafsir Al-Qur’an beraksara Jawa, maka semakin mempertegas eksistensi Islam Nusantara.[]