Sony Kristiantoro (Pendeta GKI & Dosen Fakultas Teologi UKSW)
Kata “debat” tidaklah asing di telinga masyarakat kita, walaupun saya yakin tidak banyak orang yang suka berdebat, apalagi yang pandai berdebat. Ketika kita duduk di bangku setingkat SMU maupun menjadi mahasiswa, debat menjadi sebuah ajang perlombaan yang cukup bergengsi dan dengan kriteria yang ketat. Kriteria penilaian lomba debat bisa bervariasi tergantung pada format debat, baik itu seperti Asian Parliamentary, British Parliamentary, atausejenis Debat SMA/mahasiswa nasional), yang didasarkan pada: kualitas argumen, sanggahan/bantahan, pemahaman dan analisis isu, gaya penyampaian, struktur dan organisasi, serta kesimpulan dan dampak.
Berdasarkan hal-hal tersebut, debat tidaklah semudah atau sesederhana yang mungkin dipahami sebagian orang, ketika ada saling menyanggah dan mengadu pendapat, ngeyel dan tidak mau kalah walaupun salah, yang kemudian muncul istilah “debat kusir,” yakni sebuah bentuk perdebatan yang tidak terarah, tidak logis, dan tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas, melainkan sebuah emosi yang sering tidak terkendali. Konon, kusir atau pengemudi delman/dokar sering terlibat percakapan atau perdebatan di jalan dengan penumpang, pejalan kaki, atau sesama kusir, tentang berbagai hal, seperti politik, ekonomi, atau isu sosial, tanpa dasar yang kuat dan seringkali emosional.
Dalam dunia ilmu sosial, dikenal debat rasional di ruang publik menurut Juergen Habermas, yaitu sebuah konsep penting dalam teori komunikasi dan demokrasi deliberatif. Ruang publik adalah tempat di mana warga negara dapat berdiskusi secara terbuka dan rasional tentang isu-isu penting, terutama yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan kebijakan publik.
Debat dilakukan dengan argumentasi rasional, bukan dengan kekuasaan, uang, atau kekerasan, di mana klaim kebenaran, kejujuran, dan ketepatan harus diuji lewat dialog terbuka. Semua peserta harus memiliki kesempatan setara untuk berbicara dan didengar, dan di sini berlaku prinsip Subjek-Subjek, bukan Subjek-Objek. Karena itu, kebenaran yang didapatkan nanti adalah kebenaran intersubjektif.
Jika kita menyukai acara debat atau pro-kontra seputar politik di TV atau media sosial, maka kita mungkin akan sepakat bahwa Rocky Gerung adalah salah satu tokoh debat yang paling menonjol dewasa ini. Selain menguasai ilmu debat, dia juga memang cukup menguasai bidang-bidang ilmu yang menjadi isu yang diperdebatkan.
Tidak jarang, diksi dan kalimat yang diucapkan membuat merah telinga lawan debatnya. Inilah kelemahan model debat menurut Sumanto Al Qurtuby: yang dicari kalah-menang terhadap lawan debat, mencari kelemahan/kekurangan pihak lain lalu diserang supaya kalah, konsentrasi kepada kelemahan pihak lain untuk diolok-olok sebagai tanda kedangkalan, bertujuan untuk melumpuhkan dan mempermalukan lawan, dan terakhir adanya keangkuhan, superioritas dan “kemutlakan kebenaran” agamanya. Karena itu, Sumanto lebih memilih jalan dialog, yang bisa disebut sebagai kebalikan dari debat.
Debat Teologis di Masa Lampau
Dalam sejarah relasi Kristen dan Islam di masa lalu, pernah terjadi debat (ada pula yang menyebutnya diskusi) di istana Khalifah Abbasiyah, di Bagdad pada abad ke-9, antara al Kindi (tokoh Kristen Arab) dengan al-Hasyimi (tokoh Muslim). Al-Kindi adalah seorang Kristen Nestorian keturunan Arab dibujuk oleh Abdullah al-Hasyimi, seorang ulama di istana al-Ma’mun, untuk menganut Islam. Al-Kindi tidak hanya menolak ajakan al-Hasyimi, tetapi ia bahkan juga mengemukakan alasan penolakannya dengan menyerang berbagai aspek ajaran Islam dengan ungkapan yang keras, di antaranya menolak pengakuan kenabian Muhammad, dll. Beberapa perdebatan lain contohnya yang terjadi di Kesultanan Ottoman dan Eropa Timur abad ke-15-17 antara Nicolaus Cusanus, seorang kardinal Katolik dengan beberapa pemimpin Ottoman.
Di masa yang lebih modern, kita dapat menyaksikan perdebatan antara Ahmed Deedat melawan seorang pendeta di Afrika Selatan tahun 1980-an, atau Hans Kung, seorang teolog Katolik dengan seorang Muslim moderat. Tidak jarang ahli debat adalah juga sosok apologet, semacam Christian Prince (tokoh Kristen anonim) dan Zakir Naik (tokoh Islam). Tidak hanya sekadar melakukan pembelaan, mereka hampir selalu bersikap agresif menyerang dan “menguliti” agama lawannya. Tentu hal ini menjadi sebuah hal yang cukup sensitif dan berbahaya.
Di Indonesia, dikenal juga tokoh-tokoh penginjil Kristen di masa lalu (sekitar abad ke-19) yang melakukan debat sebagai salah satu caranya bermisi. Istilah yang biasa dipakai adalah “debat ngelmu”, yang biasa dilakukan dengan guru-guru ngelmu Kejawen. Pelopornya adalah Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, pendiri Kekristenan di Bondo, yang mampu mengalahkan lawannya, yaitu Sis Kanoman (Pak Kurmen), seorang ahli ilmu Kejawen, yang kemudian menjadi muridnya.
Berikutnya adalah Kyai Sadrach, yang juga menjadi murid dari Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Sebenarnya, awalnya cara Sadrach menyebarkan agama Kristen selalu dimulai dengan mengunjungi guru-guru ngelmu terkemuka dan orang-orang kunci di daerah-daerah seperti para kyai (Kyai Ibrahim, Kyai Kasanmentaram, Kyai Karyodikromo, dll), para guru ahli nujum (R. Ranukusumo dan Setrodiwongso), dan para guru ngelmu Jawa lainnya.
Sadrach berusaha untuk menyakinkan mereka terhadap kepercayaan Kristen. Dengan cara berdiskusi atau berembug tentang ilmu (parembagan ilmu) mengenai kebenaran dan keselamatan di dalam Kristus. Jika tidak berhasil, maka baru ia menantang mereka untuk mengadakan debat ngelmu di depan umum, untuk mengetahui siapa di antara mereka yang lebih tinggi ngelmunya.
Orang Jawa adalah orang yang cenderung mencari musyawarah mufakat dengan cara yang tenang, sesuai dengan prinsip kerukunan dalam masyarakat. Mereka dianggap membenci argumen atau perdebatan. Tapi di hal-hal yang sangat penting, seperti klaim kebenaran, mereka tidak ragu untuk menggunakannya argumen yang kuat.
Perdebatan antara guru kebijaksanaan ini diadakan dengan cara yang bermartabat, dan mereka yang argumennya dikalahkan, diharapkan untuk menjadi murid dari orang yang memenangkan perdebatan. Jika seorang guru menjadi seorang Kristen, murid-muridnya secara otomatis mengikuti guru mereka dan juga menjadi orang Kristen.
Antara Debat Teologis, Dialog Teologis atau Dialog Kehidupan di Indonesia?
Di masa lalu pernah terjadi debat teologis di negara kita, baik di antara tokoh Kristen dan Islam, maupun di internal Islam, namun yang berbeda aliran. Di antara Kristen dan Islam hampir terjadi debat antara A. Hassan dengan Pastur J.J. Ten Berge tahun 1931, karena sang pastur dianggap menghina Nabi Muhammad dalam sebuah artikelnya.
Seorang tokoh Persis (Persatuan Islam) bernama A. Hassan kemudian mengajak debat terbuka di Bandung dan Batavia, namun tidak pernah terlaksana. Justru ketika melakukan debat dengan tokoh Ahmadiyah bernama maulana rahmat Ali dan Abu Bakar Ayyub, di Bandung dihadiri oleh sekitar 1000 orang, dan di Jakarta dihadiri oleh sekitar 2000 orang.
Harus diakui bahwa debat teologi memiliki manfaat, yaitu mencerahkan umat, mengembangkan ilmu dan diskursus, dan menguatkan identitas keagamaan. Namun, mudaratnya juga lebih banyak, yaitu dapat meningkatkan ketegangan antar umat beragama maupun internal umat beragama (satu agama tetapi berseteru) yang menyebabkan pencitraan buruk terhadap agama, dan dapat munculnya ekstremisme dan politisasi agama. Karena itu, Sumanto menyebut bahwa lebih baik dialog dan bukan debat, apalagi jika itu menyangkut hubungan Kristen dan Islam sebagai dua agama terbesar di dunia, dan juga di Indonesia.
Indonesia tidak memiliki sejarah yang cukup baik atau cukup panjang dibandingkan dengan India, yang melahirkan tokoh seperti Ahmed Deedat dan Zakir Naik. India pun pada akhirnya juga menghadapi persoalan dengan lepasnya Pakistan, serta kerusuhan yang terjadi di Kashmir dan Punjab yang berkaitan pula dengan agama, meskipun juga melibatkan unsur politik, identitas etnis, dan nasionalisme.
Indonesia dengan mayoritas umat Islam sering membawa isu agama sebagai isu yang sangat sensitif dan mudah menyulut api di tingkat akar rumput. Belum lagi dengan risiko polarisasi atau pengkutuban jika menyangkut isu-isu penting dan sensitif yang hendak diperdebatkan. Ditambah lagi dengan hadirnya media sosial yang hampir tidak bisa dikendalikan, serta kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab untuk memperkeruh situasi.
Goddard menulis bahwa Fransiscus dari Asisi, tokoh gereja yang mengecam Perang Salib V, pernah mengupayakan pertemuan atau dialog dengan Sultan al-Malik al-Kamil (1218-1238). Setelah beberapa kali mengajukan diri, akhirnya Sultan mengizinkan Fransiskus menghadapnya. Ada beragam laporan mengenai dialog antara keduanya.
Salah satu laporan menyebutkan bahwa Fransiskus bersedia untuk dibakar demi membuktikan kebenaran iman Kristen. Namun, sang sultan justru menolak permintaannya itu sehingga Fransiskus pun terpaksa kembali ke perkemahan Pasukan Salib. Terlepas dari kegagalan itu, pengajaran khas Fransiskus menawarkan alternatif radikal terhadap paradigma perang salib yang dominan pada masa itu, yang bertumpu pada keyakinan bahwa kemenangan militer merupakan yang paling penting. Mengapa tidak melalui dialog untuk menyelesaikan persoalan?
Sumanto menyebut bahwa dialog memiliki kelebihan: semua adalah pemenang (win-win solution) dengan teman dialog, fokus pada kelebihan/kekuatan agama masing-masing untuk membangun kerjasama; konsentrasi pada kesamaan untuk mencari dasar/titik pijak bersama (common ground). Lalu ada komitmen yang tulus dan rendah hati, tentu dengan mengesampingkan superioritas dan sikap eksklusif dengan truth claim-nya.
Pertanyaannya kemudian adalah: dialog teologis ataukah dialog kehidupan? Keduanya bisa saling melengkapi. Dialog teologis adalah diskusi terbuka dan mendalam antar pemimpin atau teolog dari agama-agama berbeda tentang ajaran, keyakinan, dan doktrin masing-masing, dengan tujuan untuk saling memahami dan menemukan titik temu atau perbedaan secara terbuka dan jujur.
Dialog teologis ini bisa disosialisasikan kepada umat, supaya mereka bisa saling memahami dengan sang liyan. Sedangkan dialog kehidupan (Dialogue of Life) adalah interaksi sehari-hari umat beragama, ketika mereka saling berbagi pengalaman hidup, bekerja sama dalam hal kemanusiaan, dan membangun relasi damai, tanpa harus membicarakan doktrin agama secara langsung.
Di Ghana, umat Kristen dan Muslim telah hidup dalam kedamaian mutlak sejak diperkenalkannya agama Kristen dan Islam pada abad ke-15. Muslim dan Kristen telah hidup damai selama berabad-abad karena dialog kehidupanlah yang memastikan perdamaian antara kedua agama ini, bukan pertemuan konferensi dan jabat tangan setengah hati.
Jadi, bukankah dialog teologis dan dialog kehidupan bisa saling melengkapi? Semoga kita mampu melakukannya demi kebaikan bersama di masa depan.
Referensi
Abdul-Hamid, Mustapha. 2011. “Christian-Muslim Relations in Ghana: A Model for World Dialogue and Peace”. Ilorin Journal of Religious Studies 1 (1), 21-32
Al Qurtuby, Sumanto. 2017. “Dialog, Bukan Debat Kristen-Muslim.” https://www.liputan6.com/opini/read/2923215/opini-dialog-bukan-debat-kristen-muslim
Furseth, Inger & Pal Repstad. 2006. An Introduction to the Sociology of Religion. Burlington: Ashgate Publishing Company.
Goddard, Hugh. 2000. A History of Christian-Muslim Relations. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Partonadi, Soetarman Soedirman. 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Kekristenan Jawa pada Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia.