Beranda Publikasi Kolom Keberagaman Adalah Kekuatan, Bukan Hambatan

Keberagaman Adalah Kekuatan, Bukan Hambatan

280
1

Aminah Grace Kristina Purba (Mahasiswa S1 Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana)

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia beberapa tahun lalu telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Ketika masyarakat diminta untuk tetap tinggal di rumah, aktivitas sosial menjadi terbatas, dan rasa bosan pun tak terhindarkan. Bagi saya, media sosial menjadi cara untuk tetap terhubung dengan dunia luar.

Selain Instagram, WhatsApp, Facebook, TikTok, X, dan Line, saya juga aktif menggunakan Telegram. Di sinilah saya mengalami salah satu peristiwa penting dalam hidup saya, perkenalan dengan seseorang yang kini sangat saya hormati sebagai teman dan panutan, Kak Nasya.

Telegram memiliki fitur unik, yakni fitur anonim yang dikenal dengan sebutan ā€œAnony Teleā€. Fitur ini memungkinkan pengguna berkomunikasi tanpa menampilkan identitas asli.

Di sebuah grup Telegram, saya bertemu dengan seseorang yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Anasyafira, akrab dipanggil Kak Nasya. Ia lahir tahun 2002, beragama Islam, dan sedang menempuh studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Kami kemudian melanjutkan percakapan ke Instagram dan semakin sering berdiskusi tentang banyak hal.

***

Yang membuat perkenalan kami begitu berarti adalah perbedaan latar belakang kami. Saya beragama Kristen, sementara Kak Nasya adalah muslim. Meskipun berasal dari dua agama yang berbeda, kami menjalin komunikasi dengan sangat terbuka dan penuh rasa hormat. Perbedaan agama tidak lantas membuat kami canggung dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan.

Hubungan kami bukan sekadar pertemanan biasa, melainkan persaudaraan perempuan yang terbangun melalui saling dukung dan saling belajar. Tidak ada rasa sungkan, tidak ada penghakiman, hanya keinginan untuk memahami satu sama lain dengan tulus.

Kak Nasya menjadi salah satu orang yang paling berjasa dalam proses saya menyiapkan diri kuliah di Salatiga. Ia membantu saya mengenal lingkungan kota, budaya lokal, dan juga memberi banyak tips terkait kehidupan kampus (Sinurat 2018).

Saya merasa pertemuan ini adalah bentuk rezeki dari Tuhan, dipertemukan dengan seseorang yang bersedia membantu tanpa pamrih, di saat saya sangat membutuhkan panduan.

***

Pada tahun 2023, saya memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar demi bisa masuk ke kampus impian. Setelah melalui proses panjang, saya akhirnya diterima di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Fakultas Teologi, Program Studi Ilmu Teologi, tahun 2024.

Ketika saya memberitahu kabar ini kepada Kak Nasya, ia menyambutnya dengan bahagia dan kembali membantu saya menyiapkan kepindahan ke Salatiga, dari mencari kos, memberi nasihat soal adaptasi, hingga mengenalkan saya pada beberapa kenalan di kota itu.

Yang paling saya hargai dari persahabatan kami adalah bagaimana kami menyikapi perbedaan agama dengan begitu dewasa. Kak Nasya kerap bertanya tentang ajaran agama Kristen tanpa nada menghakimi atau membandingkan. Ia benar-benar ingin tahu dan memahami.

Saya pun melakukan hal yang sama terhadap agama Islam. Kami berdiskusi secara terbuka, saling bertukar pandangan, dan menghargai keyakinan masing-masing. Tidak ada niat untuk menyamakan atau meyakinkan satu sama lain. Yang ada adalah rasa ingin tahu yang sehat, serta rasa hormat yang mendalam.

Dalam kehidupan sehari-hari pun kami saling memberi ruang untuk beribadah. Saya menunggu Kak Nasya salat sebelum kami keluar rumah, dan ia juga menunggu saya selesai ibadah di gereja sebelum melanjutkan aktivitas.

Ini bukan hal besar, tetapi justru di situlah makna toleransi terlihat nyata, dalam sikap sederhana yang mencerminkan penghargaan terhadap kewajiban agama masing-masing.

Saya merasa senang, karena dari Kak Nasya, saya belajar bahwa perbedaan bukan hal yang menakutkan. Ia justru menjadi ladang pengetahuan dan pengalaman. Kami tumbuh bersama sebagai perempuan muda yang saling menguatkan dalam perbedaan.

Saya belajar banyak tentang ajaran Islam dari perspektif seorang teman, bukan dari buku atau berita. Ini membuat saya semakin paham bahwa agama apa pun, pada dasarnya, mengajarkan cinta kasih, kedamaian, dan kemanusiaan.

Pengalaman ini menjadi makin bermakna karena terjadi di Kota Salatiga, kota yang dikenal luas sebagai Kota Toleransi (Setara Institute 2023). Keberagaman budaya dan agama di kota ini benar-benar terasa.

UKSW sendiri adalah kampus multikultural dan lintas iman (Kasedu 2023). Saya bertemu dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, bahkan penganut kepercayaan lokal, semuanya berbaur dalam kehidupan kampus dengan damai. Toleransi di sini bukan slogan, tapi nyata dan hidup (Jordy 2016).

***

Persahabatan saya dengan Kak Nasya adalah cerminan kecil dari semangat itu. Kami berasal dari dua keyakinan yang berbeda, namun bisa menjalin hubungan yang sehat, terbuka, dan saling mendukung. Saya menyadari bahwa toleransi tidak selalu datang dari buku pelajaran atau seminar, tetapi justru lahir dari hubungan antarmanusia yang tulus, yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.

Saya merasa bersyukur bisa mengalami ini secara langsung, dan merasa pengalaman ini sangat mencerahkan. Toleransi bukan berarti harus menyetujui semua hal, tetapi bagaimana kita bisa menghargai orang lain tanpa perlu mengorbankan prinsip dan kepercayaan pribadi.

Perbedaan tidak harus diselesaikan dengan paksaan atau dominasi, tetapi cukup dengan saling memahami dan memberi ruang.

Pengalaman ini saya bawa sebagai bekal dalam menjalani hidup sebagai mahasiswi dan juga sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk. Saya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang terus menyuarakan pentingnya toleransi, bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam tindakan.

Saya percaya, ketika perempuan muda seperti saya dan Kak Nasya bisa menjembatani perbedaan, kita sedang menunjukkan kepada dunia bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan hambatan.

*Keterangan: esai ini semula adalah tugas “Religious Experience Report” untuk mata kuliah Sosiologi Agama yang diampu oleh Sumanto Al Qurtuby.

Referensi

Sinurat, Lusius. 2018 (18 Desember). ā€œPotret Toleransi di Salatiga: Damai di Tengah Perbedaan.ā€ Kompas.com. https://regional.kompas.com/read/2018/12/18/07000081/potret-toleransi-di-salatiga-damai-di- tengah-perbedaan.

Setara Institute, 2023. Indeks Kota Toleran 2023. https://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-2023/.

Kasedu, Valentino Umbu Gawi. 2023. ā€œInteraksi Sosial Mahasiswa (Studi tentang Interaksi Mahasiswa berbasis Perbedaan Etnis di Asrama Mahasiswa UKSW Salatiga).ā€ Tesis Magister, UKSW.

Jordy, Ardian. 2016. ā€œManajemen Keragaman di Perguruan Tinggi Berkaitan dengan Religious Diversity: Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana.ā€Tesis Magister, UKSW.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

1 KOMENTAR

  1. Sy berharap anak2 Muda indonesia segera menyadari,bahwa ancaman intoleran di negara kita akan membawa mala mala petaka bagi kehidupan kita dan anak cucu kita kedepan.sadari bahwa ada banya orang yg ingin negara ini hancur dengan mengadu fomba anak bangsa dengan cara memaksakan kenyakinan dan ancaman bagi orang lain.

Tinggalkan Balasan ke Muhammad katur Batal membalas

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini