Beranda Publikasi Kolom Ajaran dan Filosofi Rasa Ki Ageng Suryomentaram

Ajaran dan Filosofi Rasa Ki Ageng Suryomentaram

328
0
Komplek Makam Ki Ageng Suryomentaram

T.H. Hari Sucahyo (Penggagas Lingkar Studi Adiluhung, alumnus Unika Soegijapranata)  

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, masyarakat Jawa menyimpan sebuah harta batin yang tak lekang oleh waktu, yaitu pemahaman tentang jiwa manusia yang lahir dari pengalaman hidup dan laku batin, bukan dari bangku sekolah atau laboratorium.

Salah satu warisan paling khas dari khazanah ini adalah Kawruh Jiwa, ajaran mendalam mengenai seluk-beluk rasa, batin, dan kesadaran diri, yang dikembangkan oleh seorang tokoh unik bernama Ki Ageng Suryomentaram.

Sebagai seorang bangsawan yang memilih meninggalkan gelar keraton demi menghayati hidup sebagai rakyat biasa, Ki Ageng membuka jalan pemahaman diri yang jujur, egaliter, dan reflektif. Ia tidak menawarkan teori, melainkan ajakan untuk menyimak suara hati sendiri, untuk meniteni (mengamati dengan sadar) gerak batin, dan melepaskan beban yang sesungguhnya bersumber dari dalam diri sendiri.

Dalam ajaran Kawruh Jiwa, penderitaan manusia berasal dari apa yang disebut sebagai “kepinginan.” Kepinginan bukanlah sekadar keinginan biasa, melainkan hasrat batin yang bersifat melekat, yakni ingin dipuji, ingin dimiliki, ingin dianggap penting.

Keinginan seperti ini, jika tidak disadari, akan menjadi sumber kegelisahan tiada henti. Manusia merasa tidak cukup, tidak tenang, dan terus berlari mengejar sesuatu yang tak pernah selesai. Maka, kunci pertama dari laku memahami diri adalah mengenali kepinginan itu dan perlahan melepaskannya.

Ki Ageng Suryomentaram tidak menyarankan kita untuk ā€œmembunuhā€ keinginan, tetapi menyadari bahwa rasa memilah dan memilih itu bisa menyesatkan jika tidak dilandasi kesadaran. Misalnya, seseorang bisa merasa memiliki anak, pendapat, jabatan, bahkan Tuhan.

Tapi rasa memiliki itu sering membawa beban, karena muncul rasa takut kehilangan. Maka, ketika manusia mampu melihat bahwa semua itu bukan benar-benar miliknya, ia menjadi lebih ringan, lebih tenang, dan lebih merdeka secara batin.

Pemahaman ini menekankan pentingnya “rasa” sebagai pusat penghayatan hidup. Rasa bukan hanya perasaan emosional, melainkan jendela utama untuk memahami kenyataan hidup. Dalam budaya Jawa, “rasa” memiliki kedalaman makna: ia adalah kesadaran yang halus, kemampuan untuk menangkap makna di balik peristiwa, dan juga jalan untuk mengenali diri sendiri.

Itulah mengapa ajaran ini tidak menggunakan pendekatan rasional atau analitis semata, melainkan menekankan laku, keheningan, dan kejujuran batin.

Salah satu cara laku batin yang diajarkan Ki Ageng adalah “meniteni rasa.” Meniteni berarti mengamati secara perlahan dan penuh perhatian. Ini mirip dengan praktik perenungan atau semadi dalam tradisi lokal.

Ketika kita marah, kecewa, atau bangga, kita diajak tidak langsung bertindak, tapi menyimak: ā€œMengapa aku merasa seperti ini? Apakah aku sedang ingin dianggap benar? Atau ingin menang sendiri?ā€

Dengan cara ini, seseorang belajar mengenal dirinya sendiri, bukan dari nasihat orang lain, tetapi dari rasa yang hidup dalam dirinya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran ini sangat selaras dengan laku hidup orang Jawa: tepa selira (empati), eling lan waspada (kesadaran dan kehati-hatian), serta nrimo ing pandum (menerima bagian hidup dengan lapang dada).

Dalam ajaran ini, seseorang tidak diminta menjadi lemah atau pasrah, tetapi diminta untuk jujur dan terbuka pada kenyataan yang tidak bisa diubah, sambil tetap menjaga laku dan ikhtiar. Ketenangan bukan didapat dari menguasai dunia luar, tetapi dari pengendalian dunia batin.

Ki Ageng juga mengajak kita menyadari keberadaan “rasa salah,” “rasa dosa,” dan “rasa wedi” (takut) yang hidup dalam keseharian orang Jawa.

Ketiga rasa ini sering kali muncul karena norma dan harapan sosial yang kuat. Dalam masyarakat yang menjunjung harmoni, seseorang bisa merasa bersalah hanya karena berbeda pendapat, atau merasa takut menyakiti perasaan orang lain.

Ki Ageng tidak menilai rasa-rasa ini sebagai buruk, tapi mengajak untuk mengenali sumbernya. Dengan begitu, seseorang tidak dikendalikan oleh rasa bersalah yang kabur, melainkan bisa mengambil sikap dengan sadar.

Dalam masyarakat hari ini yang sering terjebak dalam kebisingan informasi, tuntutan citra, dan kejaran pencapaian, ajaran semacam ini terasa semakin relevan. Banyak orang merasa kehilangan arah, terjebak dalam kegelisahan tanpa tahu dari mana datangnya.

Kawruh Jiwa menawarkan jalan pulang yang sederhana tapi mendalam: pulang pada rasa. Bukan rasa yang dibentuk oleh iklan, algoritma, atau pujian orang, melainkan rasa sejati yang muncul dari keheningan dan kejujuran terhadap diri sendiri.

Apa yang diajarkan Ki Ageng juga memberi pengingat bahwa pengetahuan sejati tidak harus dibungkus dengan istilah asing atau perangkat ilmiah yang rumit. Ia bisa lahir dari pengamatan hidup sehari-hari, dari laku diam, dari mendengar gerak batin sendiri. Inilah bentuk ilmu yang bersumber dari kebudayaan, bukan dari bangku akademik. Ilmu yang membumi, bersahaja, namun punya daya sembuh yang kuat karena menyentuh akar kehidupan manusia.        

Kini, ketika banyak pendekatan kesehatan jiwa diimpor dari luar negeri, ajaran seperti Kawruh Jiwa mengingatkan kita bahwa pemahaman lokal pun punya kekuatan menyembuhkan. Ia bukan sekadar alternatif, tapi bisa menjadi sumber utama dalam membangun laku hidup yang selaras dengan identitas kultural kita. Terutama bagi masyarakat Jawa, dan Indonesia pada umumnya, jalan ini bisa menjadi jembatan antara kebijaksanaan leluhur dan tantangan zaman modern.

Ki Ageng Suryomentaram tidak pernah menyebut dirinya ahli, dan tidak pula memposisikan ajarannya sebagai kebenaran mutlak. Ia hanya mengajak manusia untuk menjadi “manusia.” Menjadi manusia yang tidak silau oleh gelar, tidak dibutakan oleh ambisi, dan tidak dikuasai oleh rasa memiliki yang menyesakkan dada.

Di tengah dunia yang semakin penuh dengan kegelisahan, ajarannya menjadi pengingat: bahwa kedamaian bukan sesuatu yang dicari, melainkan ditemukan ketika kita benar-benar jujur pada rasa yang ada di dalam diri.

Ketika manusia merasa hilang arah, leluhur Jawa punya pesan sederhana: pulanglah pada rasa. Karena rasa bukan logika, bukan harta, bukan citra adalah jalan pulang menuju kesejatian. [NI]

Referensi

Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2006.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi dalam Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS, 2001.

Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia, 1991.

Suryomentaram, Ki Ageng. Kawruh Jiwa (transkripsi lisan & ajaran).

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini