Beranda Publikasi Kolom Menyelamatkan Hutan: Aliansi Lintas Agama dan Masyarakat Adat

Menyelamatkan Hutan: Aliansi Lintas Agama dan Masyarakat Adat

2571
0

Oleh: Zainal Abidin Bagir (Dosen pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)-UGM)

Sebuah inisiatif gerakan lintas iman untuk pelestarian hutan hujan, Interfaith Rainforest Initiative (IRI), diluncurkan di Oslo, Norwegia, pada akhir Juni 2017. Gerakan ini diprakarsai oleh Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan pemerintah Norwegia. Inisiatif ini boleh jadi menimbulkan tanya: apa hubungan agama dengan hutan dan mengapa lembaga PBB memprakarsai gerakan itu?

Makna upaya ini dapat dilihat dari sisi gerakan antariman, dan juga upaya penyelamatan hutan. Sebagai gerakan antariman, inisiatif ini tidak biasa. Yang sentral dalam acara ini bukanlah pertemuan para pemuka agama Kristen, Islam, Hindu atau Buddha, melainkan wakil-wakil dari masyarakat adat (indigenous) di beberapa wilayah dunia, khususnya Brazil, Ekuador dan Indonesia. (Lihat video lengkap hari pertama.) Para wakil masyarakat adat itu menyampaikan kisah-kisah yang kurang lebih sama: hilang atau rusaknya hutan yang berarti hilangnya ruang hidup mereka dan, pada saat yang sama, tak adanya pengakuan pada tradisi mereka yang oleh sebagian orang dianggap terbelakang.

Meskipun belakangan ini wakil-wakil agama leluhur (indigenous religions) sudah sering berpartisipasi dalam peristiwa semacam Parlemen Agama-agama Dunia (Parliament of World Religions), misalnya, mereka umumnya tidak mendapat tempat yang cukup dalam pertemuan-pertemuan lintas agama. Kerap kali pertemuan seperti ini memang mengutamakan tradisi keagamaan yang dianut cukup banyak orang, demi mempertimbangkan dampaknya.

Berbeda dengan agama-agama dunia, yang tersebar atau disebarkan ke seluruh bagian dunia, ciri utama agama leluhur adalah sifatnya yang amat lokal, erat terkait dengan ruang geografis tempat hidup komunitas-komunitas yang relatif kecil. Saat ini, menurut UNESCO, ada sekitar 370 juta orang dalam komunitas masyarakat adat yang hidup di 90 negara.Meskipun jumlahnya hanya 5% dari populasi dunia, masyarakat adat mewakili 15% dari penduduk termiskin dunia. Hidup komunitas ini amat bergantung pada ruang alami—baik itu tanah, hutan, gunung, sungai, maupun laut. Di sinilah agama leluhur dan kepentingan masyarakat adat bertemu dengan keprihatinan mengenai alam.

Mengapa hutan dan masyarakat adat?

Wakil-wakil masyarakat adat yang hadir dalam IRI adalah mereka yang menempati wilayah garis khatulistiwa di mana hutan-hutan tropis hidup dan kini pelan-pelan mulai lenyap didesak proses “pemeradaban”, khususnya industrialisasi dalam berbagai bentuknya. Jika hutan dianggap penting dan ingin dijaga, maka alamiah saja jika pada akhirnya harapan tertumpu pada komunitas-komunitas yang telah hidup di sana selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Mereka menjaga hutan, dan hutan menjaga mereka selama waktu itu, hingga beberapa dasawarsa terakhir.

Keprihatinan awal penyelenggaraan IRI jelas adalah keprihatinan mengenai hutan, bukan dialog lintas iman itu sendiri. Mengapa hutan? Salah satu sesi awal IRI menjawab pertanyaan itu. Presentasi Frances Seymour dan Antonio Donato Nobre, seorang ilmuwan senior Brazil, berargumen tentang pentingnya hutan secara ilmiah dan persoalan utama yang dihadapinya. Meskipun mengakui bahwa ia tak memiliki afiliasi religius, presentasi yang didasarkan pada riset lama di Amazon itu juga mempersuasi peserta untuk memahami hutan yang hampir-hampir bernilai sakral.

Hasil riset Nobre di Amazon, The Future Climate of Amazonia, menggambarkan hutan tropis sebagai lautan-hijau yang menyediakan air, melalui kelembaban dan uap air yang diproduksinya, hingga ke wilayah-wilayah yang jauh darinya di musim kering. Kelembaban itu jugalah yang menjaga wilayah di sekitarnya dari cuaca ekstrem seperti tornado dan topan-badai. Hilangnya hutan menimbulkan dampak luar biasa bagi ketersediaan air dan perubahan iklim yang lalu berdampak pada banyak hal lain.

