Beranda Publikasi Kolom Fluktuasi Relasi Kristen-Muslim

Fluktuasi Relasi Kristen-Muslim

1239
0

Sony Kristiantoro (Dosen Fakultas Teologi, UKSW)

Hugh Goddard, profesor Teologi Islam di University of Nottingham, dalam bukunya menyebut bahwa pengaruh besar Kekristenan terjadi di Eropa dan Amerika, sementara agama Islam berpengaruh luas di Afrika dan Asia, sebagai akibat dari adanya hubungan dagang, migrasi, dan pertumbuhan berbagai kerajaan.

Hubungan Kristen-Muslim juga disebutnya bersifat fluktuatif atau berubah-ubah. Kadang-kadang umat Islam yang bergerak aktif sedangkan umat Kristen bereaksi terhadap perkembangan tersebut. Di lain waktu, umat Kristen yang bergerak aktif dan umat Islam meresponsnya. Pergerakan mereka bahkan tidak jarang membawa dampak yang berbeda bagi yang lainnya. Secara umum, keadaan seperti inilah yang berlangsung pada Abad Pertengahan dan bahkan hingga era modern sekarang.

Menurut Goddard, perkembangan dewasa ini menunjukkan bagaimana Kristen mendominasi kekuatan militer dan teknologi dengan Amerika Serikat yang menjadi representasinya (selain sebagai negara adidaya, AS juga merupakan negara dengan jumlah populasi warga Kristen terbanyak, yaitu sekitar 230 juta orang).

Sementara itu, dunia Islam memiliki tingkat keyakinan dan motivasi religius yang lebih kuat. Indonesia merupakan kekuatan Islam yang tidak bisa diabaikan dalam hal ini, ditambah dengan jumlah populasi warga muslim terbanyak di dunia (sekitar 244,7 juta Muslim dari total populasi sekitar 281,2 juta jiwa, hampir imbang dengan Pakistan).

Perjumpaan Kristen-Muslim dalam banyak kasus, justru menimbulkan konflik, bukan kesalingpengertian. Konflik yang melahirkan sikap saling curiga dan mengikis rasa saling percaya. Goddard menyebut bahwa warisan konflik masa silam yang menonjol adalah ekspansi Islam pada periode awal, Perang Salib, dan imperialisme Eropa, selain globalisasi dalam bidang perdagangan dan informasi turut menyemarakkan interaksi dan perjumpaan Islam-Kristen.

Warisan konflik itu, sedikit banyak memengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Sejarah masa lalu seperti Perang Salib misalnya, yang diharapkan bisa menjadi sebuah pengalaman buruk dan pelajaran dan tidak perlu diulang, sering kali dihadirkan kembali dalam dakwah dan khotbah, atau dalam pelajaran agama yang disampaikan kepada generasi berikutnya, sehingga hal ini bisa memudarkan relasi baik yang sebelumnya sudah terjalin di antara umat Kristen dan Islam.

Pengalaman Masa Lalu

Ketika saya masih berusia SMP, sekitar tahun 1980-an, saya merasakan sebuah relasi yang begitu dekat dengan teman-teman yang beragama lain, khususnya Islam. Sebagai seorang Kristen, saya tidak ditolak ketika bergabung dengan teman-teman saat membangunkan orang untuk sahur pada saat bulan Ramadhan, ikut tidur-tiduran di masjid saat udara panas-panasnya, dan ikut merasakan berpuasa seperti mereka.

Relasi dengan rekan muslim semasa SMA (tahun 1984-1987) juga masih berjalan dengan baik, namun relasi itu agak terganggu dengan tindakan seorang teman muslim, yang dengan sengaja meminjamkan sebuah buku yang berisi perdebatan antara seorang ulama muslim dengan seorang Kristen awam.

Saya berpikir, apakah ini adalah salah satu cara untuk membuat seseorang bertobat dan menjadi muslim? Apalagi pada waktu itu juga ada isu untuk mengislamkan seorang pemudi Kristen dengan memacari dan menghamilinya.

Perasaan sentimen terhadap Islam juga mengalami gejolak, ketika ada Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dalam bentuk rekaman di kaset, yang cenderung menjelekkan agama lain. 

Buku-buku kesaksian dari seorang muslim yang bertobat seperti Hamran Ambrie dan Yusuf Ronny, juga sedikit banyak mewarnai relasi Islam-Kristen.

Semasa menjadi mahasiswa di era 90-an, saya menemukan buku tentang seorang mualaf bernama Irene Handono, yang bukunya sangat laris dan beberapa kali dicetak ulang. Sampai saat ini, Irene Handono tetap menyampaikan dakwah dengan berusaha mengkritik atau menjelekkan agamanya yang lama.

Relasi Kristen-Islam di media massa juga diwarnai dengan kasus Arswendo Atmowiloto dengan Tabloid Monitor-nya. Juga ada kasus ā€œKristen Supermie atau Kristen Berasā€. Kasus-kasus pemboman pada menjelang tahun 2000 atau kasus Konflik Ambon dan Poso menjadi fakta bahwa relasi Kristen-Islam memang bersifat sangat fluktuatif.

Para pendakwah dan pengkhotbah yang masih berstatus ā€œmualaf ā€œ jelas akan sangat memengaruhi relasi Islam-Kristen. Hal ini karena kemampuan mereka untuk berdakwah atau berkhotbah tentang ajaran agamanya yang baru, mungkin masih mentah dan belum menguasai. Karena itu, paling mudah dengan cara menyerang agama lamanya.

Proses pemualafan seseorang untuk masuk Islam (misalnya ala Ust. Derry Sulaiman) yang rajin memualafkan Bobon Santoso, Richard Lie, dengan cara yang sangat aktif ā€œmemepetā€ mereka atau cara yang dipakai untuk mengristenkan dengan memberi bantuan sembako dan semacamnya, terus merebak hingga saat ini. Atau konten dari Christian Prince yang cukup digemari dengan Engagement rate: 18,07%, menunjukkan interaksi yang tinggi dibandingkan rata-rata kanal serupa, bisa membawa kontroversi yang dapat merusak relasi Kristen-Islam.

Ada hal menarik yang saya amati, di satu sisi, beberapa dari orang Kristen di masa keemasan KH Zainuddin M.Z. banyak yang mendengarkan (walau sebagian sambil lalu) ceramah atau dakwah beliau yang memang sangat menarik dan lucu. Di sisi lain, beberapa orang muslim banyak yang mendengarkan lagu rohani Kristen, yang memang cukup enak didengar irama dan musiknya, dan mudah diingat liriknya.

Akibat Modernisme dan Liberalisme

Dengan berkembang pesatnya modernisme dan liberalisme, maka hal ini kemudian direspon secara berbeda oleh para pemeluk agama. Menurut Thoha, hal yang menarik adalah bahwa komposisi (unsur pembentuk) dari liberalisme adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan pluralisme (keragaman). Karena itu di Barat, sekularisme menguat, namun di Timur, alih-alih sekularisme, yang justru terjadi adalah erupsi atau kebangkitan agama-agama.

Agama-agama kemudian menyikapi modernisme dan liberalisme dengan  fundamentalisme, yaitu salah satu aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (harafiah), yang dianggap sebagai reaksi terhadap modernisme dan menegakkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan sekuler.

Konteks Salatiga

Meskipun Salatiga dikenal sebagai kota yang toleran, muncul tantangan baru yang dapat mengancam relasi Islam-Kristen. Salah satu tantangan tersebut adalah pembangunan perumahan syariah eksklusif yang dapat menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya segregasi sosial. Laporan SETARA Institute (2024) menyebutkan bahwa zona permukiman yang tersegregasi tersebut dapat mempersempit ruang interaksi antarumat beragama.

Beberapa perumahan syariah tersebut, antara lain, PT M. Housing dengan tagline “Membangun Keluarga Sakinah, Mawadah, Warohmah”. FRS Housing yang mengklaim sebagai perumahan syariah pertama di Salatiga, telah membangun perumahan di kawasan Gamol, Bendosari, Tegalrejo, dan Dayaan, Salatiga, dengan tagline “Perumahan Islami, Tetangga Berkualitas”. Berikutnya ada developer yang masuk, yakni CAR yang memiliki 14 kavling dan berlokasi di Desa Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.

Dalam salah satu promosi klaster ini, terdapat kalimat yang berbunyi, “…hunian tersebut akan diisi oleh umat Islam yang taat pada syariat dan terhindar dari dosa riba”.

Jadi, perumahan syariah itu ada dan syaratnya adalah beragama Islam, taat pada syariat, dan membangun keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Hal ini menimbulkan calon penghuni atau pembeli yang cenderung homogen.

Ada anggapan bahwa mereka yang taat pada syariat dianggap memiliki kualitas yang lebih baik dari yang lain. Hal ini tentu saja berisiko menimbulkan segregasi sosial, yang merupakan kebalikan dari integrasi sosial, dan iklim toleransi tidak akan cukup terbangun di dalamnya, yang jika tidak diperhatikan akan menjadi benih-benih intoleransi yang mengancam persatuan masyarakat, dan bukan sekadar predikat sebagai kota paling toleran.

Dalam kasus tertentu, pemekaran wilayah berdasarkan agama dapat terjadi karena trauma perang atau kerusuhan, seperti kerusuhan yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 hingga 2004. Sejak pecahnya pertikaian antara umat Islam dan Kristen, hubungan antar kelompok agama setempat ini diwarnai oleh kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman. Masing-masing kelompok agama lebih suka hidup berdampingan dengan sesama pemeluk agamanya. Meskipun umat Kristen dan Muslim berada di wilayah atau desa yang sama, mereka tinggal di blok yang terpisah, sehingga menjadikan pulau ini sebagai pluralitas yang terpisah. Pemisahan tersebut jelas mengandung potensi bahaya perpecahan dan diskriminasi. Dalam hal ini, Salatiga seharusnya tidak melangkah di jalur yang sama.

Selain itu, terdapat laporan dari masyarakat tentang adanya resistensi terhadap kegiatan antarumat beragama, seperti doa bersama atau acara lintas agama, di beberapa daerah pinggiran, yang mencerminkan resistensi ideologis terhadap inklusivitas.

Ada pula kejadian pada bulan September 2024 yang perlu diperhatikan secara serius, karena adanya tindakan intoleran dari beberapa orang yang berpengaruh. Kejadian tersebut adalah tentang pelarangan Jalan Sehat dalam rangka HUT Gereja GBI Karangalit pada tanggal 8 September 2024 yang sempat ditolak oleh warga. Namun, masalah pembatalan tersebut telah dimediasi dan kegiatan tetap berjalan. Rencana jalan sehat pada hari Minggu, 8 September 2024, akhirnya terlaksana dan diselesaikan dengan baik, dan tetap dihadiri oleh warga RW 5 Karangalit.

Ada kesalahpahaman yang terjadi, karena pihak gereja mendata warga yang akan ikut serta untuk memastikan ketersediaan konsumsi, namun hal tersebut dengan mudah dipelintir menjadi isu bahwa pihak gereja sedang mendata warga untuk menjadi sasaran misi Injil. Maka, bahaya munculnya benih-benih intoleransi yang merusak relasi yang sudah terjalin baik tidak bisa diabaikan dan dianggap remeh.

Pemerintah Kota Salatiga diharapkan berperan aktif tidak hanya dalam menjaga relasi yang telah terjalin dengan baik selama ini, tetapi juga lebih meningkatkannya dengan berbagai cara yang kreatif, serta merangkul generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan.

BKGS (Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga) dan Ormas-ormas Keagamaan diharapkan lebih aktif lagi dalam menjalin komunikasi dan kerja sama lintas agama, agar relasi semakin terjalin baik, dan tidak cepat merasa puas dengan capaian Kota Salatiga sebagai kota paling toleran di Indonesia versi SETARA Institute. UKSW Salatiga dan UIN Salatiga juga diharapkan dapat meningkatkan kerjasama untuk terus menjalin kerjasama melalui berbagai acara saling mengundang untuk seminar, dosen tamu, dan hal-hal lain yang kreatif. [NI]

Referensi

Abbas, Zainul. ā€œAgama dalam Perspektif Fundamentalismeā€, dalam Imam Sukardi, dkk. (ed.), Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern. Solo: Tiga Serangkai, 2005

Goddard, Hugh. A History of Christian-Muslim Relations. Chicago: News Amsterdam Books

Thoha, Anis Malik.  Trend Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005

https://regional.kompas.com/read/2024/09/05/180401678/viral-jalan-santai-gbi-batal-karena-ditolak-warga-lurah-sudah-clear

https://www.rmoljawatengah.id/ramai-di-medsos-penolakan-jalan-sehat-hut-gbi-karangalit-salatiga

https://www.instagram.com/rumah_tanah_syariah_salatiga/?hl=en

https://www.olx.co.id/item/rumah-murah-di-salatiga-bisa-cicil-tanpa-bank-akad-syariah-free-umroh-iid-926224388

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini