Beranda Publikasi Kolom Tradisi Jenang Suro

Tradisi Jenang Suro

281
0
Courtasy foto: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

Dewi Ayu Larasati (Akademisi & Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Jenang merupakan salah satu kuliner tradisional masyarakat Jawa yang sudah mengakar sejak zaman Hindu. Tradisi jenang juga ada saat era Walisongo bahkan sampai masa kini.

Dalam bahasa Jawa, jenangartinya bubur atau makanan. Namun jenang dalam bahasa Jawa kuno (dikutip dari choco.id, 13/10/2023) memiliki arti “tumbuh” atau “berkembang”. Ini mencerminkan filosofi di balik sajian makanan ini, yaitu sebagai simbol pertumbuhan, kemakmuran, dan kebahagiaan.

Selain itu, jenang juga dapat diartikan rejeki (dikutip dari Ki Juru Bangunjiwa, 2019:130) seperti dalam pepatah leluhur Jawa: “Jeneng nggawa jenang” yang artinya nama yang berwibawa dan baik akan diikuti oleh rejeki yang sempulur (mengalir subur).

Sejarah jenang dalam budaya Jawa terentang panjang tertulis dalam kitab-kitab kuno. Seperti dalam Serat Lubdaka karya Mpu Tanakung pada zaman Kerajaan Kediri (abad XII) tertulis sebaris kalimat tentang sesaji bubur dan nasi liwet.

Dalam Serat Centhini (1814-1823) disebutkan bahwa ada sesaji jenang di setiap tahapan acara hajatan pernikahan, yaitu jenang abang dan jenang baro-baro. Kitab Nawa Ruci dari zaman Kerajaan Majapahit (abad XIV) ikut mendeskripsikan jenang sebagai makanan ringan yang manis dengan tekstur kenyal dan berwarna coklat. Selain itu, Serat Tatacara (1893) yang ditulis oleh Ki Padmasusastra mendokumentasikan ragam jenis jenang dan berbagai penggunaannya dalam tradisi masyarakat Jawa.

Catatan-catatan kuno tersebut tentunya memperlihatkan pada kita bagaimana jenang terus berkembang dan bertahan sebagai salah satu perekat tradisi yang tak bisa lepas dari masyarakat Jawa.

Bagi masyarakat Jawa sendiri, jenang bukan sekadar makanan yang bertekstur halus, tetapi juga memiliki nilai-nilai spiritual dan kultural. Meski jenang hampir selalu menjadi penganan wajib dalam ritual hajatan, seperti kelahiran atau selamatan lainnya, tak semua jenang bisa dikonsumsi di sembarang waktu. Dalam hal ini, setiap jenis jenang tentunya memiliki filosofi dan makna simbolik tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Seperti halnya jenang Suran atau jenang Suro yang merupakan jenis kuliner istimewa yang hanya dibuat dan dihidangkan saat bulan Suro, yaitu bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah umat Islam. Tradisi menyantap jenang Suran pada tahun baru Islam tersebut konon sudah dilakukan sejak zaman Sultan Agung bertahta di Jawa ini.

Tak hanya sebagai santapan lezat, kuliner berciri khas bubur nasi ini juga memiliki makna simbolis pada tiap bahannya. Hal ini menunjukkan bahwa jenang Suro memiliki nilai sakral dan istimewa bagi masyarakat Jawa.

Nilai Religi

Tradisi jenang Suro yang dilakukan masyarakat Jawa saat perayaan tahun baru Islam sesungguhnya terinsipirasi dari kisah Nabi Nuh a.s dan kaumnya yang selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar. Peristiwa tersebut terjadi di bulan Muharram.

Dalam kitab l’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan bahwa ketika Nabi Nuh akan mendarat dari kapal bersama kaumnya, mereka kehabisan bekal makanan. Kemudian Nabi Nuh menyuruh kaumnya untuk mengumpulkan sisa-sisa bahan makanan. Akhirnya mereka pun ada yang membawa biji gandum, biji kacang putih, dan biji-biji yang lain hingga terkumpul tujuh macam biji-bijian.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Setelah dikumpulkan, biji-bijian tersebut dimasak menjadi satu dan disantap oleh Nabi Nuh beserta kaumnya. Pencampuran bahan makanan pada masa itu diibaratkan seperti bubur Asyura yang terbuat dari berbagai macam bahan makanan.

Kitab Nihayatuz Zain karya Syeikh Imam Nawawi Banten juga mengisyaratakan kehadiran jenang Suro sebagai makanan yang pertama kali dimasak oleh Nabi Nuh a.s dan kaumnya setelah selamat dari kejadian banjir besar.

Dikisahkan ketika perahu Nabi Nuh terdampar di atas Gunung Zud di Hari Asyuro beliau memerintahkan orang-orang yang berada di perahu untuk mengumpulkan apa yang tersisa dari perbekalan “Mari kumpulkan sisa-sisa bekal kalian!”

Lalu ada yang membawa kacang paul atau kacang kapri, ada yang membawa kedelai, ada yang beras, ada yang membawa jagung, ada yang gandum.

Lalu Nabi Nuh as berkata, “Masak semuanya, kalian telah dianugerahkan keselamatan oleh Allah swt”.

Itulah makanan yang pertama kali dibuat setelah banjir bah yang sangat fenomenal lalu menjadi tradisi umat Islam setiap tanggal 10 Muharram membuat hidangan dari biji-bijian atau yang lebih kita kenal dengan bubur Suro (jenang Suro).

Pelaksanaan tradisi jenang Suro yang sebenarnya juga berkaitan dengan kesyahidan cucu Nabi Muhammad, Sayyidina Husein yang tewas terbunuh pada tanggal 10 Muharram oleh kezaliman penguasa Bani Umayyah yakni Yazid bin Muawiyah (Prayitno,dkk., 2022).

Oleh karena itu, sebagai ungkapan duka cita, umat Islam mengenang dengan membuat jenang Suro dan membagikannya ke anak-anak yatim di sekitar mereka.

Dari landasan-landasan tersebut, terungkap bahwa tradisi Jenang Suro yang dilakukan masyarakat Jawa merupakan usaha untuk mempelajari dan mengenang kisah berlabuhnya kapal Nabi Nuh dan umatnya yang telah terjadi jauh ribuan tahun yang lalu.

Masyarakat juga belajar tentang nilai-nilai keislaman berupa ketauhidan yang dicontohkan oleh Nabi Nuh dan umatnya yang beriman serta ketauhidan Sayyidina Husain, cucu Baginda Rasul yang gugur dalam menegakkan kebenaran Islam. 

Di samping itu, tradisi Jenang Suro seakan ingin menghadirkan kembali nuansa syukur yang patut umat muslim lakukan sejalan dengan rasa syukur yang dihadirkan oleh Nabi Nuh dan umatnya. Dan jenang Suro yang dibagikan kepada tetangga, kerabat atau masyarakat sekitar juga mencerminkan sedekah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan harapan menambah amal kebaikan untuk memulai tahun yang baru.

Nilai Kultural

Sebagai kuliner tradisional, jenang Suro memiliki nilai kultural yang luhur. Makna simbolis dalam tiap bahannya terkait dengan harapan, doa, dan tujuan hidup manusia. Inilah yang dikatakan oleh seorang antropolog UGM, Dedi, seperti yang dikutip dari liputan6.com (23/6/2025) bahwa jenang Suro merupakan wujud dari simbol harmonisasi antara manusia, alam, dan Tuhan.

Beras sebagai bahan utama melambangkan kemakmuran. Santan melambangkan kelembutan dan keharmonisan.

Jenang Suro yang berwarna putih melambangkan kebersihan dan kesucian, dengan harapan manusia melakukan taubat, diampuni dosanya, dan kembali memulai lembaran baru di tahun yang baru.

Jenang Suro juga melambangkan wujud terjadinya manusia, atau jabang bayi telah berujud manusia yang sudah memiliki bagian-bagian tubuh yang kesemuanya berasal dari tetes Bapak dan benih Ibu yang berperan menjadi bibit manusia baru di kandungan dan diberi hidup (Ki Awu Ning Gni, 2023:158).

Budayawan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Romo Doni Satriyowibowo (dikutip dari cnnindonesia.com, 10/8/2021) juga berpendapat bahwa pemilihan bubur alih-alih nasi sebagai menu yang disajikan dalam perayaan satu suro ini juga memiliki makna persatuan. Bubur adalah penganan yang akan melekat satu sama lain, sulit dipecah seperti nasi. Maknanya adalah, semua akan menjadi satu, tidak boleh egois. Lengket dan saling bahu-membahu.

Jumlah lauk dalam jenang Sura pada umumnya menggunakan falsafah angka tujuh (dalam bahasa Jawa,pitu), dimana pitu diasosiasikan dengan doa memohon pitulungan atau pertolongan dari Gusti Allah sebagai satu-satunya Yang Maha Menolong.

Olahan ayam dalam hidangan jenang Sura tidak menggunakan ayam ingkung melainkan ayam yang disuwir, dicacah, dipotong dadu ataupun dipotong per bagian dalam tiap porsi bubur Sura, sehingga ada yang mendapat bagian sayap, paha, dan seterusnya. Hal tersebur mengandung makna nuansa prihatin, solidaritas berbagi, merenungi pengorbanan dan perjuangan tokoh-tokoh terdahulu, yang dijadikan dasar semangat juang.

Lauk pauk berupa olahan kacang yang wajib hadir pada sajian jenang Suro tentunya terkait kisah Nabi Nuh yang setelah berlabuh pada tanggal 10 Sura, lalu memasak pertama kali di daratan dengan menggunakan kacang-kacangan. Kacang-kacangan juga sebagai simbol awal yang tumbuh menjadi besar dan sebagai lambang dari mengawali tahun yang makmur dan subur.

Tujuh jenis kacang dalam sajian jenang Suro mewakili tujuh hari dalam seminggu yang diberkahi. Adapun tujuh jenis kacang itu di antaranya kacang tanah, kacang hijau, kacang mede, kacang bogor, kacang tholo, kedelai, dan kacang merah.

Sebagai uba rampe, bubur Suro tak lengkap rasanya jika tidak disajikan bersama sirih lengkap, kembar mayang dan buah-buahan yang semuanya berjumlah tujuh. Daun sirih dalam hal ini menggambarkan suatu penghormatan kepada keluarga dan leluhur.

Dengan memahami makna simbolis dari setiap bahan, kita dapat semakin menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi jenang suro. Oleh karena itu, jenang Suro bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup masyarakat Jawa yang patut dipertahankan eksistensinya.

Daftar Pustaka

Bukan Sesajen, Ini Filosofi di Balik Keunikan Bubur Suro. 23 Juni 2025. Diakses dari https://www.liputan6.com/regional/read/6059047/bukan-sesajen-ini-filosofi-di-balik-keunikan-bubur-suro

Jenang, Kue Tradisional yang Menghangatkan Hati. 13 Oktober 2023. Diakses dari https://choco.id/jenang-kue-tradisional-yang-menghangatkan-hati/

Ki Awu Ning Gni. 2023. Medang Kamulan. Denpasar: Guepedia

Ki Juru Bangunjiwa. 2019. Tata Cara Pengantin Jawa. Yogyakarta: Narasi

Melihat Makna Bubur Suro, Makanan Khas Tahun Baru Islam. 10 Agustus 2021. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210810192758-262-678949/melihat-makna-bubur-suro-makanan-khas-tahun-baru-islam

Prayitno, Muhammad Hadi, and Zamroni Ishaq. “Larangan Menikah Di Bulan Suro Perspektif Hukum Adat Jawa Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Ngampelrejo Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban).” JOSH: Journal of Sharia 1, no. 2 (2022): 163–85. https://doi.org/https://doi.org/10.55352/josh.v1i2.166.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini