Oleh: Aisyah Nur Amalia (Alumnus Magister Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
Dalam kajian budaya, narasi tentang disabilitas cenderung negatif. Pertama, disabilitas diasosiasikan dengan sosok liyan (other) yang terpisahkan dari publik mayoritas. Kedua, disabilitas selalu dikaitkan dengan stigma, misalnya ketidakmampuan (disable) dalam berbagai hal. Berbeda dengan narasi tersebut, saya berargumen bahwa disabilitas dalam budaya Jawa, khususnya di Keraton Yogyakarta yang dikenal dengan nama polowijo-cebolan, justru digambarkan secara positif dan dipandang memiliki kedudukan penting selain otoritas spiritual. Namun belakangan ini telah terjadi pergeseran makna otoritas spiritual yang dimiliki oleh polowijo-cebolan. Hal ini ditandai, antara lain, dengan adanya pergeseran fungsi atau operasionalisasi polowijo-cebolan di Keraton Yogyakarta saat ini.
Tulisan ini ingin menjawab sejumlah pertanyaan berikut ini: bagaimana otoritas spiritual polowijo-cebolan di Keraton Yogyakarta? bagaimana otoritas spiritual polowijo-cebolan itu berubah? Apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut? Tulisan ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan etnografi dan menggunakan triangulasi (observasi, wawancara, dan dokumentasi) sebagai teknik penggalian datanya. Polowijo-cebolan dijelaskan memiliki otoritas spiritual di Keraton Yogyakarta seperti menjadi tolak bala atau tameng, simbol kedekatan dengan Tuhan, dan simbol laku Islam-sufistik.
Tulisan ini berargumen, terjadinya pergeseran otoritas spiritual polowijo-cebolan dari sakral menuju profan itu disebabkan oleh pergeseran pemikiran Islam yang turut menginternalisasi masyarakat Yogyakarta serta adanya konsepsi yang lebih modern terhadap disabilitas. Kendati demikian, baik fungsi sakral maupun profan, keduanya masih cukup kuat dipahami oleh masyarakat Yogyakarta sebagai konstruksi dari polowijo-cebolan.