Oleh: Achmad Jauhari Umar (Sekretaris Nusantara Institute dan mahasiswa S2 di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
J
ika selama ini catatan tentang Jawa dari pengelana asing banyak ditulis dan didominasi oleh bangsa Eropa atau China, kali ini pengembara Arab, tepatnya Yaman, turut menggoreskan catatannya. Bangsa Arab memang banyak yang berkelana ke Jawa sejak zaman dahulu kala tetapi tidak banyak yang menuliskan pengalaman mereka.
Tidak seperti para pelancong Arab lain, Shalih ibn ‘Ali al-Hâmid menulis pengalaman beberapa kali perjalanan ke Jawa pada zaman pemerintah Hindia Belanda. Ia mengaku pada tahun 1936 M merupakan perjalanan ketiganya ke Pulau Jawa. Shalih Al Hamid adalah seorang sastrawan sekaligus sejarawan yang datang khusus ke Nusantara dalam rangka misi kebudayaan.
Pengamatan dan pengalaman atas perjalanannya itu kemudian ia tulis dalam sebuah buku berjudul Rihlah Jâwâ al-Jamîlah wa Qishshah Dukhûl al-Islâm ilâ Syarq Âsiyâ (Perjalanan [ke] Nusantara yang Elok, dan Cerita Masuknya Islam ke Timur Asia). Buku ini baru diterbitkan pada tahun 2002 di Tarim, Yaman, oleh penerbit Tarîm li al-Dirâsât wa al-Nasyr, setelah cucu al-Hamid menemukan manuskrip catatan perjalanannya. Ia kemudian menyunting (tahqîq) catatan tersebut menjadi sebuah buku setebal 234 halaman.
Judul buku ini menggunakan kata “Jawa”. Tetapi bagi bangsa Arab tempoe doeloe, kata “Jâwâ” adalah sebutan untuk kepulauan Melayu-Indonesia (Malay-Indonesian archipelago) atau katakanlah, Nusantara, bukan hanya Pulau Jawa. Al Hamid menulis, “Penyebutan terma “Jâwâ” dalam istilah orang-orang Arab dahulu sejak zaman Ibnu Batuta hingga sekarang ini dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh wilayah Melayu dan beberapa pulau, seperti (Beranyu[?], Salbas [Sulawesi], Sumatera dan Jawa)”.
Oleh karena itu banyak para santri dari kepulauan Melayu-Indonesia (termasuk Singapura, Malaysia, dan Thailand) yang tinggal di Makah pada zaman dulu yang mendapat julukan (laqob) atau menggunakan nama akhir “Al-Jawi” (“Orang Jawa”).
Al-Hâmid berada di Nusantara selama kurang lebih setengah tahun, menjelajahi beberapa pulau termasuk Jawa, Bali, dan Lombok. Ia mengaku menghabiskan masa-masa yang sangat mengesankan di setiap pulau yang disinggahinya. Al-Hâmid menuliskan gambaran pulau Jawa, Bali, dan Lombok dengan sangat detail termasuk tentang topografi, penduduk, adat istiadat, struktur pemerintahan dan masyarakat (seperti Belanda totok, Indo peranakan, pendatang Cina dan Arab, dlsb), lembaga pendidikan, dan juga diaspora Arab-Yaman (al-Hadhârimah) serta kiprah mereka di Nusantara.
Selain itu, al-Hâmid juga sedikit banyak menuliskan sejarah masuknya Islam ke Jâwâ (Nusantara), sejarah kolonialisme Eropa di Nusantara, juga perbedaan istilah Jâwâ (Nusantara) dalam literatur klasik dan modern.
Pengamatan dan pengalaman atas perjalanannya itu kemudian ia tulis dalam sebuah buku berjudul Rihlah Jâwâ al-Jamîlah wa Qishshah Dukhûl al-Islâm ilâ Syarq Âsiyâ (Perjalanan [ke] Nusantara yang Elok, dan Cerita Masuknya Islam ke Timur Asia). Buku ini baru diterbitkan pada tahun 2002 di Tarim, Yaman, oleh penerbit Tarîm li al-Dirâsât wa al-Nasyr, setelah cucu al-Hamid menemukan manuskrip catatan perjalanannya. Ia kemudian menyunting (tahqîq) catatan tersebut menjadi sebuah buku setebal 234 halaman.
