Beranda Publikasi Kolom Islam Nusantara: Sebuah Imunologi Keagamaan yang Toleran

Islam Nusantara: Sebuah Imunologi Keagamaan yang Toleran

1933
0

Oleh: Fathorrahman Ghufron (Wakil Katib PWNU Yogyakarta; penggiat di Center for Sharia Finance and Digital Economy, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta)

Dalam buku Taisir al Fiqh al Islamiy, Yusuf al Qardlawi menyitir ungkapan salah seorang hukama yang berbunyi “Akhbirni madza qara’ta, saukhbiruka man anta” yang artinya, beritahu saya buku apa yang kamu baca, saya akan memberitahukan siapa kamu.

Pernyataan salah seorang hukama’ di atas menyerukan sebuah pesan moral kepada kita bahwa, selazimnya setiap kita mempunyai wawasan yang luas dalam menyikapi fenomena kehidupan ini, termasuk dalam ihwal keberagamaan yang menjadi salah satu jalan kehidupan (way of life). Dan, keluasaan ini tentunya sangat ditentukan oleh berbagai sumber bacaan maupun akses pengetahuan yang menjadi pijakan kita dalam berfikir dan mencermati sebuah persoalan.

Bagi seseorang yang hanya menggeluti pengetahuan secara monologis, apalagi nuansa bacaannya sangat sempit, maka tidak mustahil cara pandangnya akan sempit pula. Implikasinya, seseorang tersebut dengan mudah akan membuat cara-cara ofensif untuk mencermati setiap perbedaan yang menghampar dalam kehidupannya. Apalagi, model respons terhadap perbedaan tersebut disertai dengan kepentingan tertentu untuk meneguhkan pandangannya.

Dalam kaitan ini, merujuk pada pandangan Karl Mannheim dalam buku “Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge”, bahwa pengetahuan seseorang yang berjalin kelindan dengan kepentingan yang diraih, dan kepentingan di sini bermetamorfosis sebagai ideologi untuk merengkuh apa yang menjadi cita-citanya, maka, ketika sebuah ideologi bersenyawa dengan kepentingan, dan di antara keduanya membingkai sebuah pengetahuan yang berkorelasi dengan eksistensi dirinya, dapat diasumsikan bahwa produknya tidak akan jauh dari proses sosial yang dibangun. Di mana, dalam proses sosial tersebut, terdapat dialektika yang menghubungan antara satu dengan yang lain untuk menyasar sebuah sistem yang diinginkan.

Semisal, dalam konteks keagamaan, setidaknya bila dikaji melalui dua pendekatan yang lazim digunakan seseorang dalam mempelajari dan mengkaji agamanya—merujuk pada pemikiran Profesor Amien Abdullah dalam buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi— yaitu pendekatan bayani (hadlaratun nash atau teks) dan pendekatan burhani (hadlaratul ‘ilmi atau konteks), maka out put yang dihasilkan akan bergantung pada eksistensi, kepentingan, dan bahkan ideologi yang hendak dicapai.

Pendekatan Bayani

Dalam pendekatan bayani (tekstual/nash), seseorang akan berselancar dalam sistem pengetahuan yang serba normatif. Mekanisme pembelajarannya menggunakan model purifikasi ajaran yang merujuk langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah secara tunggal dan literlek. Keberadaan ilmu-ilmu lain tidak patut digunakan sebagai instrumen pengkajian. Sebab, hal ini akan berkonsekwensi pada munculnya keraguan terhadap kesucian al qur’an dan as sunnah itu sendiri.

Dalam kondisi demikian, tidak heran bila ekspresi keberagamaan yang mengkristal dalam pendekatan ini adalah bagaimana membangun sebuah biduk kehidupan manusia yang segala sesuatunya harus berdasarkan ajaran yang ada dalam al qur’an dan as sunnah secara normatif dan apa adanya. Setiap perubahan yang tidak sesuai dengan karakter ajaran yang rigit dianggap menyalahi ketentuan al qur’an dan as sunnah. Ironisnya, ujung dari pembingkaian tersebut, berpengaruh kepada pemikiran, sikap, dan tindakan yang negatif berupa pembenaran terhadap keyakinan ideologis sendiri dan menyalahkan apa yang menjadi keyakinan pihak lain.

