Pande Putu Yogi Arista Pratama (Dosen Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, Denpasar)
Keberadaan Rangda menjadi popular di kalangan masyarakat Bali melalui pementasan calonarang hingga tersebar di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat Jawa mulai penasaran dengan Rangda yang direpresentasikan dengan penampilan yang seram, mata melotot, gigi taring, dan lidah panjang yang menjulur ke luar menjadikan Rangda sebuah miskonsepsi pada masyarakat Jawa. Mereka menyebutnya dengan tari leak.
Beberapa tempat di Jawa mulai menampilkan Rangda sebagai tari leak yang dipadukan dengan kesenian rakyat setempat. Jauh sebelum itu, Rangda sendiri merupakan konsep budaya sakral yang dianut oleh masyarakat Bali sejak lama.
Oleh karenanya masyarakat Bali mulai geram akibat diboyongnya Rangda menjadi tari leak di Jawa secara gagal paham yang dibawakan jauh dari sakralisasi makna sesungguhnya. Mungkin juga timbul pertanyaan dari masyarakat Jawa: “Apa yang dipermasalahkan dengan mengelaborasi Rangda tersebut dengan kebudayaan Jawa? Bukankah kesenian juga bersifat menghibur? Buktinya tari leak menjadi daya tarik tersendiri oleh masyrakat yang ikut terhibur.”
Penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai makna Rangda sebagai simbol instrinsik yang sarat akan nilai luhur dalam konteks sosio-religi masyarakat Bali.
Sakralisasi Rangda yang metaksu
Merujuk dalam bahasa Jawa Kuno istilah Rangda sama dengan “randa” atau janda. Menurut Lontar Siwa Tattwa dan Lontar Usada Taru Premana, Rangda adalah pada perwujudan Dewi Durga di bumi bergelar Hyang Bherawi dengan ciri-ciri wajah seram menakutkan, rambut terurai panjang, mata melotot, lidah menjulur panjang, dan kuku panjang.
Berkembang pada masyarakat umum di Bali istilah Rangda merupakan sosok tokoh berperingai jahat yang mempraktikkan ilmu hitam untuk menghancurkan masyarakat, melalui pementasan drama calonarang yang menempatkan Rangda sebagai tokoh antagonis di dalamnya.
Dengan demikian, Rangda bukanlah leak, sebab leak merupakan ilmu aji pengleakan. Rangda di Bali tidak serta merta berfungsi sebagai kesenian, tetapi lebih penting fungsinya sebagai peranti keagamaan (tapakan).
Bahkan ada “nilai rasa” yang lebih hebat jika sosok Rangda diberikan gelar dengan Ratu Mas, Ratu Ayu, dan semacamnya yang dimuliakan sebagai sosok pemberi perlindungan, kekuatan dan kebahagiaan tentunya.
Pemberian gelar yang demikian, bukan semata-mata hanya nama saja, tetapi sesungguhnya ada pesan yang disampaikan melalui sosok Rangda. Sebenaranya dalam diri Rangda merupakan pantulan (cermin) dari ekspresi rasa yang metaksu, yakni sosok kemuliaan dari seorang “Ibu” semesta yang mulia. Sehingga, wujud Rangda tidak ada lain adalah personifikasi dari sosok “Ibu dunia,” yakni perwakilan dari aspek feminimisme. Hal ini sangat benar dan diyakini beliau sebagai perwujudan Durga Dewi, yakni sakti dari Dewa Siwa.
Rangda sebagai simbol suci keagamaan harus dibuat menurut ketentuan tertentu agar suatu simbol tersebut dapat memiliki nilai sakral dan metaksu (hidup dan berjiwa) agar dapat memberikan kharisma magis untuk meningkatkan sraddha (keyakinan) dan bhakti umat pemujanya.
Proses sakralisasi Rangda dimulai dari pembuatan tapel (topeng) dengan pemilihan kayu khusus yang memiliki energi kekuatan luar biasa melalui proses sakralisasi sehingga kayu tersebut bisa bertahan berpuluh-puluh tahun lamanya. Sakralisasi Rangda sebagai simbol keagamaan Hindu di Bali, dilakukan melalui upacara yadnya, yakni: melasti ke segara (penyucian ke laut), mlaspas, memakuh, mapengurip, mepasupati.
Rangda sebagai Kesenian Sakral
Pura yang yang memiliki Pelawatan Rangda biasanya dipertunjukkan sebagai kesenian sakral setiap ada pujawali di pura tersebut. Kesenian Rangda dipertunjukkan mealui seni drama yang mengambil lakon Calonarang.
Selain sebagai wujud persembahan kepada Tuhan dalam wujud kesenian, pertunjukan Barong dan Rangda di pura juga untuk memberikan kesempatan kepada damuh Ida Bhatara (umat) menyaksikan dewa junjungannya mesolah (menari) yang dipercaya sebagai bentuk pemberkatan yang dianugerahkan sesuhunan (junjungan-dewata pujaan) pada warga desa atau krama penyungsung pura (jemaat pura).
Hal inilah yang popular di masyarakat Jawa sebagai pertunjukan magis yang menggambarkan beberapa orang terlihat seperti kesurupan. Meskipun sebetulnya mereka tidak kesurupan setan tetapi mereka adalah orang-orang terpilih yang kerawuhan (kedatangan) Ida Bhatara sesuhunannya.
Pertunjukan Rangda di hadapan masyarakat bertujuan memuaskan penonton, tidak saja sebagai hiburan semata tetapi dapat menikmati kepuasan emosional keagamaan mengingat yang menari adalah Ida Bhatara (sesuhunannya).
Ekspresi yang ditampilkan dalam tarian Rangda selain sebagai sebuah ekspresi seni sekaligus ekspresi religius magis, mengingat saat menari penari Rangda ada dalam keadaan trance, yaitu kerasukan spirit suci Ida Bhatara. Oleh karena itulah tarian Rangda digolongkan sebagai pertunjukan sakral.
Pesan Tarian Rangda
Tari Rangda sebagai ekspresi seni yang dinamis menyimbolkan Dewi Durga yang mengamuk, untuk mempresentasikan pesan ketenteraman, kesejahteraan, dan turunnya rahmat. Namun secara garis besar, pertunjukan Barong dan Rangda yang sakral (bukan sekadar hiburan) mengandung pesan untuk menegakkan kebaikan. Sebab inti dari pertunjukan calonarang itu adalah munculnya Rangda untuk menari-nari mengitari kalangan (panggung) kemudian ngelur (menjerit mistis) mengundang para penekun pengleakan (ilmu leak atau “ilmu hitam”) untuk datang mengadu ilmu.
Rangda dalam pentas tersebut menantang semua orang-orang yang merasa sakti dari segala penjuru untuk adu ilmu. Siapa pun yang punya nyali dipersilakan datang untuk mengeroyok (ngrebut) sang Rangda.
Tingkah Rangda seperti itu adalah bermaksud memberi peringatan kepada para penonton bahwa siapa pun yang melenceng dari jalan dharma (agama) harus siap-siap berhadapan dengan Ida Bhatara sebagai penegak hukum alam.
Meskipun pertunjukan itu terkesan menyeramkam ditandai dengan aksi tantang-menantang ilmu gaib dan disudahi dengan tusukan-tusukan keris ke tubuh Rangda terdapat ketenteraman yang didasari akan keyakinan keagamaan yang kuat terhadap Rangda untuk menghalau berbagai malapetaka, karena Ida Bhatara sudah menetralisir anasir-anasir negatif tersebut secara niskala (gaib).
Dengan demikian, secara psikologis masyarakat merasa tenteram dan dapat beraktifitas dengan nyaman. Semangat kebersamaan masyarakat Bali sebagai penguat kesetiakawanan sosial disebut sagilik saguluk salunglung sabhayantaka mengharapkan bahwa pertunjukkan Rangda yang berada di luar Bali haruslah memahami makna luar dan dalamsebelum mengelaborasinya dengan kesenian Jawa, sehingga tidak akan muncul kasus intoleran terhadap leak. [NI]