Di antara beberapa tempat yang dikunjungi oleh al-Hâmid, antara lain, Solo, Kintamani, Madura, Surabaya, Banyuwangi, Bondowoso, Bedugul, Buleleng, Lombok, Airmadu, Kintabatu, Pasir Putih, Malang, Batu, Pasuruan, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Bogor, Pasar Minggu, Purwakarta, Batavia, Garut, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Singaparna.
Tentang Batavia, al-Hâmid menulis: “Batavia adalah pusat pemerintahan, ibu kota Jâwâ dan semua Kepulauan Hindia Timur Belanda. Kota ini terletak di tepi sungai Sîlîug (Ciliwung), terdiri atas distrik-distrik yang tertata. Tata kota, corak arsitektur bangunan, dan hawa kota ini secara umum bernafaskan Eropa-Belanda. Gedung-gedung cantik dan megah banyak berdiri. Batavia juga adalah pusat terpenting aktivitas perdagangan, mengekspor karet, teh, dan rempah-rempah. Di sana ada banyak kantor dan perusahaan besar, juga pusat keuangan. Pada masa Hindu-Budha, kota ini dinamakan Sanwâ Kalafâ (Sunda Kalapa), lalu setelah ditaklukkan kesultanan Bântâm (Banten), diubah namanya oleh Maulânâ Hidayatullâh menjadi Jayakarta”.
Sedangkan atas keelokan tempat-tempat di pulau Jawa, Bali, dan Lombok secara umum, al-Hâmid menggambarkan: “Tempat ini adalah gambaran Firdaus yang diberikan Allah di atas muka bumi. Firdaus yang ‘tak ada mata pun dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan bayang pikiran dapat melintas di hati manusia”. Allah memberikan karunia kepada para penduduk negeri ini dengan alam beserta pemadangan dan kesuburannya yang tiada tara”.
Al-Hâmid menuliskan catatan yang sedikit berbeda atas Pulau Bali: “Orang-orang Bali [baik lelaki atau perempuan] bertelanjang dada. Mereka hanya memakai secarik sinjang. Para perempuan Bali harus memakai pakaian demikian karena mengikuti budaya leluhur mereka. Meski secara geografis Bali dekat dengan Jawa, namun orang-orang Bali waktu itu masih hidup dalam kondisi zaman pertengahan. Kemodernan seakan-akan belum berpengaruh dalam kehidupan mereka”.
Selain catatan tentang geografis dan kota-kota yang ia singgahi, al-Hamid juga menulis tentang tokoh-tokoh yang berhasil ia temui saat itu seperti Ustad Al Hasyimi Attunisi (Tunisia). Dalam buku Virus Entrepreneurship Kyai disebutkan bahwa Muhammad Al Hasyimi adalah seorang guru bahasa Arab di sebuah madrasah di Solo saat KH. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Ponpes Darussalam, Gontor, menimba ilmu disana yang berhasil menginspirasinya untuk serius dalam mempelajari bahasa asing. Al Hasyimi adalah sosok jurnalis Tunisia dan putra salah seorang Syaikh Zaituni (Tunisia) yang dibuang oleh kolonial Perancis di daerah jajahan Belanda (Indonesia). Dalam bukunya al-Hamid menulis:
“Ustad Muhamad Al Hasyimi Attunisi adalah guru sekaligus sastrawan yang berkunjung ke Jawa kira-kira sejak seabad lalu dan menerbitkan sebuah surat kabar di Jawa yang ia beri nama “Burubudur” (Borobudur). Surat kabar ini ia terbitkan dengan menggunakan Bahasa Arab resmi meskipun sebetulnya beberapa bagian dari surat kabar tersebut ia khususkan untuk orang-orang Hadlromiyah [masyarakat Arab Yaman-Hadramaut di Nusantara] dengan bahasa “amiyah darijah” [bahasa Arab umum kolokial] sebagai bahasa penuturnya.
Buku ini menarik bukan semata-mata karena menyuguhkan catatan perjalanan penulis yang mengasyikkan, tetapi juga memberikan kita informasi penting terkait sejarah, antropologi, sosiologi, dan etnografi Nusantara pada masa itu. Berbeda dengan catatan Marco Polo, Stamford Raffles, atau Ma Huan, catatan perjalanan Shalih al-Hamid ini lebih bersifat deskriptif-etnografis menceritakan tentang hal ihwal yang ia amati, lihat, saksikan, dan alami, serta minim pandangan atau penilaian yang bersifat etnosentris.[]