Bahkan, untuk menggerakkan cara truth claim dalam pengetahuan agamanya, tidak segan menggunakan model ofensif berupa penyebaran ujaran kebencian (hate speech) terhadap pihak lain yang didasarkan kepada  alasan pemurnian akidah. Selain itu, logika penistaan agama (blasphemy) digunakan sebagai instrumen untuk menyerang banyak kelompok yang dianggap tidak menjalankan pengetahuan keagamaan seperti yang berlaku pada dirinya.

Implikasinya, pengetahuan berbasis pendekatan bayani yang rigit ini menjadi gerakan radikal-ekstrem yang selalu gigih ingin mengubah sebuah sistem kehidupan masyarakat, baik di tingkat regional, nasional, dan internasional berdasarkan kepentingan dan ideologi yang dipeluknya. Hal ini sebagaimana tampak pada gerakan keagamaan seperti salafi, ikhwanul muslim, wahabi, dan gerakan sejenisnya yang gemar menebar pesan thaghutiyah kepada banyak pihak yang tidak sejalan dengan pandangannya.

Dalam kaitan ini, situasi demikian akan melahirkan sebuah kerentanan dalam kehidupan kita. Apalagi, kerentanan  ini selalu berkaitan dengan kuatnya solidaritas mekanik yang berlangsung secara in group dalam kehidupan beberapa kelompok Muslim yang secara sengaja ataupun tidak sengaja mengeksklusifkan diri dari ruang interrelasi sosial yang heterogen.

Beberapa kelompok Muslim ada yang sangat membatasi dari perubahan sosial dan perkembangan zaman sembari membentengi dirinya dengan seperangkat doktrin teologis yang bersifat normatif-skriptualis, fanatik absolut, apologetic-defensive, dan truth claim, bahkan merumuskan model gerakan ofensif-peyoratif atas nama amar ma’ruf nahi munkar untuk merespons perbedaan yang terjadi.

Secara empiris, kerentanan yang terjadi dalam kehidupan kita dapat dicermati dalam empat aspek berikut ini.

Pertama, beberapa kelompok Muslim kurang bisa menempatkan diri dengan baik ketika berada di wilayah publik yang berciri heterogen. Hal ini bisa dicermati pada cara indoktrinasi keyakinan dan aliran mereka yang terkesan memaksa kepada pihak lain untuk sama sehingga pandangan dan pemikirannya bertabrakan.

Kedua, ajaran agama kerap dijadikan alat legitimasi untuk membenarkan diri sendiri sembari menyalahkan orang lain. Bahkan, dalam pusaran politik, sesuatu yang sebenarnya tidak bersumber ajaran agama—seperti konsep khilafah—namun lebih mengacu pada konstruksi sejarah yang bermula dari produksi kemandegan masyarakat muslim tertentu, dianggap sebagai pesan ketuhanan yang harus ditegakkan sepanjang masa.

Ketiga, Mental “mayoritanisme kemusliman” yang dibanggakan di republik ini menjadi cara memaksa berbagai pihak yang berada di jalur minoritas agar selaras dengan cara pandang keberagamaan yang dipeluk. Bahkan, kelompok ini tak segan menggunakan cara kekerasan baik secara fisik maupun psikologis terhadap pihak minoritas yang berbeda dituduh melakukan kemungkaran.

Keempat, membatasi ruang gerak kontekstualisasi penafsiran yang interkonektif dengan pengetahuan lain terhadap dalil-dalil naqli yang dianggap sebagai landasan normative untuk menjangkau persoalan yang sangat complicated. Dampaknya, ada banyak simplikasi masalah kehidupan kemasyarakatan yang muara kebenarannya selalu dirujukkan kepada dalil yang masih normative, namun miskin pemaknaan sosial terhadap konteks ajaran yang tepat untuk semangat zaman (shalihun fi kulli zaman).

Dalam kaitan ini, disadari atau tidak, beberapa faktor kerentanan di atas bila tidak disikapi dengan baik, akan menimbulkan peranakan kerentanan secara endemik yang justru dapat merugikan umat Islam sendiri.

Munculnya berbagai stigmatisasi fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme adalah konsekuensi dari menggelembungnya aneka stereotype terhadap kelompok umat Islam yang selama ini lebih mengedepankan ego-sektoral keberyakinannya. Bahkan, beberapa kelompok Muslim yang sangat fanatik dengan aliran keberyakinannya selalu memproduksi gerakan massif untuk menolak paham lokal dan paham globalisasi seperti singkretisme dan pluralisme atau dikenal dengan akronim sipilis.

Lalu, di tengah infiltrasi pengetahuan agama yang sedemikian ekstrem ini, bagaimana posisi kita agar tak terpengaruh dengan modus operandi penyebaran ajaran yang seringkali bertolak dengan spirit keagamaan yang seharusnya kontekstual dengan perubahan sosial dan perkembangan zaman?

Diperlukan pendekatan lain agar pengetahuan keagamaan kita tidak mudah dipengaruhi oleh virus patologis yang kerap menjerembabkan kita pada ruang-ruang subyektivisme yang berorientasi normatif, fanatik absolut, apologetic-defensive, dan truth claim.

Pendekatan Burhani

Bila dalam pendekatan bayani mengarahkan orang berfikir tentang agama secara normatif dan rigit, maka, pendekatan burhani memberikan nuansa yang lebih logis dan arif dalam memperlakukan agama sebagai jalan pengetahuan (way of knowledge).

Dalam kaitan ini, pendekatan burhani dapat dijadikan sebagai sumber metodologis yang memberikan kerangka berfikir yang lebih dinamis dalam pengetahuan keagamaan kita. Dalam pendekatan burhani, agama tidak sekedar diasumsikan sebagai fenomena teologis yang hanya dijalankan dalam proses pengalaman (experience) yang pasif melainkan juga sebagai fenomena sosiologis yang perlu dikaji dan diteliti dalam proses penelaahan (eksperimental) secara dinamis dan dialektis. Hal ini penting dilakukan agar setiap ajaran agama yang diterima dapat memberikan pemahaman baru yang mencerahkan (enlightened) dan memperluas (enrichted) wawasan kita.

Dengan demikian, pengetahuan agama dapat digunakan sebagai instrumen transformasi keberadaban (tamaddun) progresif yang dapat membebaskan manusia dari jebakan indoktrinasi yang sarat dengan kepentingan subyektif-parsial. Sebab, agama yang dibawa oleh para Nabi dan disebarkan oleh pengikutnya sejatinya mempunyai banyak fungsi theomorfis dan anthromorfis yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia. Akan tetapi, agama seringkali menjadi gegar di ruang publik lantaran dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang ingin meneguhkan eksistensinya untuk sekedar bertarung dengan banyak pihak demi kepentingan dirinya.

Kehadiran beberapa kelompok sosial yang semata-mata menggunakan pendekatan bayani untuk memproduksi pengetahuan agama yang sangat fundamental, radikal, dan bahkan ekstrem perlu diimbangi penyebaran pengetahuan agama dengan nalar objektif-kritis. Melalui pendekatan burhani, pengetahuan agama dinalar berdasarkan metode, kajian, dan ilmu yang bisa mengarahkan pada rasa saling memahami, rasa empati dan simpati, serta pandangan inclusive-partnership-dialogical terhadap perbedaan dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian pengetahuan agama, merujuk pada pandangan Prof. Al Makin dalam buku “Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia” akan menjadi makanisme sosial yang mampu menfilter segala bentuk prejudice yang berdampak negatif pada perselisihan dan permusuhan antar individu maupun kelompok. Sebab, persilangan ilmu pengetahuan, baik dalam lingkup sosial, sejarah dan budaya yang berinteraksi dengan agama akan menjadi dialektika pengetahuan keagamaan yang mendewasakan seseorang maupun kelompok untuk bersikap arif menerima perbedaan dan mengapresiasi persamaan.

Selain itu, melalui pendekatan burhani, posisi kita akan semakin terkontrol dari sekian ajaran-ajaran provokatif, yang seolah-olah mengatasnamakan pesan keagamaan, namun di balik hal itu terdapat kepentingan tertentu untuk merubah pandangan dunia (worldview) masyarakat ke dalam sistem ajaran yang diyakini dirinya sebagai kebenaran tunggal.

Maka, sudah semestinya kita memperluas model pembacaan kita terhadap agama dengan beragam pendekatan dan metode pemahaman yang kontekstual, agar kita tidak terjebak dalam satu pemikiran yang sempit. Sebab, merujuk pada pandangan Goethe, Who knows one no none. Yang artinya, barang siapa yang hanya tahu satu persoalan, sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa. Dan ketika seseorang hanya mengetahui satu persoalan tentang pengetahuan agama, maka dirinya akan selalu disekap oleh ketidaktahuan yang bisa melemahkan ajaran agama itu sendiri.

Namun demikian, pendekatan burhani yang secara substansial mengusung ide kritis dalam berfikir dan keluasan wawasan dalam memandang sebuah ajaran, perlu dilandingkan pada sebuah konsep terapan yang bisa diakses oleh masyarakat. Hal kini penting dilakukan agar, pendekatan burhani menjadi pandu pengetahuan (guidance of knowledge) yang bisa mengarahkan alur pemahaman setiap orang dalam mencermati agamanya.

Dalam kaitan ini, pendekatan burhani yang lebih kental sebagai nuansa metodologis perlu dikaitkan dengan pandangan dunia (world view) manusia yang berhubungan dengan arkeologi pengetahuan. Semisal, pandangan kenusantaraan—yang menjadi basis arkeologi pengetahuan—yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu dan menyejarah dalam lingkup kehidupan manusia bersama rangkaian aktifitas ritusnya.

Dalam konteks keagamaan, pandangan kenusantaraan yang menjadi basis arkeologi pengetahuan dan secara metodologis dipengaruhi oleh pendekatan burhani, perlu diwarnai oleh rentetan pergerakan keagamaan yang satu sisi mengenalkan ajaran keagamaan dan di sisi lain tidak bertentangan dengan habitus kebudayaan yang ada pada iklim kenusantaraan tersebut. Sebab, iklim kenusantaraan adalah modalitas enthromorfis yang sudah dilestarikan oleh generasi masa lampau yang digunakan sebagai strategi kebudayaan untuk mengharmoniskan kehidupan mereka.

Maka, ketika pergerakan keagamaan menjadi salah satu interplay dalam kehidupan masyarakat, yang satu sisi ingin menyebarkan ajaran keagamaan namun di sisi lain harus bertanggung jawap pula terhadap lestarinya tradisi yang sudah hidup sejak ribuan yang lalu. Dengan cara ini, maka sebuah pergerakan keagamaan akan memproduksi sebuah imunitas pengetahuan yang mampu memfilter segala macam tantangan dan rintangan yang berasal dari luar yang by design selalu ingin melumpuhkan iklim kenusantaraan itu sendiri.

Dalam kaitan ini, pergerakaan keagamaan seperti yang dilakukan oleh sekumpulan ulama yang tergabung dalam Nahdlatu Ulama (NU) yang satu sisi ingin menyebarkan ajaran keagamaan dan di sisi lain juga bertanggung jawab atas lestarinya iklim kenusantaraan menjadi role model bagaimana NU ingin menerapkan pendekatan burhani dalam memperkuatan pengetahuan keagamaannya.

Keberadaan ulama yang terkumpul dalam NU, meskipun basis keilmuannya bersifat tradisionalis, dilingkupi oleh warisan keilmuan yang tumbuh dari lingkungan pesantren, dan dihuni oleh ribuan pendukung yang secara geografis tumbuh di lingkungan pedesaan, mampu menghadirkan pendekatan burhani dalam mendesain pengetahuan keagamaan yang bisa berjalin kelindan dengan iklim kenusantaraan.

Apalagi, ketika NU di periode milenium ini mendeklarasikan khittah pengetahuan keagamaannya berdasarkan iklim kenusantaraan semakin membuktikan bahwa NU menjadi bagian interplay yang satu sisi bertanggung jawab atas lestarinya ajaran keagaamaan dan di sisi lain juga bertanggung jawab terhadap iklim kenusantaraan. Dan menariknya, ketika Prof. Dr. KH. Said aqil Siradj, Lc, MA yang kini menjadi Ketua Umum PBNU periode 2015-2020 menegaskan bahwa: Bagi NU, Islam Nusantara merupakan konsep filosofis yang menegaskan adanya perspektif sebuah pola pikir, tata nilai dan cara pandang dalam melihat dan menghadapi berbagai budaya yang datang.

Pandangan KH. Said aqil Siradj yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddun” menjadi sebuah pembuktian bahwa NU siap menjadi interplay yang menghubungkan (bridging) iklim kenusantaraan dengan ajaran agama. Dengan sikap ini, maka NKRI menjadi sebuah pengabdian bagi rakyat Indonesia yang harus dilaksanakan dengan baik agar Indonenesai tumbuh sebagai negara yang aman, damai, dan sentosa.

NUsantara: Imunitas Pengetahuan Agama

Secara sosiologis, Islam Nusantara menjadi sebuah world view yang membentuk lahirnya inter-relasi epistemologi keberagamaan rakyat Indonesia, karena satu sisi bisa menerima perkembangan budaya dan pengetahun baru (al akhdzu bil jadid al ashlah) namun di sisi lain tetap bisa menjaga dan merawat aneka tradisi leluhur baik yang bernuansa theomorfis maupun anthromorfis (al muhafadzah ‘ala qadim ash shalih) dalam meneguhkan sistem kepercayaan agamanya.

Sebagai sebuah world view, Islam Nusantara dilandasi oleh tiga pilar utama, yaitu, pemikiran (fikrah) yang meliputui cara berfikir moderat (tawassuth). Kedua, gerakan (harakah) yang meliputi kemaslahatan dan perbaikan. Ketiga, amaliah yang menekankan identitas keberislaman yang berlandaskan pada fikih dan ushul fikih (Ma’ruf Amien, “Khittah Islam Nusantara” Kompas, 29/8/2015).

Dalam kaitan ini, Islam Nusantara dapat dianggap sebagai pengusung Islam rahmatan lil ‘alamin memantik penilaian yang sangat beragam. Bahkan, Islam Nusantara dapat dianggap pula sebagai harapan masa depan bagi terbangunnya semangat keindonesiaan yang toleran dan moderat. Sebab, di era globalisasi Islam Nusantara dimungkinkan dapat menjadi pusat pertemuan budaya yang bisa melahirkan budaya dan tata nilai yang khas.

Keberadaan Islam Nusantara yang diusung oleh NU, bagi penulis menjadi modalitas sosial untuk meneguhkan sebuah imunologi keagamaan yang toleran. Dengan kata lain, imunologi di sini meniscayakan sebuah sistem imunitas (kekebalan) terhadap infiltrasi paham keagamaan yang cenderung tekstualis-radikal.

Secara sosiologis, Islam Nusantara yang diusung oleh NU—atau dalam istilah penulis NUsantara—menjadi arkeologi pengetahuan yang bisa menjembatani antara cita-cita NU yang ingin menerapkan spirit keagamaan yang toleran dengan cita-cita keindonesiaan yang ingin menciptakan spirit kebangsaan yang adil dan demokratis.

Cita-cita NU dan cita-cita keindonesiaan dapat dilacak sejak dahulu kala ketika ulama NU mendeklarasikan dirinya sebagai salah satu bagian penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam kaitan ini, perang kemerdekaan yang dikumandangkan Hadratus Syekh KH. Asy’ari pada tanggal 21-22 Oktober 1945 dengan melibatkan berbagai elemen pelaku pesantren menjadi embrio perlawanan terhadap tentara Inggris yang meletus pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Dikemas dengan resolusi jihad yang melibatkan ribuan santri dan kyai, pekik takbir yang melandasi perjuangan dan pengorbanan mereka, mampu memukul mundur tentara Inggris yang ingin menguasai Surabaya di bawah pimpinan Jenderal Mallaby.

Dalam kaitan ini, perjuangan dan pengorbanan kaum santri yang gigih dan tulus merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah tercatat dalam ingatan pesantren namun nyaris dilupakan selama puluhan tahun oleh negara. Seolah-olah kemerdekaan Indonesia yang diperebutkan dari tangan Inggris hanya dilakukan oleh sekelompok pejuang tertentu, yang dalam terminologi Clifford Geertz ditaksonomisasi sebagai priyayi maupun abangan.

Padahal, di setiap moment sejarah keindonesiaan, baik di era formatif maupun pertumbuhan terwujudnya Indonesia sebagai negara yang merdeka, santri menjadi simpul pergerakan yang menghubungkan daya kritisisme setiap etnis, warga, dan umat beragama. Tak tersekat oleh gugusan emosional kelompok tertentu, santri melibatkan semua komponen dalam satu kesadaran jibaku untuk menghadirkan negeri yang damai dan aman.

Dalam kaitan ini, menarik bila merujukkan spirit keterlibatan santri dalam konteks keindonesiaan yang membutuhkan semangat juang merebut maupun mempertahankan kemerdekaan melalui pandangan Ian S. Markham dalam buku “A Theology of Engagement. Setidaknya, ada dua unsur yang bisa digunakan sebagai kerangka analisis ihwal keterlibatan santri dalam memainkan perannya dalam gerakan sosial kritis.

Pertama, spirit of assimilation yang menjadi basis pembauran pandangan maupun tindakan di ruang publik. Keberadaan santri yang secara genealogis lahir dari epistemologi kenusantaraan, yaitu cantrik bertemu dalam satu ruang kesadaran religiusitas untuk mengembangkan semangat pembebasan dari pengaruh kolonialisasi para penjajah. Tanpa mempersoalkan apakah cantrik adalah semiotika nusantara yang bersumber warisan Hindu, para pelaku pesantren kala itu bersedia untuk mempersonifikasi peserta didiknya melalui sebutan santri yang dimetamorfosa dari cantrik.

Dengan asimilasi identitas ini, menjadi wajar bila pesantren yang menjadi sumber dan muasal model pendidikan nusantara kala itu, mampu menggerakkan kesadaran kristis semua komponen untuk menolak segala bentuk penjajahan tanpa mempersoalkan apakah balutan semangat juangannya bersumber dari keyakinan dan kepercayaan kelompok tertentu. Bahkan, berbagai simbol tradisi yang menjadi kebiasaan masyarakat nusantara diakomodasi dan diadopsi sebagai strategi pengembangan spirit keberagamaan untuk memperkuat nalar kritis melawan para penjajah.

 Kedua, spirit of overhearing yang menjadi ruang fleksibilitas dan adaptabilitas Santri dalam merespon setiap fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat nusantara. Diktum agama yang melingkupi pengetahuan teologis santri melempangkan semangat saling menghargai dan saling mendengar antar berbagai kelompok tanpa mendiskreditkan satu dengan yang lain dengan tindakan menyalahkan pengetahuan pihak lain maupun membenarkan pengetahun dirinya sendiri.

Nilai-nilai kemaslahatan yang ada pada masing-masing kelompok menjadi ruang diskursus untuk mewujudkan semangat perlindungan manusia Indonesia dari segala bentuk kerentanan sosial budaya maupun ancaman penjajah yang selalu mengadu domba berbagai elemen masyarakat nusantara. Dengan cara ini, semangat persatuan bisa dihimpun dalam ikatan nasionalisme yang menghubungan semua kelompok dalam mandala keterlibatan (space of engagement) yang rerata.

Dengan demikian, kehadiran NU dalam mengawal iklim keindonesiaan berdasarkan spirit keagamaan dan spirit kebangsaan, apalagi secara geneanologis, NU juga melestarikan iklim kenusantaraan yang menjadi embrio kelahiran Melanesia dan Indonesia, maka, sesungguhnya NU sudah menempatkan dirinya sebagai soko guru peradaban.

Posisi NU sebagai soko guru peradaban di sini menjalin ikatan keumatan yang menjadi basis populasi keagamaan dan ikatan kewargaan yang menjadi basis populasi keindonesiaan. Dua entitas yang digerakkan oleh NU melalui pengetahuan keagamaan yang toleran dan secara metodologis diisertasi pula oleh pendekatan burhani, maka sumbangsih NU dengan mendeklarasikan Islam Nusantara dalam serangkaian ritus pergerakannya menjadi kredit point yang berharga bagi lahirnya perdamaiaan di dunia.

Di saat sebagian kelompok keagamaan masih terjebak dengan model indoktrinasi keagamaan yang eksklusif-radikal, kehadiran Islam Nusantara menjadi oase di tengah dahaga kehidupan masyarakat yang merindukan perdamaian. Apalagai, dalam kehidupan masyarakat, sebuah perdamaian lebih banyak didorong oleh sirkulasi pemahaman keagamaan. Dalam keseharian, kehidupan masyarakat hampir tak lepas dari laku keagamaan yang diawali dari kelahiran hingga kematian.

Maka, ketika NU menawarkan sebuah pengetahuan keagamaan yang toleran, moderan, berimbang, dan berkeadilan  serta menghadirkan kembali iklim kenusantara dalam pandangan dunia keagamaannya, bukan mustahil posisi demikian menjadi sebuah imunitas yang mampu memfilter setiap gerakan ekstremisasi dan radikalisasi yang dihembuskan oleh kelompok keagamaan tertentu yang secara sengaja ingin menghancurkan sendi-sendi keindonesiaan kita.

Kesimpulan

Salah satu tantangan krusial di era globalisasi adalah bagaimana kesediaan kita untuk menjalin konsep persaudaraan (ukhuwah) yang tidak sekedar merentang di lingkup keagamaan (diniyah) melainkan dapat melempengkan pula dalam lingkup kebangsaan (wathoniyah).

Menurut KH. Said Aqil Siradj, unsur penting yang bisa menghubungkan dua model ukhuwah dalam satu lingkup pergerakan adalah melalui pelestarian tradisi yang ada pada masing-masing agama dan bangsa. Dalam kaitan ini, iklim nusantara menjadi embrio kebudayaan yang menggerakkan bagaimana tradisi itu berlangsung dan diresapi oleh penduduk Indonesia.

Dalam hal ini, inisiasi NU untuk mengakomodasi khazanah kenusantaraan dalam sistem pengetahuan keagamaannya menjadi pijakan arkeologis yang sangat humanis untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan yang menjadi fitrah kelahiran pergerakannya dan nilai-nilai kebangsaan yang diwarnai oleh iklim kenusantaraan. Dengan demikian, apa yang digaungkan oleh NU untuk “mempertahankan tradisi lama dan mengambil sebuah kebaruan yang baik” (al muhafadlah ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al aslah) menjadi relasi epistemologis yang bisa menangkal setiap gerakan maupun paham yang secara nyata sebenarnya lebih condong pada penggerusan nilai-nilai esensi agama.

Islam Nusantara yang diusung menjadi sistem imunitas pengetahuan keagamaan yang sangat berharga bagi lahirnya kehidupan yang aman dan damai. Dan ini, akan menjadi tonggak kelahiran sejarah baru dalam kehidupan manusia Indonesia sekaligus menjadi role of model peradaban bagi dunia yang rahmatan lil ‘alamin. [NI]

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini