Dalam rangka Imlek, Nusantara Institute, pada 28 Februari, menggelar Zoominar yang bertajuk Islam dan Tionghoa: Antara Tiongkok (RRC) dan Nusantara (Indonesia). Hadir sebagai nara sumber adalah Sumanto Al Qurtuby (Direktur Nusantara Institute), Tedi Kholiludin (sosiolog dan dosen Universitas Wahid Hasyim), dan Novi Basuki (mahasiswa S3 Sun Yat-sen University, China). Acara Zoominar ini dipandu / dimoderatori oleh Eliza Prabawa, Deputi Direktur Nusantara Institute Bidang Komunikasi dan Relasi Publik.
Sumanto Al Qurtuby yang juga penulis buku Arus China-Islam-Jawa (2003) menjelaskan secara singkat tentang sejarah Tionghoa Muslim di Indonesia. Tedi Kholiludin membawakan topik tentang dinamika santri dan Tionghoa dalam kebudayaan masyarakat Jawa, khususnya di Semarang yang memiliki reputasi toleransi antarkelompok etnis dan agama. Sementara itu, Novi Basuki yang juga penulis buku Islam di China mengulas tentang sejarah Islam dan masyarakat Muslim di Tiongkok (Republik Rakyat China).
Salah Paham tentang Tionghoa
Dalam sambutannya, Sumanto Al Qurtuby mengatakan, banyak masyarakat di Indonesia yang belum memahami dinamika sejarah dan perkembangan kontemporer yang berkaitan dengan Tionghoa dan Islam, baik di Nusantara (baca, Indonesia) maupun Tiongkok (Republik Rakyat China). Bahkan menurutnya tidak sedikit yang salah paham dengan menganggap etnis Tionghoa itu tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. Mereka menilai kalau Tionghoa itu identik dengan komunis, ateis, atau Konghucu.
Persepsi itu tentu saja keliru. Karena faktanya, sebagaimana suku-bangsa lain di dunia ini termasuk Arab, India, Jawa, Sunda, Ambon dan lainnya, masyarakat Tionghoa juga beraneka ragam dalam beragama. Mereka ada yang memeluk Konghucu, Buddha, Protestan, Katolik, Taoisme, Islam dan sebagainya. Tentu saja dari mereka – seperti juga suku-bangsa lain di dunia ini – juga ada yang menjadi pengikut agnotisisme, ateisme dan seterusnya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan Indonesia salah paham atau kurang paham terhadap identitas keagamaan bangsa Tionghoa. Selain minimnya wawasan kesejarahan dan geo-kultural Tiongkok dan Tionghoa, faktor politik juga turut berperan. Misalnya, penghapusan dengan sengaja jejak-jejak sejarah kebudayaan dan keagamaan Tionghoa dari bumi Nusantara yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Hal ini membuat masyarakat tidak familiar dengan sejarah dan peran masyarakat Tionghoa di Nusantara. Menurut Sumanto Al Qurtuby, dalam rangka untuk membumihanguskan Partai Komunis serta pengaruh China dan Komunisme di Indonesia, rezim Suharto dulu melarang semua hal yang berkaitan dengan budaya dan agama Tionghoa serta kontribusi positif mereka di Nusantara. “Buku Professor Slamet Mulyana dari Universitas Indonesia juga ikut dilarang oleh Kejaksaan Agung pada awal 1970an karena mengulas tentang sejarah dan kontribusi Tionghoa Muslim di Nusantara,” tegasnya.
Komunitas Tionghoa di Semarang
Padahal faktanya banyak masyarakat Tionghoa yang memiliki kontribusi positif, baik di dunia niaga, budaya maupun agama. Masyarakat Tionghoa juga mampu beradaptasi dan mengembangkan kultur toleransi atau “tepo seliro” di mana mereka tinggal di bumi Nusantara.
Tedi Kholiludin, yang menulis beberapa buku tentang Tionghoa termasuk relasi santri dan Tionghoa di Kota Semarang, mengungkapkan sejumlah fakta menarik. Semarang, dalam sejarahnya, tak pernah terjadi kekerasan komunal yang serius, meskipun berbagai kelompok etnis, agama, dan politik tinggal disini. Kenapa bisa demikian? Menurut Tedi Kholiludin, hal itu karena wong Semarang – apapun latar belakang etnis, agama, dan politik mereka – tidak ada yang merasa atau mengklaim sebagai “pemilik tunggal” yang paling sah, resmi, asli dan otentik atas aneka ragam praktik kebudayaan yang berkembang di kawasan ini.
Sumber Foto: Inibaru.id/Sitha Afril
Masing-masing kelompok – Jawa, Tionghoa, Arab, Muslim, Konghucu, Kristen, Santri, Abangan, dan lainnya – merasa “kebudayaan Semarang” adalah produk “kebudayaan bersama” yang harus dirawat dan dijaga bersama, dan kontribusi Tionghoa sangat besar dalam upaya merawat Semarang sebagai “rumah bersama” itu.
Kontribusi Tionghoa itu, antara lain, dilakukan melalui medium Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) dengan aneka ragam program seperti Pasar Imlek Semawis, Pasar Malam Semawis dan sebagaimana. Di acara ini semua lapisan masyarakat dari beragam etnis dan agama membaur untuk merayakan berbagai acara Imlek.
Semarang sendiri menjadi salah satu kawasan yang paling banyak dan padat dihuni masyarakat Tionghoa, dan karena itu sangat wajar kalau “kampung pecinan” di kota lumpia ini menjadi salah satu kawasan pecinan terbesar di Indonesia.
Islam dan Tionghoa di Tiongkok
Kesalahpahaman masyarakat bukan hanya menyangkut tentang Tionghoa di Nusantara saja tetapi juga mengenai Tionghoa di Tiongkok. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Tiongkok diidentikkan dengan kawasan non-Muslim. Padahal, umat Islam memiliki sejarah panjang di Tiongkok. Novi Basuki menjelaskan dengan baik tentang historisitas masyarakat Muslim dan sejarah Islam di Tiongkok. Menurutnya, Islam menjamah Tiongkok sudah sejak awal-awal perkembangan Islam di abad ketujuh yang dibuktikan dengan sejumlah prasasti, tulisan-tulisan kuno serta sejumlah peninggalan arkeologis. Di Tiongkok dulu juga ada semacam “kampung Arab” bernama Fan Fang seperti Kampung Pecinan di Nusantara.
Novi Basuki juga menjelaskan kalau masyarakat Tionghoa Muslim di Tiongkok juga beraneka ragam: ada yang koservatif-fundamentalis tetapi juga ada yang moderat-progresif, ada yang Islamis, Salafi, sufi, atau bahkan “Islam Konghucu”, yaitu sebuah keislaman yang berusaha memadukan ajaran fundamental Islam dengan nilai-nilai budaya dan filosofi lokal seperti Islam Nusantara di Indonesia. Lebih detailnya mengenai keislaman di Tiongkok, bisa dibaca di bukunya yang berjudul Islam di China: Dulu dan Kini. [NI].