Secara umum, strategi modernisasi dan kemajuan melalui developmentalisme yang melibatkan industrialisasi yang tidak berkelanjutan itu telah dianggap gagal. Di negara-negara berkembang, nyatanya eksploitasi alam yang luar biasa tidak menyejahterakan rakyatnya, dan lebih menyejahterakan segelintir kelompok elit politik dan bisnis yang biasanya berkolusi dengan negara. Dampak dramatis lainnya adalah kerusakan alam luar biasa sebagai akibat eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan (sustainable). Fakta telah terjadinya perubahan iklim beserta amat banyak dampak luar biasa pada setiap bagian alam sulit ditolak—mulai dari terumbu karang yang telah mulai mati dan mungkin akan lenyap dalam beberapa dasawarsa mendatang, berkurangnya keragaman biota, naiknya permukaan air laut, iklim yang makin tidak beraturan dan merugikan petani, dan sebagainya.

Bersama dengan rusaknya alam, hilang pula komunitas-komunitas yang menggantungkan hidupnya sehari-hari, tradisinya, dan keberlanjutan peradabannya pada alam. Di wilayah hutan hujan tropis, komunitas-komunitas itu terutama adalah masyarakat adat yang hidup di sepanjang garis khatulistiwa. Rusaknya hutan berarti rusaknya, atau bahkan hilangnya, komunitas manusia, bersama dengan seluruh tradisinya, termasuk agamanya.

Di ujung acara tiga hari yang diselenggarakan di Oslo, Norwegia itu, para peserta, yang terdiri dari wakil agama-agama dan beberapa ilmuwan, menyatakan komitmen untuk melanjutkan upaya penyelamatan dan pelestarian hutan. (Baca terjemahan Pernyataan Para Peserta IRI dalam bahasa Indonesia di bawah.) Acara ini juga telah mulai merancang beberapa langkah lanjutan. Keberhasilan upaya ini masih harus dilihat, tergantung apakah upaya-upaya lebih konkret di tingkat lokal maupun internasional berhasil dirancang oleh para peserta dari 21 negara tersebut, termasuk Indonesia.

Prasyarat aliansi lintas agama dan komunitas agama leluhur

Banyak orang kerap membayangkan dialog lintas iman sebagai pertemuan-pertemuan menyenangkan, di mana wakil-wakil agama bertemu, saling menunjukkan keramahan, kerukunan, dan keinginan menciptakan dunia yang harmonis. Namun dialog yang sungguh-sungguh, yang tidak superfisial, biasanya melibatkan kerja keras: melampaui prasangka, keluar dari zona nyaman pandangan dunia sendiri, dan mencoba melihat dari sudut pandang orang lain—bahkan orang-orang yang sebelumnya dianggap musuh.

Jika gerakan lintas iman mau melibatkan komunitas-komunitas agama leluhur, tantangannya akan jauh lebih hebat, karena sejarah agama-agama besar kerap menunjukkan hubungan yang antagonistik dengan agama-agama lokal. Setidaknya ada dua penyebab utama ketidakharmonisan itu, yang mesti diatas sebagai prasyarat dialog tersebut.

Pertama, anggapan bahwa kepercayaan komunitas-komunitas adat lokal itu bukanlah “agama”, dan karenanya tak mendapat tempat, atau bahkan sama sekali tak diakui. Di banyak negara, anggapan ini diperkuat oleh kebijakan negara yang, seturut harapan akan kemajuan dan modernitas melalui pembangunan, memang cenderung meminggirkan, kalau tak memusnahkan, kelompok-kelompok “primitif” itu. Anggapan ini telah berakar kuat sejak masa  kolonial, dan lalu diperkuat oleh negara-negara independen melalui developmentalisme yang memperlakukan alam sebagai simpanan sumberdaya yang mesti diolah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjadikan negara-negara itu “maju”.

Lebih jauh, karena dianggap “belum beragama”, mereka pun sah menjadi objek dakwah atau misi, dan berupaya di-agama-kan, tak jaran dengan kekerasan. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, di Indonesia anggapan ini diperkuat oleh kebijakan negara, khususnya di masa-masa pembersihan orang-orang yang dianggap komunis setelah peristiwa tahun 1965.

Perubahan teologi dan sikap untuk aliansi lintas agama untuk hutan

Kini kebijakan itu, termasuk strategi modernisasi melalui industrialisasi yang tak berkelanjutan, dianggap gagal, karena tak berhasil menyejahterakan rakyat dan mengakibatkan kerusakan alam yang luar biasa. Kenyataan ini menjadi dasar untuk membangun suatu pandangan baru mengenai hutan dan komunitas agama leluhur.

Jika di Indonesia telah muncul upaya mengembangkan “teologi tanah” di kalangan kristen dan muslim, atau “fikih agraria”, maka tampaknya perlu pula mengembangkan suatu fikih atau teologi hutan. Menimbang sejarah penentangan agama-agama, khususnya Kristen dan Islam, terhadap kepercayaan agama leluhur di komunitas-komunitas adat, penting pula merumuskan sikap agama-agama yang lebih terbuka pada mereka (suatu “teologi agama leluhur”?).

Selain perubahan pandangan, yang penting dilakukan saat ini adalah pergeseran sikap terhadap masyarakat adat dan penganut agama leluhur, di antaranya dengan melibatkan mereka lebih jauh dan tidak sekadar menganggap mereka sebagai objek. Selain karena wajar saja jika mereka memiliki hak bicara lebih besar mengenai apa yang terjadi di wilayah-wilayah hidup mereka, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mereka telah berhasil melestarikan hutannya karena didasari oleh suatu “teologi” hutan. Setidaknya di Indonesia, sebagian besar masyarakat adat dan penganut agama leluhur telah mengenal agama dunia, bahkan telah mengasosiasikan diri dengannya, sehingga teologi hutan mereka juga telah kental dengan teologi agama-agama dunia. Ini memudahkan upaya komunikasi teologis.

Jelas bahwa komunitas-komunitas adat pun tidaklah statis, tapi ikut berubah, sebagiannya telah menjadi “modern”, dan sebagian tak lagi meyakini perannya. Di samping itu, perlu pula diingat bahwa hutan-hutan kita sudah terlanjur amat terbuka bagi beragam kepentingan dan kelompok. Mesti ada upaya-upaya kreatif untuk tak terjebak dalam esensialisme atau “nasionalisme” adat yang sempit. Pengakuan hak lebih besar bagi komunitas adat perlu dijaga agar tak terjatuh pada politik identitas yang sempit, yang menafikan kelompok-kelompok lain.

Menyelamatkan hutan: menyelamatkan manusia dan agama

ang penting diingat adalah bahwa pilihan yang kerap diajukan—memprioritaskan hutan atau manusia, konservasi atau eksplorasi demi pembangunan—adalah pilihan semu. Karena tanpa hutan, manusia tidak bisa hidup; tradisi pun mati ketika hutan mati.

Tentu yang dirugikan dengan rusaknya hutan bukan hanya komunitas adat yang menghidupi dan hidup di hutan. Kerusakan lingkungan tak mengenal batas-batas artifisial antarwilayah. Kerusakan hutan Amazon maupun di Kalimantan berpengaruh pada pemanasan global; sebagai akibatnya, mencairnya gunung-gunung es di Antartika berpengaruh juga pada kenaikan garis permukaan air laut yang menjadi salah satu penyebab banjir Jakarta, atau tenggelamnya beberapa pulau.

Kerusakan lingkungan juga tak mengenal batas-batas agama. Apapun agamanya, setiap orang dan masyarakat akan—dan dalam beberapa hal, sudah—terdampak perubahan-perubahan global itu. Beberapa penelitian mutakhir, meskipun masih diperdebatkan, bahkan menunjukkan bahwa terorisme dan kekerasan atas nama agama atau etnik belakangan ini tumbuh makin subur bersama dengan perubahan iklim. (Lihat laporan Adelphi; dan pandangan yang berbeda terkait konflik di Sahel, Afrika dan Afrika sub-Sahara.)

Persoalan hutan dan masyarakat adat membantu untuk mengenali satu perspektif lain yang amat penting. Yaitu, bahwa pengakuan (rekognisi) atau keragaman (etnik, agama, adat) terkait amat erat dengan persoalan kesejahteraan sosial-ekonomi (redistribusi). Dan sebaliknya: ketersediaan ruang alami, yang kerap hanya dianggap sebagai sumberdaya material, amat berpengaruh pada keberlangsungan (keragaman) tradisi. Isu ini kiranya mengingatkan kita bahwa agenda gerakan yang mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi, penyelamatan lingkungan dan keragaman dalam masyarakat semuanya saling berjalin berkelindan dan mesti diupayakan bersama-sama.[]

“Tulisan ini pertama kali terbit di situs web CRCS UGM dan diterbitkan ulang di sini atas seizin CRCS.”

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini