
Betty Veronika Mau (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana)
Indonesia terkenal dengan negara yang memiliki keberagaman agama dan kepercayaan, yang di mana masyakat hidup berdampingan dengan berbagai keyakinan, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan agama lokal yang ada.
Keberagaman ini menjadi kekuatan sekaligus tantangan dalam kehidupan sosial.
Salah satu isu yang sering muncul adalah penolakan pembangunan rumah ibadah, seperti gereja atau masjid, di beberapa wilayah. Meski terlihat sederhana, peristiwa ini sebenarnya menggambarkan dinamika hubungan antara agama, kekerasan, dan perdamaian yang menjadi topik penting dalam mata kuliah kali ini.
Contoh nyata dari isu tentang ini adalah kasus penolakan pembangunan gereja di Bekasi beberapa waktu lalu. Isu tentang penolakan ini sering kali dipicu oleh anggapan bahwa pembangunan rumah ibadah tertentuk akan “menggangu” kelompok mayoritas di wilayah tersebut.
Alasan seperti kurangnya izin resmi atau tekanan dari kelompok tertentu juga sering muncul.
Hal ini kemudian menciptakan sebuah ketegangan yang terkadang berujung pada konflik sosial, seperti protes secara massal atau bahkan timbulnya ancaman kekerasan.
Penolakan semacam ini menunjukan bahwa bagaimana agama, yang seharusnya menjadi jalan menuju perdamaian, malah bisa menjadi sumber konflik atau ketegangan jika tidak dapat dikelola dengan baik.
Saat agama digunakan untuk membenarkan tindakan diskriminasi atau pengucillan, potensi konflik akan semakin besar.
Oleh karena itu, sebagai negara dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tantangan semacam ini menjadi pengingat bahwa kerja keras untuk menjaga toleransi dan perdamaian harus terus dilakukan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Di Mata Kuliah Agama, Kekerasan dan Perdamaian yang diampu oleh Sumanto Al Qurtuby, kita dapat belajar bahwa konflik dan kekerasan atas nama agama sering kali tidak melulu tentang dasar-dasar teologinya atau dogma-dogmanya, tetapi juga tentang persoalan sosial, politik dan ekonomi.
Agama terlalu ingin mendominasi segala hal sehingga menyebabkan intoleran.
Dalam kasus penolakan rumah ibadah, yang terlihat adalah bagaimana ketidaktahuan, prasangka buruk, bahkan kurangnya dialog lintas agama dapat menciptakan ketegangan atau konflik yang berujung pada kekerasan.
Namun, di sisi lain, agama juga mempunyai potensi yang besar untuk dapat menciptakan perdamaian.
Dalam Islam, misalnya diajarkan konsep tentang “ukhuwah insaniyah” atau persaudaraan secara universal yang menghormati semua manusia tanpa memandang agama. Di samping itu, ajaran Hindu juga selaran menekankan tentang “tat twam asi” yang artinya “aku adalah kamu” sebagai bentuk pengakuan atas kesatuan manusia.
Dengan demikian, jika ajaran atau nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka masalah-masalah seperti penolakan pembangunan rumah-rumah ibadah dapat dihindari.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa konflik agama sering kali tidak murni karena keyakinan, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik.
Ketimpangan ekonomi, kurangnya edukasi, dan kebijakan yang tidak adil sering menjadi latar belakang munculnya ketegangan. Oleh karena itu, pendekatan menyelesaikan konflik agama tidak bisa hanya berfokus pada aspek keagamaan saja, tetapi juga pada upaya memperbaiki kondisi sosial secara menyeluruh.
Dari peristiwa ini, kita boleh belajar bahwa pentingnya membangun dialog dan kerja sama antarumat beragama.
Sebagai contoh, melalui forum lintas agama yang mengikutsertakan tokoh-tokoh agama, masyarakat dan pemerintah, maka kita bisa menciptakan satu langkah baru sebagai ruang diskusi untuk saling memahami kebutuhan dan kekhawatiran masing-masing pihak.
Forum-forum seperti ini sudah mulai dilakukan di beberapa daerah dan terbukti membantu mengurangi ketegangan yang ada.
Selain dialog, pendidikan juga dapat menjadi sarana kunci utama dalam membangun toleransi. Sekolah dan universitas dapat menjadi wadah yang baik untuk mengajarkan tentang nilai-nilai perdamaian kepada generasi-generasi muda.
Dengan demikian pentingnya toleransi sejak dini, maka kita dapat mencegah potensi konflik di masa yang akan datang. Kegiatan seperti kunjungan lintas agama, diskusi bersama atau aksi sosial bisa menjadi cara yang sederhana namun tepat sasaran untuk menanamkan sikap saling menghormati.
Tidak kalah pentingnya adalah bahwa peran pemerintah dalam menjaga keadilan juga sangat dibutuhkan dalam menjadi toleransi di Indonesia.
Pemerintah harus berusaha keras memastikan bahwa semua warga negara memiliki porsi hak yang sama, termasuk di dalamnya pembangunan rumah ibadah. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran juga penting untuk mencegah konflik lebih lanjut.
Hal ini sesuai dengan semangat Pancasila, khususnya sila pertama dan ketiga, yang menekankan pentingnya keadilan sosial dan persatuan.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari agama, kekerasan, dan perdamaian, saya menyadari bahwa tanggung jawab menjaga toleransi ada pada kita semua. Peristiwa penolakan rumah ibadah ini mengajarkan saya bahwa kita tidak hanya perlu memahami keyakinan sendiri, tetapi juga menghormati keyakinan orang lain.
Saya merasa penting untuk terlibat dalam kegiatan yang mempromosikan dialog lintas agama, agar masyarakat bisa lebih memahami bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekayaan yang harus kita jaga bersama.
Saya juga menyadari bahwa perdamaian tidak bisa tercipta tanpa usaha bersama. Dari hal-hal kecil seperti menghormati perayaan agama lain, hingga ikut serta dalam diskusi atau kegiatan sosial, kita semua bisa berkontribusi.
Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, saya percaya bahwa perdamaian harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Penolakan rumah ibadah mungkin terlihat sebagai masalah kecil, tetapi sebenarnya mencerminkan tantangan besar dalam menjaga perdamaian di tengah keberagaman. Melalui pembelajaran tentang agama, kekerasan, dan perdamaian, kita diajarkan untuk melihat bahwa konflik bukanlah akhir dari cerita.
Dengan dialog, empati, dan nilai-nilai agama yang mengedepankan perdamaian, kita bisa membangun masyarakat yang lebih harmonis.
Sebagai bangsa, Indonesia memiliki modal besar berupa keberagaman dan sejarah panjang hidup bersama. Dengan memperkuat toleransi dan mempraktikkan nilai-nilai perdamaian, kita bisa menjaga keharmonisan ini untuk generasi yang akan datang.
Karena pada akhirnya, perdamaian bukan hanya tujuan, tetapi juga perjalanan yang harus terus diperjuangkan bersama. [NI]