Oleh : Putri Negara Siregar (Relawan Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat)
Siapa yang nggak kenal mendiang Glenn Fredly? Musisi andal yang karya-karyanya keren dan tak lekang oleh waktu. Kalau ingat Glenn, mendengar lagunya, pikiran kita juga langsung merujuk ke tanah kelahirannya di Indonesia bagian Timur. Ya, Maluku, persisnya Kota Ambon.
Maluku, dengan masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal, memiliki cara menghadapi pandemi Covid-19, terutama menyangkut dampak. Toleransi dan tenggang-rasa serta gotong-royong, menjadi kuncinya. Boleh dikatakan, hal ini merupakan perwujudan nilai-nilai dalam Pancasila, khususnya sila kedua dan ketiga.
Sedikit “melawan lupa”, kita semua tahu sekitar tahun 1999—2002, Provinsi Maluku pernah didera konflik kekerasan antar warga, sehingga sangat rentan terjadi teror, kekerasan antar suku dan antar umat beragama. Namun hebatnya, seperti dikutip dalam terasmaluku.com, saat ini Maluku adalah Provinsi paling rukun dan toleran di negara kita.
Pada tanggal 17 Juli 2020 lalu, diadakan dialog antara tokoh agama mengenai toleransi kerukunan umat beragama, dan hal ini diapresiasi oleh Kapolda Maluku (kompolnas.go.id). Menurut Kapolda Maluku, masyarakat di Maluku perlu menjadi contoh karena ada hal-hal serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki masyarakat Maluku, antara lain toleransi. Maluku punya masa lalu yang sangat luar biasa untuk menjadi contoh teladan bagi masyarakat di daerah lain. Wah, keren, ya?
Di masa Covid-19 ini, kita berjuang melawan dua faktor. Pertama, faktor eksternal, yaitu Covid-19 itu sendiri, dan yang kedua adalah faktor internal. Faktor internal ini termasuk di dalamnya adalah dampak, misalnya kita melihat banyak sekali kasus perundungan, kriminalitas, hingga berbagai perselisihan yang dipicu saling salah paham. Orang menjadi cepat emosional. Hal ini bisa memecah-belah kita sebagai masyarakat yang rukun yang melekat dalam nilai-nilai Pancasila.
Melihat banyaknya kasus yang diduga sebagai dampak adanya Covid-19 menuntut semangat dan kreativitas kita sebagai pemuda harapan bangsa. Karena nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh generasi muda. Meski dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap semangat untuk belajar dan berbuat sesuatu untuk bangsa kita.
Selama masa Covid-19, terbukti banyak gerakan yang diinisasi oleh anak muda untuk saling membantu. Mulai dari pengumpulan donasi, menjadi relawan medis, atau melakukan kegiatan edukasi online melalui webinar.
Cara lain yang bisa dilakukan oleh generasi muda adalah menggali kembali kearifan lokal yang bisa dipraktekkan di masa seperti ini. Satu di antaranya adalah kalosara, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Secara harfiah, “kalo” adalah sebuah benda yang berbentuk lingkaran. Kalosara terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai pengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem yang berbentuk persegi empat.
Beberapa keteladanan yang bisa kita contoh dari masyarakat Maluku ini adalah saat perayaan hari Raya Idul fitri lalu. Masyarakat Muslim di Maluku sangat menaati protokol kesehatan yang diberikan pemerintah untuk tidak melakukan takbiran dan salat idulfitri di lapangan. Dan hal ini sangat diapresiasi oleh umat Nasrani di sana, (baca: kompolnas.go.id).
Uskup Diosis Amboina, menyampaikan bahwa ia sangat berterima kasih kepada umat Muslim yang sudah mengajar dan menyadarkan umat Nasrani tentang perubahan dalam hidup dan iman dalam hal berpuasa.
Nah, kalian mungkin penasaran kenapa masyarakat Maluku bisa toleran seperti itu sampai membuatnya menjadi provinsi percontohan di Indonesia dalam hal kerukunan umat beragama? Menurut saya, hal itu karena mereka memiliki tradisi pela gandong.
Pela gandong adalah perjanjian yang dilakukan oleh para leluhur masyarakat Maluku yang isinya sangat kental dengan nilai-nilai persaudaraan, baik yang masih satu daratan atau berbeda pulau. Nilai-nilai tersebut antara lain; nilai kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, nilai kehidupan yang damai. Hingga kini, tradisi ini masih diaplikasikan dengan baik oleh masyarakat (kompasiana.com).
Pela diartikan sebagai “suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang menganut agama yang berbeda.” Adappun gandong bermakna “adik”. Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar.
Hubungan pela ini terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatan pela terdapat rangkaian nilai dan aturan mengikat dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan.
Empat hal pokok yang mendasari pela yaitu negeri-negeri yang berpela wajib saling membantu pada kejadian genting (perang atau bencana alam), maupun saat melaksanakan kegiatan kepentingan umum, seperti pembangunan sekolah, masjid, gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang berpela maka orang-orang di negeri itu wajib memberi makanan kepadanya. Tamu yang sepela tidak perlu meminta ijin membawa pulang hasil bumi yang menjadi kesukaannya.
Karena penduduk negeri-negeri yang berpela itu dianggap sedarah maka dua orang yang sepela dilarang menikah. Bagi yang melanggar ketentuan konon akan mendapat hukuman dari nenek moyang.
Misal, seseorang atau keturunannya akan jatuh sakit atau meninggal. Jika melanggar pantangan menikah, mereka akan ditangkap kemudian disurut berjalan mengelilingi negerinya dengan berpakaian daun kelapa. Penghuni negeri akan mencaci sebagai pezina. “sei lesi sou, sou lisa ei” (Siapa langgar sumpah, sumpah hukum dia, Nenek Moyang).
Tradisi pela gandong ini membuat hubungan antar masyarakat dan umat beragama di Maluku menjadi damai. Karena jika ada masalah, maka masyarakatnya akan menggunakan tradisi pela gandong untuk menyelesaikannya. Karena ini merupakan tradisi lintas usia, ras, agama, dan budaya, maka setiap masyarakat di seluruh belahan Maluku, seperti Maluku Tengah, Ambon, Pulau Seram, Maluku Tenggara, dan lain-lain, akan terikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang kekal.
Bagi sebagian orang, mungkin jika berasal dari satu Provinsi atau satu daerah yang sama maka tentu merupakan saudara. Namun, dalam sistem pela gandong di Maluku, ikatan persaudaraan bukan sekadar saudara sekampung halaman, tapi ikatan seperti saudara kandung.
Setiap keturunan dari leluhur Maluku benar-benar menerapkan tradisi ini sampai sekarang. Seperti halnya semboyan negara kita, “bhinneka tunggal ika” yang menyatukan seluruh masyarakat di Indonesia.
Khusus di masa pandemi ini, rasa persaudaraan dan kebersamaan antar warga Indonesia harus lebih dikuatkan. Kita harus tetap bersatu melawan setiap rintangan bangsa apapun itu. Jangan sampai perilaku-perilaku tercela, intoleran, maupun segala bentuk perpecahan malah membuat situasi bangsa kita menjadi semakin sulit.
Mari belajar dan mempraktekkan tradisi pela gandong ini dalam menjunjung nilai-nilai persatuan untuk saat ini dan di masa mendatang. Saya yakin, di semua daerah di Nusantara juga memiliki tradisi yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat baik.
Artikel ini pertama kali terbit di alif.id dan dimuat ulang di situs Nusantara Institute