Ferdy Hidayat (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Konflik & Perdamaian, Universitas Kristen Duta Wacana)
Peradaban manusia selalu berada dalam dinamika perubahan yang ditandai oleh konflik dan kompromi. Dalam konteks sejarah, teori dialektika filsuf idealis GWF Hegel telah menunjukkan bagaimana mekanisme perkembangan masyarakat melalui tahapan-tahapan kontradiksi dan penyesuaian yang berkesinambungan.
Sebagaimana diketahui, bahwa Hegel melihat sejarah sebagai perjalanan Roh Dunia (seluruh perkataan, pikiran, kebudayaan manusia) yang terus berkembang, di mana setiap periode sejarah mengandung tesis, yang kemudian ditantang oleh anti-thesis (negasi), dan menghasilkan sintesis (negasi atas negasi) sebagai bentuk baru yang lebih maju (Hegel terj, 2014).
Jostein Gaarder dalam Novel filsafat Dunia Sophie, menganggap bahwa filsafat Hegel terutama adalah metode untuk memahami kemajuan sejarah, yang secara khusus mengajarkan kita untuk berfikir produktif. Seluruh sistem filsafat Hegel mempunyai satu kesamaan, yang berupaya menetapkan kriteria abadi untuk apa yang dapat diketahui manusia tentang dunia.
Hegel percaya bahwa dasar kesadaran manusia berubah dari satu generasi ke genarasi berikutnya, sehingga tidak ada kebenaran abadi dan tidak ada akal yang kekal. Satu-satunya titik pasti yang dapat dijadikan pegangan bagi filsafat adalah sejarah itu sendiri (Gaarder, 2013).
Penulis hendak menunjukkan salah satu manifestasi dari proses dialektis Hegel ini, dengan memperlihatkan bagaimana sekelompok masyarakat berusaha mengatasi kontradiksi (krisis kemanusiaan), untuk mencapai kondisi sosial yang harmonis dan rasional.
To Di Ulunna Salu
Secara administratif, kelompok masyarakat yang penulis rujuk ini, bermukim di Provinsi Sulawesi Barat, dengan mayoritas berada di Kabupaten Mamasa. Mereka dikenal dengan sebutan to di ulunna salu (orang yang bermukim di hulu sungai) dan menekankan kedekatan budaya dengan suku Mandar dan suku Toraja.
Sebagaimana akan diulas, to di ulunna salu menunjukkan bahwa sejarah merupakan suatu proses dialektis, yang menempatkan realitas dan kesadaran manusia yang terus-menerus berkembang dari waktu ke waktu.
Hal ini diawali dari seorang tokoh bernama Nenek Pongka Padang (leluhur to di ulunna salu), yang berangkat dari Sa’dang (Toraja) untuk mencari wilayah baru, dan memilih menetap di daerah Tabulahan (saat ini Kecamatan di Kabupaten Mamasa). Ia kemudian bertemu dan menikah dengan seorang gadis bernama Torije’ne, lalu melahirkan keturunan yang disebut tau pitu (keturunan tujuh bersaudara) (Mandadung, 2005).
Ketujuh anak ini juga melahirkan cucu bagi Pongka Padang dan Torije’ne dengan sebutan tau sappulo mesa (keturunan sebelas bersaudara). Mereka diberi warisan dan menjadi penghuni pertama (pembuka) di wilayah yang diwariskan dan diberi amanah untuk menjadi peletak dasar sebuah komunitas baru, yang bertanggung jawab atas nilai-nilai sosial kehidupan di tempatnya bermukim. Daerah-daerah warisan ini, mencukup beberapa tempat yang saat ini berada di Kabupaten Mamasa, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Polewali Mandar, dan Kabupaten Majene (Sahuding, 2008).
Namun demikian, cerita-cerita tentang keturunan Pongka Padang ini dilanjutkan dengan berbagai perselisihan eksternal dan internal. Perselisihan yang bahkan menimbulkan peperangan. Mulai dari peperangan dengan kerajaan tetangga, seperti kerajaan Tinanta (kerajaan di Kaili Sulawesi Tengah) dan kerajaan-kerajaan di daerah pesisir Pitu Ba’bana Binanga (kerajaan di wilayah Polewali Mandar dan Majene), hingga perang saudara, antar sesama keturunan Pongka Padang (tau sapulo mesa).
Salah satu perang saudara yang paling dikenal adalah Perang Lohe (perang antara Tabulahan dan Lohe-Kalumpang). Peristiwa perang ini tentu disesalkan, karena masih dekatnya hubungan persaudaraan antara Tabulahan (saat ini kecamatan di Kabupaten Mamasa) dan Kalumpang (saat ini kecamatan di Kabupaten Mamuju) (Amir, 2016; Limbong Lola, 1996).
Peperangan dengan wilayah tetangga dan sesama saudara dalam internal to di ulunna salu menghasilkan sistem yang berorientasi pada nilai-nilai harga diri (Siri’) atau rasa malu. Hal ini pada akhirnya menggerakkan warga to di ulunna salu yang selalu mengedepankan balas dendam sebagai tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.
Dalam hal ini, tatanan hukum yang berlaku pada saat itu adalah Ada’ Mate (adat mati), yang menganut falsafah mata ganti mata, gigi ganti gigi. Hukum ini memiliki prinsip “Pampuli tedong paottong karambu” (seseorang yang melakukan pelanggaran, dihukum setimpal dengan perbuatannya) (Stepanus, 2019).
Refleksi Hegel
Dapat disimpulkan bahwa sejarah masyarakat to di ulunna salu yang dilalui dengan berbagai peristiwa peperangan, telah menghasilkan tatanan hukum ada’ mate. Namun bagi Hegel, sejarah adalah kisah Roh Dunia yang lambat laun mendekati kesadaran. Ia melihat bahwa meskipun dunia selalu ada, kebudayaan dan perkembangan manusia telah membuat Roh Dunia semakin menyadari nilainya yang hakiki.
Refleksi Hegel, nampaknya juga berlaku bagi perjalanan sejarah masyarakat to di ulunna salu. Hal ini karena, refleksi seorang tokoh bernama Londong Dehata (Nene’ Tomapu’) yang melihat bahwa tergerusnya persaudaraan dan tatanan hukum yang tidak manusiawi harus diperbaiki. Nene’ Tomampu’ membuka komunikasi dan diplomasi, dengan mengajak para pemangku adat to di ulunna salu,untuk menciptakan tatanan sosial lebih manusiawi.
Hal pertama yang dilakukannya adalah mengikrarkan janji persekutuan untuk membentuk federasi yang disebut dengan kehadatan Pitu Ulunna Salu (PUS). Deklarsi diikuti oleh tujuh Lembang (daerah/wilayah), yakni Tabulahan, Bambang, Mambi, Aralle, Rantebulahan, Tabang (Kabupaten Mamasa), dan Matangga’ (Polewali).
Beberapa versi memasukkan Tu’Bi (suatu daerah di Ulumanda’, Kabupaten Majene) dan mengeluarkan Tabulahan atau Tabang (Masao, 2002). Terlepas dari beragam versi itu, deklarasi ini kemudian dilaksanakan di Buntu Sumarran (bukit yang berada di Talippuki, Kecamatan Mambi) dan ditetapkan sebuah ikrar sebagai tanda bahwa PUS telah terbentuk, dengan bunyi:
”Palempei palipi’mu. Patananni talingammu. Perangii matin oninna mane’ londong, londongna Londong Dehata. Ma’pake’de’ limbong lembang Pitu Ulunna Salu di Talippuki Lisuan Ada’.” (Miringkanlah pelipismu. Pasanglah Telingamu. Dengarkanlah kokok ayam, ayam jantan Dewata mendirikan persekutuan lembang Pitu Ulunna Salu di Talippuki, sebagai hasil kesepakatan adat) (Sahuding, 2008).
Ikrar persekutuan antar wilayah dalam PUS didasarkan pada prinsip egalitarianisme, kesederajatan, dan persaudaraan. Artinya tak ada satu wilayah yang dapat menguasai wilayah lainnya. Kesamaan derajat membuat persekutuan PUS tak memiliki pemimpin yang tunggal, namun masing-masing memiliki peranan dan fungsinya. Tujuh pa’lembangam yang mengikuti deklarasi tersebut, berdasarkan hasil kesepakatan masing-masing mendapat kewenangan, ada yang menjadi penerima tamu dan juru bicara, pelindung adat, hingga kewenangan mengurusi masalah keamanan.
Selain itu, tatanan hukum Ada’ Mate yang berlaku di PUS sebelumnya, juga dirubah menjadi Ada’ Tuo dengan prinsip “Dikondo Tedong Ditampa Bulawan” atau “Tuo Tammate Mapia Tangkadake” (persoalan apapun yang terjadi, selalu ada jalan untuk menyelesaikan secara baik dan damai). Hukum ini mengutamakan harkat dan martabat hidup manusia (pelanggar/pelaku) bahkan segenap makhluk di alam semesta. Ada tuo sarat dengan prinsip-prinsip hidup yang mengungkapkan keterkaitan erat antara setiap individu dan masyarakatnya. Hukum ada’ tuo berbunyi:
Dibatta bitti’ tau, tappa dibitti’ tedom (memotong kaki manusia, diganti kaki kerbau), Dibatta bitti’ tedom, tappa dibitti’ babi (memotong kaki kerbau, diganti kaki babi) Dibatta bitti’ babi, tappa dibitti’ mane’ (memotong kaki babi, diganti kaki ayam) Dibatta bitti’ mane’, kada pamoleinna, (memotong kaki ayam, kata-kata yang baik menjadi pengobatnya) (Madarhakad, 2013).
Sejarah masyarakat to di ulunna salu menunjukkan bagaimana pembentukan federasi PUS dan Ada’ Tuo (anti-tesis) terhadap tatanan awal (tesis) menghasilkan (sintesis)—bentuk masyarakat baru yang lebih maju.
Pembentukan Federasi PUS dengan prinsip egalitarianisme dan persaudaraan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip universal dapat diimplementasikan dalam sejarah, sebagai proses di mana kesadaran manusia terus berkembang menuju realisasi kebebasan dan rasionalitas yang lebih tinggi. Begitu juga dengan transformasi dari Ada’ Mate ke Ada’ Tuo yang mencerminkan perkembangan kesadaran kolektif masyarakat.
Keduanya menunjukkan evolusi Roh Dunia, di mana kesadaran masyarakat berkembang dari penerapan hukum yang keras menuju prinsip-prinsip yang mengutamakan martabat dan kesejahteraan individu. Namun sebagaimana sejarah yang terus berkembang, maka pembentukan federasi PUS tentu tidak luput dari anti-tesis yang baru. Ia tidak statis, melainkan dinamis.
Antropolog Amerika Kenneth M. George (Tuan Ken/nama yang diberikan oleh penduduk setempat) melalui penelitian etnografis, menggambarkan bahwa etnisitas ambigu to di ulunna salu tidak cukup hanya diklasifikasikan sebagai “bukan Mandar dan bukan juga Toraja”, atau juga sesuatu di antaranya “Toraja pesisir dan Mandar pedalaman”. Karena saat ini, to diulunna salu lebih ditunjukkan dengan kembali kepada identitas wilayah—To Mambi, To Aralle, To Bambang (orang yang berasal dari Mambi, dari Aralle, atau dari Bambang) (M. George, 1996).
Referensi
Amir, M. (2016). Penataan Mandar Masa Kolonial Belanda 1905-1942. Penerbit Arus Timur.
Gaarder, J. (2013). Dunia sophie: Sebuah novel filsafat/Jostein gaarder (cet. 8). Mizan.
Hegel, G. W. F. (2014). Filsafat Sejarah/G.W.F.Hegel. Diterjemahkan oleh Win Usuluddin dan Harjali. Penyunting: Sunarto. (Cetakan Ketiga, edisi revisi). Panta Rhei Books.
Limbong Lola, E. (1996). Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan (ISSN 0852 • 2685; Sistim Upacara Keagamaan di Kecamatan Mamasa Dati II Polmas). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
M. George, K. (1996). Showing Signs of Violence: The Cultural Politics of a Twentieth-Century Headhunting Ritual. University of California Press.
Madarhakad. (2013). Studi Komparasi Falsafah Ada’ Tuo Tentang Pelanggaran dan Pengampunan dengan Teori Restorative Justice Menurut Howard Zehr [Tesis Pascasarjana]. Universitas Kristen Duta Wacana.
Mandadung, A. (2005). Keunikan Budaya Pitu Ulunna Salu Kondosapata Mamasa (Pertama). Pemerintah Kabupaten Mamasa.
Masao, Y. (2002). Penelusuran Bahasa Pitu Ulunna Salu: Kedudukannya dalam Penelitian Bahasa di Sulawesi Selatan. Analisis Tahun III, No 5.
Sahuding, S. (2008). PUS & PBB dalam lmperium Sejarah. Nurimuri Transmedia.
Stepanus, Lattu, I. Y. M., & Tampake, T. (2019). Ritual, Ruang Bersama, dan Rekonsiliasi Masyarakat Lokal di Mamasa, Sulawesi Barat. Religió: Jurnal Studi Agama-Agama, 9 (2).
Kita sebagai penerus anak-anak pitu uluna salu khususnya yang di kecamatan mambi, aralle, bambang, dan tabulahang, harus menghargai budaya dan tradisi yang sudah di lakukan pendahulu kita yaitu saling menghargai satu dengan yang lain.