Sunarto (Pengajar Filsafat dan Musikologi pada Jurusan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang).
Salah satu musik di Indonesia yang paling populer dan perkembangan terkadang paling kontroversial, adalah: Dangdut. Dangdut, sebagai salah satu musik popular Indonesia, telah menjadi ciri khas atau “musik asli Indonesia”. Dangdut mempunyai sejarah perkembangannya yang cukup panjang: dari Dangdut Melayu sampai Dangdut Koplo; dari hibrida yang terdiri dari unsur-unsur Melayu, India, Arab, sampai pengaruh Barat.
Di samping sisi kesejarahannya, Dangdut juga membawa wacana yang cukup kontroversial, yaitu relasinya dengan sosial dan Islam. Seorang professor musik dari Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, dalam bukunya, Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music (2010) (Oxford New York: Oxford University Press, Inc.) mengupas keterkaitan Dangdut dengan realitas sosial dan Islam. Menurut Weintraub, telah terjadi konflik ideologi dalam Dangdut, yang melibatkan Islam dan moralitas.
Konflik tersebut dalam era kontemporer semakin membesar. Artikel ini mencoba menguak bagaimana analisis seorang Weintraub terhadap Dangdut dalam mengeksplorasi persimpangannya dengan Islam dan menjelaskannya melalui analisisnya tentang konteks sejarah, lagu teks, dan gaya musik. Weintraub menjelaskan berbagai posisi dan perdebatan seputar Islam dan moralitas sebagaimana diwujudkan dalam spektrum musik dan tari Dangdut, bisa dibilang musik daerah dan nasional paling populer dalam sejarah Indonesia.
Meskipun pendahulu musik Dangdut sebelum tahun 1960-an sangat beragam, termasuk Gambus dan terutama Orkes Melayu (gaya ansambel Melayu di Sumatra Utara), Dangdut benar-benar muncul di bawah bintang perintis utamanya, Rhoma Irama. Weintraub meneliti berbagai posisi dan sub genre Dangdut serta perdebatan publik tentang moralitas dalam musik populer yang berpusat pada pakaian, gerakan tubuh, dan lirik lagu.
Ironisnya, Dangdut memiliki banyak ciri khas Islam, baik dalam hal teknik musik maupun nuansa gaya. Sebagai contoh, meskipun Dangdut sebagian besar merupakan perpaduan antara Orkes Melayu, musik film Hindi, dan Rock Barat, unsur-unsur Arab merupakan komponen penting dalam musik dan beberapa penyanyi terkenal bersaksi bahwa pelatihan nyanyian Islam (Tilawa) sangat penting untuk menguasai orna- mentasi dan estetika yang tepat.
Berbicara tentang Dangdut, tidak dapat lepas dari nama superstar Dangdut, Rhoma Irama. Rhoma Irama, yang telah memfungsikan Dangdut bukan agi sebagai hiburan tetapi juga sebagai alat dakwah. Rhoma Irama pun juga menggubah tema-tema yang lainnya. Berbeda dengan perintis genre Dangdut Rhoma Irama, penyanyi Dangdut abad ke-21 lainnya lemnbih mentingkan genre cinta dan erotis, sebagai contoh Inul Daratista. Meskipun masih menjadi tokoh utama, pengaruh Rhoma Irama telah memudar secara substansial di Indonesia pada abad ke-21, dan gaya ini telah didominasi oleh para penyanyi muda, termasuk Inul Daratista, yang menggunakan Dangdut untuk menari dan hiburan murni.
Dalam Dangdut sebagai genre populer mengungkap konflik ideologis mengenai: musik, Islam, dan moralitas di Indonesia kontemporer. Dangdut bisa dibilang merupakan bentuk musik yang paling populer di Indonesia. Ia menunjukkan paradoks bahwa meskipun para pencipta Dangdut menekankan pelatihan mereka dalam melantunkan Al-Qur’an dan bentuknya telah digunakan sebagai bentuk dakwah, tidak ada bentuk musik populer lain yang “telah begitu jelas diidentikan dengan: seks, erotisme, dan tubuh perempuan”.
Weintraub melacak akar Dangdut pada musik hibrida Orkes Melayu di Jakarta dan Surabaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an yang memasukkan bentuk ABA, harmoni Barat, dan ornamen vokal yang berasal dari Timur Tengah dan India, dan teks-teksnya terutama berupa lagu-lagu cinta. Namun, Rhoma Irama, penyanyi Dangdut paling populer, menulis lirik dengan nada religius. Rhoma Irama membentuk bandnya pada tahun 1973 dengan tegas “untuk melawan dorongan setan dalam diri kita semua”.
Dia merasa bahwa musik dapat membentuk moralitas, memerangi korupsi, serta memerangi narkoba dan membantu mencegah hubungan di luar nikah. Selama tahun 1970-an dan 1980-an, ketika rezim Soeharto memberlakukan pemisahan agama dan pemerintahan, baik Rhoma Irama, sebagai anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maupun Dangdut menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang sangat korup dan otokratis. Karena popularitas Rhoma Irama dan misi keislamannya yang terus berlanjut, Dangdut tetap memiliki kesan sebagai forum penyebaran nilai-nilai budaya Islam.
Di sisi lain, Weintraub menunjukkan bahwa banyak penyanyi sezaman Rhoma Irama, termasuk beberapa bintang Dangdut, menampilkan teks-teks sekuler (lagu-lagu cinta yang dimaksudkan hanya untuk hiburan), dan bahwa generasi berikutnya dari para pemain Dangdut meninggalkan semua aspirasi yang diilhami oleh agama dan mengubah Dangdut menjadi “tontonan yang dekaden dan berlebihan”.
Realitas saat ini, sebagian besar karena peran media modern, Dangdut diakui lebih karena erotisme: suatu eksploitas terhadap tubuh wanita. Gaya erotis inilah mengundang konflik dan pengawasan ketat dari beberapa organisasi Islam politik yang sangat vocal: Dangdut dituduh sebagai musik “porno”. Hal tersebut telah membantu mendorong undang-undang RUU anti-pornografi. Para penganjur Islam modernis pada tahun 1980-an dan 1990-an telah melabeli banyak penyanyi dan lagu-lagu Dangdut perempuan sebagai “porno”, yang didefinisikan sebagai “tidak bermoral dan erotis”.
Pada tahun 2006, sebuah RUU anti-pornografi (kemudian ditolak tetapi diajukan kembali dan disahkan pada tahun 2008) diperkenalkan ke dalam Majelis Legislatif Indonesia. Di bawah mandat RUU tersebut, “menyebarluaskan, mendengarkan … suara atau rekaman suara, … lirik lagu, puisi, … yang mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian tubuh seseorang yang menari atau bergerak dengan cara erotis” dilarang.
Menurut Weintraub, paradoks-paradoks dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam genre Dangdut menjadikannya ladang yang kaya bagi wacana dan perdebatan tentang bentuk, dimensi, moralitas, atau etos yang seharusnya menjadi ciri khas Islam Indonesia. Dangdut menggambarkan pluralitas multi-bentuk genre musik yang terkait dengan Islam, dan dengan demikian juga berbagai penafsiran tentang Islam di Indonesia. Mereka menyoroti pentingnya genre-genre musik dalam konsepsi Indonesia tentang agama dan politik tubuh, dan seberapa dalam wacana tentang musik dan Islam telah menjadi pusat di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Islam semakin penting sebagai penanda identitas Indonesia, baik secara internal maupun bagi dunia luar. Jilbab jarang ditemukan di Indonesia pada tahun 1960-an, dan sekarang ada di mana-mana. Orang Indonesia yang dulunya biasa-biasa saja dalam hal ketaatan beragama, sekarang bisa salat lima kali sehari dan melakukan upaya serius untuk menunaikan ibadah haji. Surat kabar di Barat terus menerus mengulangi fakta bahwa Indonesia memiliki lebih banyak Muslim daripada gabungan semua negara Timur Tengah.
Di dunia akademis, semakin banyak universitas di Amerika Serikat yang menyadari penrlunya seorang profesor Studi Islam Indonesia/Asia Tenggara. Musik di Indonesia, seperti yang sudah-sudah, tetap terkait secara terpusat dengan keyakinan agama. Dan dengan demikian, genre musik yang terkait dengan Islam telah meningkat dalam hal pertunjukan, dalam pikiran publik, dan dalam wacana politik.
Ketika masyarakat Indonesia berjuang untuk menentukan etos bagaimana menjadi seorang Muslim dalam konteks Asia Tenggara, bagaimana berhubungan dengan Islam Timur Tengah, dan bagaimana membentuk Islam Indonesia, genre-genre musik menawarkan berbagai warna dan menawarka berbagai kemungkinan. Dangdut di Indonesia menggambarkan kontinuitas yang terus berkembang dari ide-ide tentang moralitas dan musik. [NI]