Beranda Publikasi Kolom Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Penginjil dari Lereng Gunung Kelud

Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Penginjil dari Lereng Gunung Kelud

4768
0

Oleh: Tony Firman (Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya)

Ibrahim Tunggul Wulung berdakwah tentang Konsep Ratu Adil dan Messiah Jawa untuk memperkenalkan Kristus.

Penyebaran Kekristenan di tanah Jawa memang unik. Dengan seabrek kebudayaan dan kepercayaan lokal berbalut mistisisme pra-Islam, menuntut para penginjil untuk mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa tersebut.

Pun begitu, pihak Belanda memang tak begitu berminat mengkristenkan tanah Jawa. Intensitas ajeg Belanda dalam mengirim para penginjil baru terlihat sejak 1848, ketika tiga misionaris masuk ke Jawa. Dari tiga orang tersebut, hanya Jellesma yang tampaknya benar-benar menjalankan tugas keagamaan di sebuah desa Kristen Mojowarno yang sudah eksis sebelumnya.

Tetapi toh peran Jellesma justru sebagai pemertebal iman orang-orang Kristen Mojowarno dibanding berdakwah mendapatkan pemeluk Kristus yang baru. Begitu pula dengan para penginjil dari Barat selanjutnya, peran mereka banyak melayani jemaat Kristen dari kalangan Eropa maupun bumiputera yang sudah ada sebelumnya.

Kedatangan para misionaris meningkat antara 1860-1870. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh-tokoh Kristen dari kalangan bumiputera yang mendapuk pemuka agama Kristen.

Rata-rata adalah para tokoh masyarakat dengan wawasan ngelmu yang mumpuni. Pengajarannya soal Kekristenan bercampur dengan narasi mistisisme Jawa. Para penginjil dari Barat mengkritik mereka, bahkan tak jarang melabeli para tokoh Kristen Jawa ini sebagai orang yang dangkal ilmunya.

Tetapi dari merekalah justru agama Kristen mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat Jawa yang beragam. Para pendakwah Kristen Jawa jelas boleh balik menyerang bahwa para penginjil Barat ini tak paham apa-apa soal mistisisme Jawa dan segenap struktur sosial budaya masyarakat Jawa.

Dari sederet tokoh pendakwah Kristen Jawa yang menonjol, salah satunya adalah kemunculan seorang dari Jepara bernama Ngabdullah, yang belakangan setelah menjadi pendakwah Kristen Jawa memiliki nama Ibrahim Tunggul Wulung.

Tunggul Wulung Menerima Kristus

Buku karya penelitian C. Guillot berjudul Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa mencatat soal perjalanan hidup Ngabdullah. Ia lahir pada awal abad ke-19 di Kawedanan Juwana dekat Jepara. Dari laporan resi Jepara menyebutkan bahwa Ngabdullah muda adalah seorang petani.

Suatu ketika pada 1840, Jepara sedang dilandai kesulitan ekonomi yang hebat lantaran aturan sistem Cultursteelsel yang tengah diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Kesulitan ekonomi yang parah ini mendorong Ngabdullah untuk pergi merantau ke tempat baru, Kediri yang dituju.

Di Kediri, Ngabdullah memilih tinggal di daerah Gunung Kelud. Menurut Jellesma, di sana Tunggul Wulung menjadi seorang pandito (pertapa). Dari hasil pertapaannya ini, Ngabdullah memutuskan untuk ganti nama jadi Tunggul Wulung.

Nama Tunggul Wulung sendiri memang melegenda di Kediri dan khususnya Gunung Kelud. Ia diyakini sebagai jenderal kesayangan Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri.

Dalam narasi Serat Babad Kadhiri yang ditulis oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja, setelah selesai masa baktinya untuk Prabu Jayabaya, Tunggul Wulung memilih jadi siluman yang diperintahkan tinggal dan menjaga Gunung Kelud dari segala perbuatan yang kotor dan jahat.

Tampaknya hal inilah yang membuat seorang Ngabdullah memilih nama sakral Tunggul Wulung sebagai identitas dirinya yang baru, di tempat yang baru, dan memulai hidup baru. Babak baru dalam hidupnya sebagai seorang pandito yang kental dengan unsur kebudayaan dan mistisisme Jawa berlanjut saat ia mulai mengenal Kristus.

Sejauh ini para peneliti belum dapat mengungkap dengan pasti, kapan seorang Ngabdullah yang bersalin nama menjadi Tunggul Wulung ini mulai mengenal ajaran Kristus. Ada beberapa versi cerita, salah satunya dari Tunggul Wulung sendiri.

Suatu hari ia mendapat wahyu yang memerintahkan dirinya mencari keterangan mengenai “Kesepuluh Perintah” yang ditemukan di bawah tikar tempat tidurnya. Peristiwa ini kemudian mengantarkan Tunggul Wulung untuk berangkat ke Mojowarno, sebuah desa Kristen di selatan Jombang, untuk menemui seorang misionaris bernama Jellesma.

Jellesma kemudian memberinya kitab Perjanjian Baru. Tunggul Wulung pun tinggal beberapa bulan di Mojowarno dan setelah itu mengembara ke sebuah desa Kristen kecil bernama Belum. Letaknya tidak jauh dari Ngoro, desa Kristen yang dibuka oleh Coolen, seorang pendakwah Kristen asal Belanda.

Campuran mistisisme Jawa dan Kekristenan Tunggul Wulung membuat para misionaris Barat menganggapnya kurang Kristen. Salah satunya Pieter Jansz, misionaris Mennonit asal Jepara yang tidak bersedia membaptis Tunggul Wulung.

Menurut buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang kudu dijelaskan lagi. Tampak aspek sinkretisme menonjol dalam ajaran Kristen ala Ibrahim Tunggul Wulung.

Di mata para zending, Tunggul Wulung tak lebih dari sekedar guru agama biasa yang merangkap dukun tersohor pada masanya. Terlebih perawakan Tunggul Wulung mendukung auranya sebagai seorang guru atau kiai. Dia digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar, hidung mancung menjulang, dan wajah yang menimbulkan rasa hormat bagi siapapun yang memandang.

Perjumpaan Tunggul Wulung dengan para penginjil Barat lainnya seperti Bruckner di Semarang, Hoezoo dan F.L. Anthing jelas tampaknya tidak mengubah sinkretisme Jawa dan Kristen yang dia praktikkan.

Dibaptis dan Mengabarkan Kristus

Versi lain datang dari Jellesma, misionaris pertama yang datang ke Jawa pada 1848 dan melayani orang-orang Kristen Jawa di Mojowarno. Betapapun rekan misionaris lainnya menilai Tunggul Wulung dengan kacamata Kristen ala Barat, Jellesma justru paham tentang kekhasan Kristen Jawa—bisa melihat Tunggul Wulung dengan cara berbeda.

Lagipula, Jellesma sudah punya kesan baik akan Tunggul Wulung sejak ia mengaku mendapat wahyu berupa Sepuluh Perintah di bawah tikar tidurnya. Apalagi Tunggul Wulung telah menemui Jellesma, Coolen, dan Penginjil Barat bernama Emde.

Sejak itu, Tunggul Wulung berkelana ke berbagai tempat sambil mengajarkan Injil.

Laporan Komite Jawa (Java Comite) mencatat soal semangat Tunggul Wulung ini. “Walaupun usianya sudah 60 tahun, dengan semangat dan ketekunan yang meluap-luap demi bangsanya, ia berjalan kaki dari kota ke kota, dari desa ke desa, untuk mengabarkan Injil, tanpa menerima bantuan keuangan sedikitpun dari siapapun.”

Jellesma pun membaptis Tunggul Wulung bersama istrinya, Endang Sang Purnawati pada 6 Juli 1857 dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung. Selama dua puluh tahun berikutnya, Ibrahim Tunggul Wulung berkelana ke banyak tempat di Pulau Jawa mengajarkan agama Kristen.

Meski Tunggul Wulung senang bertemu dengan para misionaris Belanda, namun ia tak setuju dengan sistem perwalian zending yang menempatkan penginjil bumiputera di bawah asuhan penginjil Barat.

Setelah dibaptis Jellesma, Tunggul Wulung memilih mendirikan komunitas jemaat Kristen yang mandiri dari Belanda. “Kristen Jowo”, demikian komunitas itu dikenal, akhirnya bersaing dengan kaum “Kristen Londo”. “Tidaklah baik bagi orang-orang Jawa berkumpul di kediaman misionaris Belanda” kata Tunggul Wulung.

Tunggul Wulung membuka Hutan Bondo, menyusul pendirian desa Kristen seperti Banyutowo, Tegalombo dan lainnya. Sama seperti Coolen, peran Tunggul Wulung di desa-desa tersebut sebagai pendiri, kepala desa, sekaligus pengkhotbah tentang “Ratu Adil Isa Rohallah”.

Saat berada di Bondo, Tunggul Wulung ditemui oleh Radin Abas, seorang santri yang tengah keluar berkelana mencari ilmu dan jati diri. Belakangan Radin Abas masuk Kristen dengan nama Kiai Sadrach, yang kelak diingat sebagai figur intelektual Kristen Jawa dengan latar belakang pengetahuan agama dan kebudayaan Jawa.

Misionaris Semarang F.L. Anthing suatu ketika menawari Tunggul Wulung untuk menyebarkan agama dari rumah ke rumah. Imbalannya, ia akan mendapat upah. Karena merasa segan mengingat ia sudah tinggal di rumah Anthing, akhirnya Ibrahim mengerjakan tugas tersebut selama lima bulan, berkelana di sekitar Batavia, Bogor, dan Tangerang. Setelah berhenti dari pekerjaan itu, Ibrahim melanjutkan perjalanannya sendiri ke Purbalingga, Banyumas, dan Purwokerto.

Ibrahim Tunggul Wulung meyakini ada kesamaan baik isi ajaran maupun tujuan antara Islam dan Kristen. Karena itu melarang para pengikutnya menghina Nabi Muhammad barang sedikitpun. Konsep Ratu Adil dan Messiah Jawa pada akhirnya mendominasi pengajarannya tentang agama Kristen.

Namun cibiran para penginjil Barat tak pernah berhenti. Bagi misionaris Barat seperti Hoezoo, Ibrahim “memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam Kawa dan dia pergunakan ungkapan-ungkapan Arab, yang menurut dia sesuai dengan pengajaran Kristen, baik makna maupun tujuannya.”

Poensen, misionaris Barat yang melayani Kediri menyebut, “Dia memang sarat dengan ngelmu. Saya yakin bahwa yang diajarkan kepada murid-muridnya lebih banyak ngelmu yang berasal dari Hindu-Budha daripada Kristen.” Sementara misionaris Ganswijk menyebut pengetahuan Tunggul Wulung tentang Injil “sangat dangkal.”

Diketahui pula Tunggul Wulung punya keahlian lain. Sambil merapal jampi-jampi, ia bisa menyembuhkan orang sakit hanya dengan hembusan atau menggosok daerah yang sakit. Kata orang, ia kebal dan dapat mengusir roh jahat.

Sikap lainnya yang bikin jengkel orang-orang Belanda adalah keengganan Tunggul Wulung duduk bersila dan berlutut ketika ] berkomunikasi dengan para pejabat pemerintah termasuk misionaris. Ia memilih tetap berdiri dalam balutan busana Eropa. Sedangkan di hadapan para pengikutnya, ia menempatkan dirinya bak sosok pangeran Jawa yang memimpin jemaatnya dengan penuh percaya diri.

Bagaimanapun juga, adalah kerja-kerja Tunggul Wulung menyebar ajaran Kristus lewat jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen Londo yang dihimpun oleh para penginjil Barat.

Seiring usianya yang kian senja, sejak 1875 Ibrahim Tunggul Wulung tinggal di sekitar Gunung Muria sampai tutup usia pada 1885. Ketika ia wafat, jumlah pengikut Kristen di desa tersebut mencapai 1.058 orang. Pasca kematiannya, tak semua jemaat mengikuti warisan pemikiran Ibrahim Tunggul Wulung.

Jansz menyebut, beberapa dari mereka mulai membelot dengan mendekati orang-orang Belanda untuk belajar kekristenan di bawah naungan Gereja Mennonite.[]

Sumber: tirto.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini