Oleh: Rohmatul Izad (Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta)
Dapat dipastikan, tulisan Jawa telah dipakai selama kurun waktu 1.200 tahun lamanya, yakni mulai pertengahan abad ke-8 M hingga pertengahan abad ke-20 M. Bahkan, seni tulis sudah ada di Jawa sebelum tahun 750 M, dimulai sekitar tahun 500 M, tetapi dengan sistem tulisan lain yang agaknya tidak banyak diketahui.
Willem van der Molen (2009) mencatat, tulisan Jawa berasal dari India. Tetapi ini sebatas pada jenis sistem tulisan, karena bentuk huruf sudah berubah dalam rentang sejarah yang panjang. Orang India pun dapat dipastikan tidak mampu mengenalinya, apalagi membacanya. Banyak daerah-daerah yang memang terpengaruh tulisan dari India, hal ini tidak lepas dari pengaruh kebudayaan India itu sendiri yang tersebar di Asia Tenggara.
Kalau kita melacak peredaran tulisan Jawa mulai abad ke-17, ternyata tulisan Jawa tidak terbatas pada daerah yang menuturkan bahasa Jawa saja, tetapi juga dikenal di daerah penutur bahasa Sunda, Madura, dan juga Lombok. Konon, kebudayaan Jawa sangat diminati dan disanjung tinggi dalam ketiga penutur bahasa tersebut, kesusastraan Jawa juga banyak dibaca oleh mereka, dan bahasa Jawa kadang-kadang dipakai sebagai bahasa resmi.
Sebelum tulisan Jawa diganti oleh tulisan Latin, kira-kira pada pertengahan abad ke-20, bahasa Jawa sekurang-kurangnya pernah ditulis ke dalam dua bentuk sistem tulisan lain, yakni tulisan Bali dan Arab. Di pulau Bali misalnya, kesusastraan Jawa pernah menjadi begitu populer jauh sebelum abad ke-17, sehingga hampir seluruh kesusastraan Jawa kala itu diserap oleh budaya Bali.
Selain itu, tulisan Arab yang masuk ke Nusantara bersamaan dengan agama Islam, namun kala itu kedudukannya masih marginal atau kurang populer. Hal ini perlu disampaikan karena di wilayah lain di mana Islam begitu dominan, bahasa Arab selalu menempati posisi yang utama dan sangat sentral.
Meski hari ini tulisan Jawa tampaknya sudah banyak tergeser dan umumnya menggunakan bahasa Latin, tetapi tulisan Jawa yang menggunakan bahasa Arab masih tetap tampak eksis dipakai dan dilestarikan di berbagai tempat di Nusantara, khususnya di kalangan pesantren di mana para santri biasanya menyebut dengan aksara ‘pegon’.
Sebagai sebuah sistem, lambang-lambang dalam tulisan Jawa memiliki tiga kategori utama, yakni lambang untuk konsonan dan vokal, lambang untuk konsonan dan vokal dalam posisi khusus (pungtuasi). Tulisan dalam bahasa Jawa ditulis dari kiri ke kanan dan tidak ada perbedaan antara huruf besar maupun kecil.
Sampai di sini, konsonan-konsonan dasar memiliki fungsi yang sangat sentral, ia ditulis secara berdampingan, sementara lambang-lambang lain mengelilinginya. Nama tulisan Jawa juga berasal dari konsonan tersebut, tulisan dinamakan seperti kelima konsonan yang pertama, yakni hanacaraka atau carakan, di mana lambang-lambang dasarnya disebut sebagai aksara.
Sebuah ciri lain dari tulisan Jawa, yakni ketika aksara itu berdiri sendiri, ia mewakili sebuah konsonan yang diringi dengan vokal /a/. Aksara ‘L’ misalnya, melambangkan ‘La’, bukan ‘L’ saja; aksara ‘R’ juga melambangkan ‘Ra’ dan bukan ‘R’ saja. Bila kedua aksara itu disandingkan (berjejeran), maka akan menghasilkan kata ‘lara’ atau sakit. Itulah sifat dasar dari tulisan Jawa, di mana setiap aksara melambangkan sebuah suku kata (silabis).
Karenanya, sifat dasar itu hanya benar untuk sebuah suku kata yang mengandung bunyi /a/. Sementara suku kata yang berisi bunyi vokal lain masih membutuhkan dua lambang, misalnya kata ‘lali’ atau lupa.
Sementara ciri ketiga dalam tulisan Jawa adalah model kata-kata yang tidak terpisah, ia ditulis seakan-akan satu kata yang panjang dan hanya akan terputus oleh tanda baca atau permulaan baris baru atau halaman baru. Oleh karena aksara Jawa bersifat silabis (berdasar suku kata), maka dibutuhkan sebuah tanda baca khusus untuk menunjukkan konsonan tanpa vokal. Tanda itu ternyata tidak kurang dari tiga; tanda yang pertama berfungsi untuk tiga konsonan saja, seperti ‘H’, ‘Nga’ dan ‘R’. Hal ini bisa kita lihat ketika membandingkan dua kata antara lara dan lar, yang pertama bermakna sakit, sedangkan yang kedua sayap.
Untuk konsonan lainnya, ada tanda lain yang bernama paten, yang ditulis di belakang aksaranya untuk melambangkan bahwa aksara itu diucapkan tanpa vokal. Seperti ‘rila’ yang artinya rela dan ‘ril’ yang artinya rel. Sementara tanda ketiga, adalah aksara berbentuk khusus, yakni di bawah aksara yang tidak bervokal, bukan dibelakangnya. Aksara berbentuk khusus tersebut dinamakan pasangan atau aksara terpasang, seperti ‘lira’ tabung kumparan dan ‘slira’ badan.
Perkembangan Tulisan Jawa
Salah satu hal yang menjadi masalah dalam tulisan Jawa adalah ketika kita melihat model bentuknya, ia jelas berasal dari India, tetapi India yang mana?. Tulisan tertua di Jawa ditemukan sejak tahun 500 M, asal-usulnya dapat dilacak, yakni melalui tulisan Jawa Barat dan Kalimantan. Tetapi dalam catatan Casparis (1975), tradisi tuulis-menulis itu terputus pada tahun 732 M dan tidak berkaitan dengan tulisan yang muncul pada tahun 750 M. Dengan demikian, asal-usul tulisan khas Jawa belum diketahui secara jelas.
Tampaknya, tulisan Jawa yang berasal dari jenis tulisan India tidak disesuaikan dengan konteks linguistik. Bahkan, aksara-akasara yang disebutkan di atas sebagai padanan huruf kapital, sebenarnya adalah lambang fonem-fonem yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Aksara itu tidak diperlukan, tetapi tetap disimpan untuk menuliskan kata-kata serapan bahasa Sansekerta dengan tepat.
Pada abad ke-19, aksara itu membutuhkan lambang-lambang khusus untuk menuliskan huruf kapital. Perubahan lain yang juga minim dalam konteks sistemnya adalah urutan alfabetnya, seperti urutan ha na ca ra ka yang khas Jawa, dan tidak ditemukan dalam sistem tulisan India. Dalam tradisi India, aksara berurutan mengikuti titik pangkal fonetisnya masing-masing, seperti ka kha ga gha nga dan seterusnya. Pertanyaannya, kapan perubahan konfersi dari tulisan India ke Jawa itu terjadi? Jawabannya hampir tidak diketahui.
Sementara itu, secara tradisional teks bertuliskan Jawa paling banyak menggunakan tulisan tangan, hal ini dilakukan sampai pertengahan abad ke-20, kemudian diganti dengan bentuk cetak. Meski dalam tradisi pesantren, teks tulisan tangan berbahasa Jawa dengan menggunakan tulisan Arab (pegon) masih tetap dilestarikan.
Sampai abad ke-19, bahasa Jawa dan tulisan Jawa sangat berkaitan erat. Kaitan ini berakhir pada pertengahan abad ke-20 dan mulai punah pemakainya. Banyak faktor yang melatarbelakangi hilangnya penulisan Jawa, misalnya perubahan zaman, budaya, tidak memiliki nilai jual dalam arti komersil, atau memang banyak yang sudah tidak membutuhkannya.
Mencermati hilangnya selera akan tulisan-tulisan Jawa, baik memproduksi kembali maupun sekadar membacanya, akan membawa nilai lebih pada kehadiran pesantren yang masih mempertahankan sistem tulisan Jawa menggunakan aksara Arab (pegon). Hal ini bukan berarti membuat kita pesimis dengan pudarnya tulisan Jawa dan seluruh kekayaan alam pikiran kebudayaan di dalamnya. Tetapi lebih pada bagaimana kita masih mempertahankan sisa-sisa peninggalan masa lalu yang tetap dapat dilestarikan, meskipun dalam bentuk lain (pegon), tetapi dapat dipastikan nilai-nilai khas Jawa tidak akan pernah pudar ataupun punah dan akan tetap eksis menjadi bagian dari kekayaan bahasa dan tulisan di Nusantara.[]
Saya baru baca Pertama kali. Mencerdaskan