Frengki Nur Fariya Pratama (Aktivis Akshamala Indigenous Studies)
Dia berdiri tegak tiada bersuara
Mendengar setiap kata-kata mereka
Tegar di antara desah deru kota
Menyesap asap yang sesakkan dunia
ā¦..
(Pigmy Marmoset – Cerita Tentang Pohon)
Ada berapa citra pohon yang ditafsir manusia? Instansi pemerintah, organisasi sosial politik, hingga organisasi setingkat desa, menafsir pohon sesuai cita-cita luhurnya. Kekokohan, kerindangan, kebermanfaat, dan seterusnya, dipinjam makna filosofisnya sebagai penguat citra komunal. Puluhan tafsir citra pohon muncul sepanjang rentang hayat manusia.
Tanpa bisa bersuara, pohon dengan ikhlas menerima tafsir bebas dari manusia. Citra yang manusia pikirkan, tuliskan, lalu sebarkan, jadi patokan yang seolah-olah ejawantah gerak komunal yang dilakukan. Narasi konstruksi citra pun bergerak, tertanam di otak, lalu mencipta suatu keadaan yang diinginkan. Sebuah transmisi representasi konstruksionis hasil suntikan motif ke dalam daur ulang representasi melalui bahasa[1]. Semisal Pohon indah, pohon berguna, pohon berkah, pohon angker, bahkan pohon mahal.
Dari tegak-tumbuh pohon, bisa tercipta budaya dengan beragam pranata di masyarakat. Kesemuanya bertumpu pada pohon yang begitu penting bagi kehidupan manusia. Keberadaan pohon pun sering dikaitkan dengan hal-hal adikodrati. Sesuatu yang berada diluar batas jangkau manusia. Paling umum dan menonjol adalah pohon bodhi spesies ficus religiosa. Pohon suku ara-araan (moraceae) ini dari namanya saja sudah tertebak, mengimajinasikan makna religiusitas.
Citra itu terpatah dalam salah satu panel relief candi Borobudur. Dari sana, cerita Sidharta Gautama yang mendapat pencerahan saat berada di bawah rindang pohon bodhi bisa baca ulang[2]. Tak khayal, pohon bodhi begitu bermakna bagi kalangan penganut Buddhisme. Bahkan, punya perluasan makna yakni pengetahuan tentang jalan (maggaƱÄį¹aį¹ bodhÄ«ti vuttaį¹) dan tentang kemahatahuan (sabbaƱƱutaƱƱÄį¹aį¹).
Dari genus yang sama, Jawa pun mengenalkan pohon beringin. Serupa dengan bodhi, makna secara kebudayaan Jawa juga berhubungan dengan yang liyan. Sering tegak berdiri di pundhen–pundhen desa. Saban tahun dirayakan dengan ritus kebudayaan bersih desa atau nyadran. Sebuah ritus untuk menghormati dahyangan yang berdiam di pohon tua, besar, dan kadang terlilit kain poleng.
Di pusat kebudayaan Jawa, juga ada waringin kembar. Letaknya di tengah alun-alun. Dua beringin yang berdiri kokoh itu dianggap tanda mula-akhir, lahir-mati, dalam makna filosofis Keraton Jawa. Bagaikan gerbang hubung manusia ke dunia yang lain.
Pohon beringin pun berubah jadi menakutkan. Rimbun julur akar rambat yang menggantung bagai raksasa berdiri menimbulkan imajinasi angker. Bergulir pula kabar burung ada mbak-mbak berambut pajang yang nangkring di atas pohon. Pohon berubah wingit, meski ada yang sengaja di-pingit.
Semenakutkan ikon pohon beringin kuning setengah abad lalu.
Tafsir tentang pohon akan selalu berjalan dengan segala kepentingan. Bergulirnya waktu, acap muncul tafsir kiwari tentang pohon. Seiring dengan rindang daun pohon itu, manusia berdendang berusaha menjuarai dan mencipta sejarah tentang dirinya sendiri.
Ternyata, pohon tak habis-habisnya kena soroatan. Gegara ucapan tentang klasifikasi sawit, pohon kembali naik daun, lebih tinggi dari daunnya sendiri. Entah perdebatan apa yang bakal terus terjadi, barang kali pohon tetap merasuk dalam diri manusia. Menjaga lingkar kehidupan dan ternyata masih menjadi klangenan. Meski klangenan itu juga membawa motif tafsir yang berpihak pada kepentingan.
Alam Klangenan
Oleh sebab klangenan manusia, beragam pohon dan beragam tumbuhan lain ikut meramaikan kosakata umpatan. Tetiba bilang asem saat tersandung batu, bilang thelo saat ada teman yang usil, bahlam mbah yang kadung jengkel saja bisa nyebut āhmm, bocah kok ganthenge kaya sogok thuntheng!ā. Masih ingat sogok thuntheng?
Nama lokal Jawa untuk menyebut biji tumbuhan saga (adenanthera pavonina) ini terdengar lucu. Meski sudah jarang ada di kebun nganggur samping rumah. Biji berwarna kombinasi merah dan hitam sering direndaman nenek dalam minyak lampu cempluk/semprong itu mungkin jadi garasi mobil second yang dicicil saban bulan.
Lain lagi kalau isi bumi itu diperbincangkan dalam majas. Citra itu sering dipakai sebagai gambaran personalia manusia. Seperti saį¹ awarį¹a campaka kadaį¹ niį¹ asana (Kakawin BhomakÄwya)sebagai perumpamaan wanita ideal berkulit kuning, pepindhan Jawa giginya miji timun, keinginannyaseperti nyidham cempaluk (daun asam muda), dan janur gunung yang merujuk pada tanaman aren.
Para pemakna (pengarang) juga menghadirkan perumpamaan dalam citra suasana alam. Suasana perang serupa gelegar petir, kesejukan dengan gambaran gemericik sumber air gunung di pagi hari, suasana nglangut penuh rindu melalui citra suara cunggreret/tonggeret atau walang krik[3]. Semuanya hasil peresapan citra alam dan segala makhluk yang menggantungkan hidupnya.
Citra alam hunian selalu berkelindan dalam relung pikiran. Perumpamaan selalu hadir melalui sembarang isi bumi. Duka dan bahagia ditunjukan lewat citra isi dan fenomena di bumi. Pohon, buah-buahan, fenomena alam, hadir sebagai wakil entitas bumi yang mengisi klangenan dalam menyajikan ikhwal emosi manusia. Baik dalam ucapan maupun tulisan.
Mereka saling tertawa, bercinta dan menyeka air mata
Dia menemani setiap musim berganti…
Dia… kekasih hati Sang Bumi
Dia menemani setiap musim berganti…
Dia… kekasih hati Sang Bumi
(Pigmy Marmoset – Cerita Tentang Pohon)
Benar kata Pygmy Marmoset bahwa pohon selalu menemani bagaimanapu keadaan manusia di setiap musim berganti. Pohon selalu memberi daya hidup bagi manusia. Tanpa pohon, dunia akan terasa gersang, bahkan kehidupan tak akan berjalan.
Pohon selalu menemani manusia di sepanjang abad. Pohon Tule di meksiko, pohon Methuselah (Bristlecone Pine) di White Mountains California, dan pohon Sequoia raksasa (Sequoiadendron Giganteum) di Taman Nasional Sequoia, California. Begitu pula pohon dengan batang tubuh serupa tong air bernama Baobab di Afrika, yang menemani bumi ratusan tahun hingga kini. Pohon tua yang bertahan ratusan tahun lalu itu hanya membisu menyaksikan manusia berebut dan berlomba menuliskan sejarah mereka.
Laju perlombaan itu yang bikin lalai rehat. Menengok kanan-kiri, sekadar menyapa makhluk yang hidup sekitarnya. Lalai memberi makna pada mereka, yang diam membisu hidup disela-sela eksploitasinya.
Terlintas satu cerita kasih masyarakat dayak kepada pohon meranti kuning di Kalimantan Utara. Dengan diameter 9 Meter setara rentang tangan 6 orang dewasa, pohon itu dirawat penuh kasih. Masyarakat yang melindungi sering bertandang ke sana. Sekadar melihat dan menikmati keasrian biodiversitas tetumbuhan yang hidup di sekitar pohon raksasa tua.
Masyarakat sering bersenandung di dekat pohon itu. Dengan mempersembahkan bebunyian untuk diperdengarkan kepada sang pohon raksasa tua. Bunyi petikan sape diiringi lantunan merdu kidungkasih.
Mereka tak berpikir untuk menawar dengan bunyi lain. Tak rela pula memperdengarkan bunyi desing gergaji mesin yang siap memotong tubuh kokoh pohon kekasih sang bumi. Pohon hanya membisu, dan terus membisu. Menunggu rangkul makna kasih manusia. Lalu, tafsir apa lagi yang coba manusia lakukan? #nowplaying: Iwan Fals-Pohon Untuk Kehidupan.
Daftar Bacaan
[1] S. Hall, Representation: Cultural Representation and Signifying Practice. London: SAGE Publicions Ltd, 1997.
[2] A. Bhikkhu, Lalitavistara Kehidupan Buddha Gautama di Relief Borobudur. Jakarta Barat: Ehipassiko Foundation, 2017.
[3] P. J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.