Beranda Publikasi Kolom Wong Banyumasan dan Identitas Cablaka

Wong Banyumasan dan Identitas Cablaka

1902
0

Mukhamad Hamid Samiaji (Pegiat Literasi di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

Siapakah sebenarnya yang disebut sebagai Wong Banyumasan atau orang Banyumas? Penyebutan Wong Banyumasan tentu lebih luas dari sekadar orang yang hidup di Kabupaten Banyumas. Masyarakat Banyumas, atau yang dikenal sebagai Wong Banyumasan merupakan masyarakat yang memiliki ciri khas dan karakteristik yang unik. Karakter, identitas, dan kepribadian selalu ditemukan pada masyarakat tertentu sebagai warisan masa lampau leluhurnya, termasuk masyarakat Banyumas.

Ada tiga kriteria yang menunjukkan wong Banyumasan: Pertama, orang-orang yang masih merasa dan memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya menetap di wilayah yang dulunya berada di Keresidenan Banyumas. Walaupun sekarang orang-orang ini tidak lagi tinggal dan menetap di wilayah eks Karisidenan Banyumas, tetapi mereka mengakui dirinya memiliki trah (keturunan) Banyumas.

Kedua, orang-orang yang sampai saat ini “merasa bangga” menjadi bagian dari garis keturunan Wong Banyumasan, apalagi mereka yang masih bisa berbicara dan merasa rindu menggunakan Bahasa Ngapak. Ketiga, siapa saja yang pernah tinggal dan menetap di wilayah eks Keresidenan Banyumas dan merasa menyukai kehidupan sosial budaya, logat bahasa, serta merasa nyaman bergaul dengan orang Banyumas lainnya, walaupun tidak lagi tinggal dan menetap di eks Keresidenan Banyumas.

Wong Banyumasan tidak hanya terbatas pada batas wilayah administrasi pemerintahan, ataupun pada siapa yang berkuasa dan menjadi elit di Banyumas, bahkan juga tidak tergantung dari garis keturunan. Dari catatan Babad Banyumas diketahui bahwa Wong Banyumasan adalah warga pembauran antara dua Kerajaan/Kadipaten yang bersebelahan, yaitu Pakuan Parahiyangan/Pajajaran dan Pasirluhur/Galuh, dan akhirnya membentuk satu komunitas baru yang terus berkesinambungan dalam sejarah dan kehidupan sosial budaya yang khas sebagai komunitas perbatasan dari dua suku, yaitu Jawa dan Sunda. Hal ini juga dapat dicermati melalui segi bahasa yang mirip bahkan banyak persamaan di antara keduanya

Cablaka Sebagai Karakter Wong Banyumas

Cablaka adalah karakter yang dicetuskan secara spontan oleh masyarakat Banyumas terhadap fenomena yang tampak di depan mata, tanpa ditutup-tutupi. Cablaka sering dimaknai sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan masyarakat Banyumas. