Aris Setiawan (Pengajar Etnomusikologi, Institut Seni Indonesia Surakarta)
Kadang saya penasaran dengan urusan remeh, kenapa para pemain gamelan harus mithet atau menyentuh dengan menekan logam gamelan yang dipukulkan. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan pithetan, yakni teknik “menutup” atau menekan logam instrumen gamelan agar bunyi yang dihasilkannya tidak mbengung atau noise.
Logika kerjanya sederhana, katakanlah pada instrumen saron atau demung, pemain harus menutup nada terakhir yang ditabuhnya bersamaan dengan dipukulnya nada baru, begitu seterusnya. Sementara instrumen besar seperti kempul (lebih kecil dari gong) harus “dipithet” segera setelah dibunyikan [dengan menyentuh-menekan pencon atau benjolan) agar bunyinya tidak terlalu mbengung. Saya menduka, urusannya tidaklah sesederhana itu. Pithetan mengandung kompleksitas musikal yang seringkali bisa dirasakan namun sulit untuk dijelaskan.
Titik puncak penikmatan gamelan adalah bertemunya antara satu gaung instrumen dengan instrumen lain. Gaung itu bukan ketepatan “warna nada” sebagaimana musik Barat. Apabila dalam musik Barat, nada-nada yang dihasilkan memiliki karakter murni atau otentik, katakanlah nada do misalnya, saat dimainkan harus berbunyi “do” dengan presisi, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun gamelan tidak demikian. Hampir semua instrumen gamelan terbuat dari logam, dan perunggu dipandang paling bagus [dibanding besi misalnya]. Pilihan pada logam perunggu juga bukan karena bentuk dan warnanya menyerupai emas, namun pada kualitas bunyi yang dihasilkan. Bunyi itu adalah serangkaian dengung yang panjang.
Sesekali coba pukul instrumen gamelan seperti demung, saron, atau slenthem. Semua akan berdengung panjang apabila tidak dipithet. Dengung, atau bisa juga disebut dengan “ngung” itu sengaja diciptakan untuk membuat nada tidak berada pada posisinya yang presisi atau “fixed”. Dalam gamelan Bali, permainan dengung ini disebut dengan “ngumbang-ngisep” seperti ombak berdebur. Padahal itu semata bertemunya gaung instrumen satu dengan lainnya dengan jangkauan frekuensi tuning (pelarasan) berbeda.
Apabila dalam gamelan Bali dengung itu seringkali dibiarkan panjang agar membentuk efek musikal yang dramatis selayaknya deru ombak. Di Jawa, dengung itu diperlakukan berbeda. Setiap instrumen gamelan memiliki dengung, namun diatur secara ketat. Alasannya cukup masuk akal, dengan membatasi satu dengung instrumen mengakibatkan terjadinya posisi kosong pada gelombang bunyi yang dihasilkan.
Bahasa sederhananya, dengan melakukan pithetan pada satu instrumen gamelan, maka dengung yang dihasilkan menjadi hilang atau berhenti. Otomatis akan terbentuk ruang hampa, sama sekali tidak ada bunyi. Dan ruang hampa itulah yang akan diisi oleh dengung instrumen gamelan lain.
Saat demung, saron, slenthem (biasa disebut dengan instrumen balungan) melakukan pithetan, maka mereka memberi kesempatan bagi dengung instrumen kempul, bonang, atau kenong untuk masuk. Yang terjadi kemudian adalah saling jahit menjahit dengung, hingga memunculkan puncak kenikmatan estetika dalam gamelan, disebut sebagai “ngeng”.
Bertemunya antara satu dengung dengan lainnya terjadi secara sistematis mengakibatkan penikmatan gamelan berlangsung utuh. Penikmat gamelan tidak menikmati gamelan secara parsial, misal hanya menikmati permainan instrumen saron, kendang, atau bonang saja, namun kebulatan bunyi dari semuanya.
Ini berbeda dengan musik Barat, kita dapat fokus pada satu permainan instrumen, katakanlah biola atau piano saja dengan mengesampingkan keseluruhan orkestra yang terjadi di atas panggung. Menikmati gamelan berarti menikmati komposisi gaung yang dirajut, bukan hanya “yang dimainkan”.
Oleh karena yang dinikmati adalah kesatuan [keutuhan] dengung, paling nyaman mendengarkannya tentulah bukan di panggung prosenium, melainkan di pendopo. Pendopo dengan struktur dan karakternya mampu memanjakan bunyi gaung gamelan dengan sempurna.
Bentuk pendopo dengan pola mengerucut selayaknya piramid adalah landscape tepat bagi terciptanya kejernihan dengung gamelan. Gamelan ditempatkan di tengah pendopo, dimainkan, kemudian bunyi itu saling bertemu, membentuk gelombang yang merayap ke atas, hingga sampai pada titik kerucut pendopo, kemudian disebarkan secara merata ke semua sudut.
Karena itu kita seringkali melihat para penikmat gamelan tidak sepenuhnya duduk tepat di depan gamelan, namun di pojokan pendopo sambil terkantuk dan nyeruput wedang ronde hangat. Mereka menikmati gaung gamelan yang lahir secara sempurna di berbagai penjuru pendopo tanpa harus melihat langsung para pemain atau musisi gamelan. Pemain atau musisi gamelan itu bukan pula tontonan.
Apa yang bisa ditonton dari terbatasnya pergerakan musisi? Bukankah semakin terlihat diam dan menunduk semakin baik. Musisi gamelan dilarang banyak bergerak penuh ekspresi selayaknya musik Barat. Diam itu adalah puncak memainkan gamelan dalam langut.
Karena pendopo adalah tempat ideal mengonstruksi gaung, maka penataan gamelan menjadi sangat penting. Dalam konteks inilah kemudian dikenal dengan pembagian instrumen gamelan berdasar atas penataannya, yakni instrumen wingking (belakang) yang terletak paling belakang seperti gong, kempul, kenong, kethuk.
Kemudian instrumen tengah yakni demung, saron, slenthem, dan saron penerus. Terakhir instrumen ngajeng (depan) yakni kendang, bonang, gender, rebab, dan sindhen. Penataan itu mutlak diperlukan karena berhubungan dengan akustika ruang penciptaan dengung. Kendatipun penataan itu kini dapat kita persoalkan lebih jauh manakala semua sumber bunyi gamelan dipungut dengan menggunakan microphone, menjadi satu pada alat yang dinamakan mixer, kemudian dipelantangkan pada alat yang bernama pengeras suara.
Enigmatik
Pitethan yang menghasilkan rajutan dengung itu nampak indah untuk dinikmati dalam batas antara kantuk dan terjaga. Gaung gamelan itu bukanlah orkestra yang menuntut perhatian penuh. Itu karena gamelan tidak pernah dihadirkan untuk gelaran konser atau resital musik.
Gamelan senantiasa bertaut dengan peristiwa kebudayaan di mana ia hidup dan berkembang, seperti bersih desa, ulang tahun nabi (sekatenan), ritual pernikahan, dan lain sebagainya. Bunyinya hadir untuk tak sepenuhnya diperhatikan, namun memberi penguatan pada esensi acara pokoknya. Saat mendatangi peristiwa sekatenan misalnya, kita mendengarkan konser gamelan sekaten ataukah menikmati dan bertaut secara religius pada tahun kelahiran nabi? Bunyi itu adalah jembatan yang “menghantarkan”, bukan subjek yang menuntut didengarkan.
Dan karena kodratnya demikian, menikmati gamelan adalah dengan mata terpejam. Sesekali hampir tertidur, namun juga tidak sepenuhnya terjaga. Dalam batas liminal inilah penikmat gamelan berlangsung secara total, bukan tentang apa yang didengarkan, namun apa yang dirasakan.
Dengung itu menyentuh hati terdalam, membentuk narasi tafsir berlapis. Itu karena bunyi gamelan adalah sebentuk enigma, semacam timbunan narasi yang tak didominasi oleh pengertian logis. Katakanlah lirik-lirik sindhenan itu, dengan bahasa Jawa sastrawi yang bahkan tak dimengerti oleh pelantunnya sendiri -sindhen-.
Pendengar seringkali menikmati pada yang tak dimengertinya. Dan gamelan tak membutuhkan penjelasan banyak untuk terus diposisikan pada “bingkai definitif” yang menuntut penjelasan ilmiah apalagi akademis (terlebih dengan berdirinya sekolah gamelan dan kampus dengan jurusan karawitan).
Bunyi gaung gong misalnya. Disebut dengan nggandul, dibunyikan tidak presisi pada nada yang membingkainya, namun jauh melampaui. Bagaimana kita melogika hal semacam itu. Gaung yang diciptakannya dinikmati untuk tak harus dinegasikan dalam intuisi berbasis logika.
Karena itu pula menikmati gamelan bisa sangat menyenangkan dengan berselimut sarung, rebahan di sudut pendopo, makan gorengan di angkringan samping, bahkan berpacaran sambil sesekali bersentuhan tangan dan tidur di bahu pasangan. Gamelan memberi ruang egaliter untuk tak terkooptasi menjadi musik serius, dinikmati di panggung prosenium, berpendingin ruangan, dan dilarang memakai sandal jepit, apalagi bersarung. Aduh!!