Rambu Kudu May Harabi (Mahasiswa S1, Fakultas Teologi, UKSW)
Saya tinggal di sebuah lingkungan multikultural dan multireligius di kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di tempat saya tinggal, umat Kristen (termasuk saya), Muslim dan penganut agama lain hidup berdampingan secara damai. Hampir setiap hari saya berinteraksi dengan teman-teman atau tetangga non-Kristen, dan bahkan pelatih taekwondo saya juga bukan seorang kristiani, melainkan penganut agama Islam alias seorang muslim.
Meski berbeda keyakinan, kami saling menghormati dan menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak sekali pengalaman pergumulan saya dengan umat non-Kristen. Dari sekian pengalaman bergumul dengan umat lain tersebut, ada satu pengalaman yang sangat membekas atau berkesan di hati saya. Pengalaman ini semakin memperdalam pengertian dan pemahaman saya mengenai agama Islam beserta pemeluknya (muslim) yang sebelumnya kurang memahaminya dengan baik.
Pengalaman tersebut adalah ketika saya diundang untuk menghadiri acara buka puasa bersama di rumah seorang pelatih taekwondo saya yang beragama Islam. Pengalaman ini terjadi saat bulan Ramadan, yang saya tahu merupakan bulan suci bagi umat Islam, di mana mereka berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam, dan fokus pada doa, ibadah, dan amal.
Undangan berbuka puasa ini ini saya terima dengan hati terbuka, karena bagi saya, ini adalah kesempatan untuk belajar langsung dari pengalaman, bukan hanya dari buku atau media sosial.
Saya ingin berbagi pengalaman berkesan yang saya alami saat bulan Ramadan tahun lalu. Pengalaman ini terjadi bukan di rumah ibadah atau dalam acara keagamaan besar, melainkan di tempat latihan taekwondo saya. Yang menarik, tempat latihan ini adalah rumah pelatih saya sendiri, yang sekaligus menjadi tempat kami berlatih setiap minggunya.
Saya mengikuti latihan taekwondo sejak beberapa tahun lalu. Pelatih saya dan hampir sebagian besar anggota tim adalah umat Islam. Meskipun kami berbeda agama, saya tidak pernah merasa asing atau terisolir. Begitupun dengan mereka. Kami saling menghormati, bekerja sama dalam latihan, dan mendukung satu sama lain tanpa memandang perbedaan agama. Hubungan kami bahkan lebih dari sekadar pelatih dan murid, melainkan rasanya seperti keluarga.
Pada suatu sore di bulan Ramadan, pelatih saya mengumumkan bahwa sesi latihan hari itu akan diakhiri dengan acara buka puasa bersama. Ia mengundang semua murid dan orang tua yang berkenan untuk hadir. Kami tentu senang bukan hanya karena latihan sedikit lebih santai dari biasanya, tetapi juga karena ini merupakan momen spesial yang mempererat hubungan kami.
***
Ketika saya datang, suasana rumah sekaligus tempat latihan itu sudah ramai. Beberapa orang tua membantu menyiapkan makanan di sudut ruangan. Di sisi lain, para murid duduk santai, sebagian masih mengenakan dobok (seragam taekwondo), sebagian sudah berganti pakaian. Waktu berbuka puasa hampir tiba. Saya duduk bersama teman-teman saya yang kristiani maupun muslim lainnya sambil menunggu azan Maghrib tiba.
Ketika adzan berkumandang dari masjid terdekat, semua teman dan tamu undangan mengambil segelas air putih dan kurma sebagai makanan atau cemilan pembuka. Seperti teman dan tamu lain, setelah minum air putih dan mencicipi kurma, saya juga ikut menyantap takjil sederhana yang telah disiapkan, yaitu kolak pisang, gorengan, dan buah-buahan.
Kami makan dan minum sambil berbincang dan tertawa. Tidak ada perbedaan mencolok antara undangan muslim dan non-muslim. Kami yang non-muslim juga merasa sangat diterima dan dihargai, meskipun kami tidak menjalankan puasa seperti mereka.
Setelah makan ringan, beberapa dari mereka menunaikan salat Maghrib secara bergantian di salah satu sudut ruangan rumah, sementara yang lain mulai menyusun makanan utama. Setelah salat selesai, kami lalu makan malam bersama. Kami duduk lesehan. Lauk-pauk bukan hanya disediakan tuan rumah tapi juga disediakan secara gotong-royong oleh orang tua murid.
Suasananya hangat, penuh kekeluargaan, dan sederhana, namun sangat bermakna. Perasaan saya saat itu campur aduk: ada rasa senang, terharu, dan bersyukur. Saya dan teman-teman non-muslim lainnya merasa istimewa bisa diikutsertakan dalam momen penting keagamaan sahabat-sahabat muslim saya.
Saya melihat betapa kuatnya nilai kekeluargaan dalam budaya muslim, terutama saat Ramadan. Saya juga bisa menyaksikan bagaimana ibadah puasa mereka dijalankan dengan penuh ketekunan dan makna spiritual.
Pengalaman ini memperluas pemahaman saya tentang Islam. Sebelumnya, saya hanya tahu bahwa Ramadan adalah bulan puasa bagi umat Islam. Tapi setelah ikut berbuka puasa bersama, saya mulai memahami bahwa Ramadan lebih dari sekadar menahan lapar dan haus. Ini adalah waktu untuk memperkuat ikatan sosial, berbuat kebaikan, dan meningkatkan keimanan.
***
Refleksi saya dari pengalaman ini adalah bahwa perjumpaan lintas agama bisa terjadi di mana saja bahkan di tempat yang tidak terduga seperti dojang atau ruang latihan taekwondo.
Yang terpenting adalah sikap saling terbuka, menghargai, dan mau belajar satu sama lain. Saya merasa pengalaman ini memperkaya hidup saya, membuka mata saya bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk bersahabat dan bekerja sama. Saya juga merasa lebih bersyukur atas keragaman yang ada di sekitar saya.
Komunitas yang saya temui: para pelatih dan teman-teman muslim saya telah menunjukkan bahwa iman yang tulus akan selalu tercermin dalam sikap hormat dan kasih kepada sesama, bukan dalam kata-kata atau simbol semata.
Pengalaman berbuka puasa bersama di rumah pelatih taekwondo saya ini menjadi salah satu momen paling mengesankan dalam hidup saya. Ia mencerahkan, mempererat tali persaudaraan, dan mengajarkan bahwa dalam keberagaman, kita bisa menemukan harmoni. Bagi saya, inilah bentuk nyata dari hidup berdampingan dalam damai.
*Catatan: artikel ini semula merupakan tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, UKSW, yang diampu oleh Sumanto Al Qurtuby.