Beranda Publikasi Kolom Wong Pécinan-Wong Pecinan: Semarang dan Fenomena Tuan Rumah Kebudayaan Bersama

Wong Pécinan-Wong Pecinan: Semarang dan Fenomena Tuan Rumah Kebudayaan Bersama

1985
0
Wong Pécinan-Wong Pecinan: Semarang dan Fenomena Tuan Rumah Kebudayaan Bersama

Oleh: Tedi Kholiludin (Dosen Universitas Wahid Hasyim dan Deputi Direktur Nusantara Institute)

S

alah satu tesis yang ingin dikembangkan dalam kajian sosiologi kebudayaan adalah tentang apa yang saya sebut sebagai fenomena shared host culture, tuan rumah kebudayaan bersama. Gambaran ini menunjukkan tentang bagaimana hubungan antara satu budaya dengan budaya lain di sebuah lokus. Dalam komposisi host-stranger, semuanya sama-sama berposisi sebagai tuan rumah atau host. Tulisan ini merupakan ringkasan dari kajian yang saya lakukan dan telah dielaborasi dalam buku “Pécinan di Pecinan: Santri, Tionghoa dan “Tuan Rumah Kebudayaan” Bersama di Kota Semarang”.

Semarang lebih berperan sebagai kota perantara, bukan kota dagang yang besar seperti halnya Surabaya atau Jakarta. Ketiganya memang metropolitan, tetapi lebih banyak berperan sebagai kota transit saja.

Pengakuan atas siapa yang menjadi tuan rumah kebudayaan itu sendiri memang subjektif. Pemenuhannya kerap memantik polemik. Meski begitu, esensi tuan rumah kebudayaan  sebuah kota itu sejatinya bisa sangat terasa di beberapa tempat di Pulau Jawa. Solo dan Yogyakarta misalnya. Betapapun Yogyakarta adalah kota yang menjadi magnet dan banyak dikunjungi masyarakat dari pelbagai penjuru tanah air, bahkan mancanegara, tetapi kebudayaan Jawa bisa didapuk sebagai tuan rumahnya. Bisa jadi karena ada kraton yang menjadi faktor penarik. Tetapi di luar itu, atmosfir kebudayaan Jawa kuat terasa di dua kota tersebut. Hal yang sama terjadi di Jakarta. Di ibu kota, kendati ada banyak ragam kebudayaan berkembang disana, namun masyarakat Betawi menganggap bahwa kebudayaan mereka adalah “tuan rumahnya”. Fenomena serupa bisa dijumpai di Bandung dengan kebudayaan Sunda atau kebudayaan Melayu di Riau.

Semarang adalah kasus yang menarik. Secara historis, kota ini tidak pernah menjadi pusat kekratonan. Ia ada dibawah Kerajaan Demak, Kesultanan Pajang dan Mataram. Bisa jadi ini salah satu alasan mengapa Jawa dan Islam tidak bisa menjadi satu-satunya tuan rumah kebudayaan. Kebudayaan Tionghoa pun demikian. Walaupun ada wilayah Pecinan yang tentu saja karena sesuai namanya menjadi area dengan nuansa Tionghoa yang kuat, ia tetaplah bukan menjadi penanda kebudayaan tunggal Kota Semarang.

Ketiadaan budaya dominan itulah yang menjadi alasan mengapa saya menyebut bahwa di Semarang, semua kebudayaan memiliki status setara; sama-sama sebagai “tuan rumah.” Jika dalam pengertian teoritik tuan rumah kebudayaan digambarkan sebagai komunitas sosial yang relatif homogen dengan sejarah bersama, geografis, akar-akar, pendidikan serta ikatan keluarga dan karenanya, berasal dari satu entitas kebudayaan, maka Semarang dicirikan oleh diversitas budaya sebagai tuan rumah kebudayaannya. Dalam praktiknya, memang ada ciri dominan dalam setiap area. Misalnya kebudayaan Tionghoa menjadi “tuan rumah” di wilayah Pecinan atau budaya santri yang menjadi “tuan rumah” di sekitar Kauman. Tapi, saat berbicara dalam konteks ruang yang lebih luas, maka kebudayaan-kebudayaan tersebut adalah tuan rumah bersama di Semarang.

Jika menilik posisi sosialnya, Semarang lebih berperan sebagai kota perantara, bukan kota dagang yang besar seperti halnya Surabaya atau Jakarta. Ketiganya memang metropolitan, tetapi lebih banyak berperan sebagai kota transit saja.

Ketiadaan budaya dominan itulah yang menjadi alasan mengapa saya menyebut bahwa di Semarang, semua kebudayaan memiliki status setara; sama-sama sebagai “tuan rumah.”

Panggung kebudayaan diisi secara bersama oleh pelbagai identitas. Diversitas tampil di ruang publik tanpa saling menegasikan. Karnaval kebudayaan dinikmati dengan nir-dominasi. Dalam rentang waktu atau di tempat tertentu, masyarakat bisa melihat entitas Tionghoa muncul tetapi di saat yang lain (juga tempat berbeda) identitas lain yang hadir. Itulah alasan mengapa kemudian di Semarang, tidak ada tuan rumah kebudayaan yang dominan, semuanya menjadi tuan rumah kebudayaan. Setidaknya itu yang tercermin ketika mencermati dinamika masyarakat santri dan kelompok Tionghoa. Imbasnya adalah konflik primordial relatif bisa ditekan, meski tentu saja persaingan itu ada dan wajar adanya. Sebagai tuan rumah kebudayaan, kelompok-kelompok tersebut berdialog dengan membawa semangat kontraktual (egaliter dan terbuka), memiliki pasar sebagai identitas kebudayaan (juga ruang transaksional tentu saja) dan produk kebudayaan yang menjadi resultan dari upaya perjumpaan.

Kebudayaan santri, Tionghoa, Jawa dan juga lainnya ada dalam satu panggung bersama yang tidak terlampau intens dalam berdialog, tetapi juga tidak saling menegasikan. Perdamaian negatif dan natural tercipta dengan ditandai oleh absennya konflik secara struktural. Dialog terjadi secara natural dan kebanyakan dilakukan ketika ada ‘kepentingan bersama’ diantara elemen-elemen tersebut.

Saya fokus mencermati dua kebudayaan; santri dan Tionghoa, tanpa bermaksud menafikan yang lain. Wong Pécinan dan Wong Pecinan itu dikaji sebagai partisipan yang tidak mendominasi, tidak menegasi, ada dialog alamiah yang terjadi saat ada simbol pemersatu. Salah satu hipotesisnya, dengan merujuk pada kategorisasi John Galtung, terjadi perdamaian yang bersifat negatif dengan ditandai tidak adanya konflik secara struktural ditambah dengan kehadiran kerjasama sebagai sesuatu yang alami. Kooperasi yang alamiah itu terbingkai dalam sebuah kepentingan bersama.

Kepentingan bersama yang dimaksud hadir melalui peran para tokoh di kalangan santri. Simbol bersama di antara kalangan santri dan etnis Tionghoa yang berhasil digali dalam penelitian yang saya lakukan, hadir salah satunya dalam figur atau sosok. Dua yang sudah sangat melekat, yakni KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Keduanya menjadi magnet yang menciptakan ruang interaksi antara dua komponen kebudayaan tersebut. Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dan Gus Mus mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien untuk kerja-kerja penegakan nilai hak asasi manusia. Interaksi yang terbangun berlangsung secara alamiah, dan baru terbatas pada koridor “kepentingan bersama” ini.

Secara sosial kebudayaan-kebudayaan di Semarang mendapatkan panggung yang sama. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan ekspresinya di ruang publik. Secara geografis, memang ada pengelompokan, meski juga terus mengalami dinamisasi. Misalnya, ada kelompok santri di Kauman serta wilayah pinggir Semarang, sementara kalangan Tionghoa terkonsentrasi di wilayah Pecinan. Posisi geografis ini, tidak bersifat absolut. Pada posisi yang berbeda, mereka juga ada di tempat-tempat lain.

Posisi sosial antara kebudayaan-kebudayaan tersebut juga ditandai dengan sikap tidak saling menegasi atau menafikan. Tidak adanya dominasi kebudayaan tertentu inilah yang sebangun dengan kesimpulan pertama, bahwa disana, mereka bersama-sama menjadi tuan rumah kebudayaan. Pada kebudayaan yang bersifat hibrid misalnya, ada kontribusi dari lebih dari satu kebudayaan. Produksi kebudayaan yang hibrid, menentukan posisi sosial kultur tertentu.

Setidaknya ada tiga ciri yang menjadi karakteristik dari habitus yang ditandai oleh hadirnya tuan rumah kebudayaan bersama tersebut. (i) ada masyarakat kontraktual, baik dalam konteks yang bersifat horisontal maupun vertikal. Masyarakat model ini dicirikan oleh semangat egaliter dan transaksional. Tindakan diambil atas dasar kesepakatan-kesepakatan yang tidak saling merugikan. Pada model vertikal, potensi konflik sangat terbuka terjadi. Disini, masyarakat Tionghoa Semarang yang ada dalam “posisi atas” menggunakan kecerdasan kultural untuk terlibat dalam dialog yang ekual. (ii) faktor berikutnya adalah tersedianya pasar sebagai identitas budaya, juga ruang ekonomi tentu saja. Kebudayaan santri dan Tionghoa memiliki pasar temporer yang mewakili identitasnya masing-masing; Pasar Dugder dan Pasar Imlek. Sebagai ruang transaksional, tidak ada yang istimewa sebenarnya dari keduanya, tetapi sebagai sebuah simbol kebudayaan, keduanya mewakili dua kebudayaan yang ada di Semarang. (iii) ada ciri kebudayaan hibrid yang dinamis dalam konteks tuan rumah kebudayaan bersama tersebut. Warisan kebudayaan seperti Gambang Semarang atau Warak Ngendog sudah lama dikenal sebagai model kebudayaan hibrid. Pasca 2010-an, produk kebudayaan hibrid tercermin misalnya dalam Wayang Cina Jawa dan Tembang Dulur Tuwanya Mbah Pringis.[]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini