Nurfadillah (Dosen Universitas Sawerigading Makassar)
“Sosok lelaki berjiwa lembut melangkah pelan ke tengah arena ritual, menari dalam lingkaran sunyi. Gerak tubuhnya lentur namun penuh determinasi spiritual, mengayun dalam ritme sakral yang diiringi tabuhan gendang dan seruling. Dalam kondisi trans yang mendalam, ia mengangkat keris dan menekannya ke arah dada, tanpa menunjukkan rasa sakit. Riasan di wajahnya mulai luntur karena keringat, memperlihatkan ketegangan antara sisi performatif dan aspek spiritual dari ritual tersebut. Tubuhnya bergetar hebat, lalu terhuyung, seakan sedang bergulat dengan kekuatan gaib di dalam dirinya, pertanda Dewata telah masuk ke dalam sukmanya. Di sekelilingnya, denting gendang berdetak makin deras, bersahutan dengan lengkingan seruling yang nyaring, menggetarkan dada, menghentak nadi, menyihir ruang seperti mantra yang membelah batas antara dunia nyata dan alam Dewata”.
Inilah Tari Maggiri, tarian yang bukan sekadar gerak, tetapi pertaruhan antara tubuh, jiwa, dan langit. Di tanah Bugis yang sarat mitos, sejarah, dan ritus sakral, tersimpan beragam keunikan seni dan budaya yang memikat, salah satunya adalah Tari Maggiri, sebuah pertunjukan sakral yang memadukan kekuatan spiritual, simbolisme, dan keindahan gerak.
Jejak Sejarah: Maggiri dan Bissu Sebagai Entitas Luhur
Tari Maggiri atau Sere Bissu merupakan tarian sakral yang hanya dapat dibawakan oleh Bissu, sosok waria sakti dalam budaya Bugis, yang menanggalkan dikotomi laki-laki dan perempuan demi menyatu dalam harmoni semesta. Mereka bukan sekadar penari, melainkan medium spiritual, jembatan antara manusia dan Dewata Seuwae. Mereka diberkahianugerah (pammase) dari Dewata yang lahir bukan dari darah bangsawan, tetapi dari panggilan yang gaib.
Maggiri dalam bahasa Bugis berarti “mengiris” atau “menusuk.” Gerak utama tarian ini memang demikian yaitu menusukkan keris ke tubuh seperti mata, leher, telapak tangan, dada, hingga perut. Sebuah atraksi yang memancing decak, merinding, atau bahkan ketakutan dari para penonton. Namun di balik ketegangan fisik, tersimpan makna spiritual yang dalam. Luka-luka itu bukan pertunjukan kekebalan. Mereka adalah manifestasi dari pengorbanan. Doa yang menyerap ke dalam daging. Tanda bahwa kejujuran antara rakyat dan kerajaan tidak boleh tercabik.
Bissu Eka, salah satu Bissu dari Segeri, pernah berkata, “Kami adalah calabai Bissu Tungkena Lino. Darah, nyawa, dan tubuh ini untuk raja tercinta.” Menari, bagi mereka, adalah bukti kesetiaan dan pengorbanan. Juga sebagai “tolak bala”, semacam perisai metafisis agar bencana tak menyentuh kerajaan. Jika keris tidak melukai tubuh mereka, itu artinya doa diterima oleh Dewata. Tapi jika darah mengucur, maka bisa jadi semesta sedang murka.
Tari Maggiri telah ada sejak abad ke-14, sebagaimana tercatat dalam historiografi kerajaan Bugis, khususnya pada masa Raja Bone pertama (1326-1358). Tarian ini tak lahir sebagai hiburan, melainkan sebagai bagian dari ritual sakral. Bissu, sang penari, bukan sekadar seniman, tetapi mediator antara manusia dan Dewata Seuwae. Menurut tradisi Bugis, Bissu adalah calabai sakti, laki-laki bertabiat perempuan, yang dipercaya sebagai titisan kekuatan langit. Kehadiran mereka mencerminkan keseimbangan kosmologis antara maskulin dan feminin, lahir dan batin, dunia dan akhirat (Hamzah & Badaruddin, 1978).
Dalam disertasi Achmad (2012) mencatat bahwa fungsi utama tari-tarian ritual seperti Maggiri adalah sebagai “sarana komunikasi kosmik” tidak sekadar hiburan, tetapi upaya manusia menjangkau yang gaib. Ini juga ditegaskan oleh Supardjan (dalam Supriyatun, 2014:11) bahwa tari-tarian tradisional memiliki fungsi sebagai persembahan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi, demi keselamatan kolektif.
Tidak mudah menjadi Bissu, seorang Bissu sejati harus menjalani proses spiritual yang rumit dan sakral. Bissu tidak lahir dari pelatihan, melainkan dari panggilan ilahiah melalui mimpi atau wahyu dari Dewata Seuwae atau leluhur Bissu terdahulu. Di tengah arus modernisasi dan diskriminasi gender, kehadiran Bissu menjadi semakin langka, sehingga keberadaan Tari Maggiri pun ikut terkikis.
Anatomi Tarian: Luka, Doa, dan Trance
Maggiri berarti mengiris atau menusuk. Dalam pertunjukan ini, para Bissu menusukkan keris ke tubuh mereka, seperti mata, leher, perut, tangan dalam keadaan trans yang mendalam. Ritual ini terdiri dari enam babak sakral diantaranya, Tette Sompe (persembahan): dimulai dengan bunyi gendang, pui-pui (seruling), dan gong. Balisumange (kebangkitan spiritual): Bissu beriringan keluar dan membentuk lingkaran, mengelilingi walasuji. Tette Lenyye: musik diredupkan, penari berdiri mengelilingi walasuji. Tette Losa-losa: mantra dilantunkan, suasana magis mulai memuncak. Salakanjara (penyiksaan tubuh): keris mulai ditancapkan. Kanjara: puncak ekstase, tubuh meringis dalam luka, kaki menghentak lantai, roh seolah menari bersama tubuh yang kesurupan.
Trance ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah doa, pengorbanan, dan upaya tolak bala. Bila keris tak menimbulkan luka, itu pertanda bahwa semesta merestui. Jika darah menetes, bisa jadi semesta sedang marah (Syarifuddin, 2021). Uniknya, setiap bagian tubuh yang ditusuk memiliki makna tersendiri. Mata melambangkan ketajaman spiritual, leher menunjukkan kekuatan komunikasi dengan arwah, dan perut merepresentasikan pusat energi tubuh. Luka yang tidak berdarah diyakini sebagai bukti perlindungan Dewata, sedangkan darah yang keluar bisa menjadi pertanda bahwa ada ketidakseimbangan dalam semesta.
Manifestasi Kesempurnaan Spiritual dalam Unsur-Unsur Tari Maggiri
Bissu mengenakan busana penuh makna: Baju Bella Dada, Lipa Awik (sarung), Passapu (ikat kepala), Pakambang (selendang), Kain Cinde, dan tali benang. Perpaduan busanaa Bissu memiliki unsur maskulin dan feminin yang menyimbolkan kesempurnaan spiritual (Nurfadillah,2024). Musik pengiring terdiri dari gong, gendang, pui-pui, lae-lae, kancing, anak bacing, dan mangkok serta piring berputar.
Setiap unsur dalam tari ini dari busana hingga makanan sesaji memiliki muatan simbolis yang mendalam. Tidak ada gerak, suara, ataupun benda yang hadir tanpa makna. Bahkan walasuji, tempat sakral yang dilingkari Bissu saat menari, yang dibentuk dari daun kelapa muda dan ditata sedemikian rupa sebagai lambang semesta. Di dalamnya disiapkan ayam panggang, kelapa muda, dan sokko patanrupa (beras ketan empat warna). Merah melambangkan api, hitam melambangkan tanah, putih melambangkan air, dan kuning melambangkan angin. Empat elemen yang dimaknai sebagai sumber kehidupan (Nurfadillah, 2019). Keseluruhan unsur tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual persembahan kepada Dewata, sekaligus merepresentasikan doa dan pengharapan yang dipanjatkan (Yusuf, 2020).
Busana ini adalah hibrida simbolik dari identitas laki-laki dan perempuan yang menyatu dalam tubuh Bissu, menggambarkan kesempurnaan spiritual menurut pandangan kosmologi Bugis. Menurut Koentjaraningrat (1972), dalam sistem kepercayaan masyarakat Bugis, kesempurnaan sering dilambangkan oleh integrasi antara maskulin dan feminin, langit dan bumi, lahir dan batin. Irama pengiring pun bukan sekadar musik, melainkan mantra dalam bentuk gelombang suara: tabuhan gendang, nyaringnya pui-pui (seruling), gemerincing alat musik bambu, kancing, dan simbal perunggu.
Sakralitas yang Terkikis Komersialisasi
Tari Maggiri memiliki dua macam yaitu Maggiri Dewata dan Maggiri Mamata. Maggiri Dewata adalah salah satu prosesi tarian Maggiri yang betul-betul bernuansa magis, dan sakral dimana tarian tersebut bercirikan Bissu yang tidak mengetahui pengunjung atau penonton. Dalam artian bahwa ketika tarian dimulai, tarian Bissu tidak dapat dihentikan oleh siapapun kecuali, Bissu itu sendiri.
Sedangkan tari Maggiri Mamata adalah tarian Bissu yang tidak mempunyai nuansa spiritual atau ritual. Maggiri Mamata hanya bertujuan untuk pertunjukan, seperti festival, pernikahan, undangan pemerintah daerah atau tarian menjemput tamu undangan. Artinya tarian tersebut bisa menyesuaikan dengan ketetapan panitia.
Di era modern, Tari Maggiri tidak selalu dipentaskan dalam nuansa ritual. Versi “Maggiri Mamata” mulai dikenal sebuah tarian versi panggung, disajikan dalam festival atau acara pemerintahan. Elemen spiritualnya ditanggalkan, diganti dengan atraksi dan kosmetik visual. Penonton bertepuk tangan, tetapi mungkin tak paham bahwa yang mereka saksikan adalah versi “kering” dari upacara sakral.
Kritik pun bermunculan, sebagian masyarakat menyebut pertunjukan ini sebagai manipulasi demi uang. Mereka menuduh Bissu menjual luka demi panggung. Namun para Bissu menepis tuduhan itu. “Kalau hanya demi uang, kami tidak akan rela terluka. Kami tidak mungkin mempertaruhkan nyawa kami untuk sekadar menghibur,” (Bissu Pajja 2024).
Ironisnya, kebudayaan yang dahulu dianggap sakral, kini justru dipandang sebagai eksotisme yang bisa dikomersialisasi. Tari Maggiri diposisikan sebagai tontonan ekstrem, bukan lagi penghormatan terhadap kekuatan spiritual. Tubuh Bissu yang dulunya suci dan penuh makna kini diperlakukan sebagai objek tontonan semata. Hal ini memperlihatkan ketimpangan dalam cara masyarakat modern memaknai tradisi. Komodifikasi budaya tanpa pemahaman makna sejati justru menciptakan kekosongan spiritual. Ini adalah tanda bahaya bagi warisan budaya Nusantara, ketika sakralitas mulai dikerdilkan demi sensasi.
Kesimpulan: Menari di Ambang Senja
Tari Maggiri adalah warisan yang menggigilkan. Ia adalah pertunjukan tubuh, namun bukan untuk pamer, melainkan untuk berdoa. Ia adalah luka, tetapi bukan penderitaan, melainkan pengorbanan. Menari dengan keris di mata bukan tentang keberanian semata, tapi tentang keyakinan bahwa tubuh bisa menjadi kitab yang dibacakan kepada langit.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Maggiri sakral atau tidak. Tapi apakah kita masih punya cukup kepedulian untuk menjaganya? Atau kita hanya akan menjadi generasi yang menyaksikan tarian itu menghilang, pelan-pelan, bersama nyala dupa yang tak pernah lagi dinyalakan?
Pelestarian Tari Maggiri tidak bisa bergantung pada satu pihak saja. Diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat adat, akademisi, dan kaum muda. Dengan pendidikan budaya yang inklusif, pendokumentasian yang holistik, dan pelibatan komunitas dalam pengambilan keputusan, maka Tari Maggiri bisa tetap hidup, menari, berdoa, dan menyembuhkan.
Referensi
Achmad, M. (2012). Ritual dan Simbol dalam Tradisi Lisan Bugis: Studi Simbolik pada Komunitas Bissu. (Disertasi) Universitas Indonesia, Depok.
Hamzah, A.P., & Badaruddin, M. (1978). Bissu dan Peralatannya. Ujung Pandang: Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan.
Koentjaraningrat. (1972). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Nurfadillah. (2019). Strategi Bertahan Hidup dan Pola Adaptasi Bissu Bugis dalam Membangun Harmonisasi di Masyarakat Segeri Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. (Tesis) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Nurfadillah. (2024). Transformasi Feminime Indonesia: Pluralitas, Inklusifitas, dan Interseksionalitas (Hal.171-181). Jakarta: LSPR Publishing.
Soedarsono. (1998). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supriyatun. (2014). Fungsi Tari Tradisional dalam Upacara Adat di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.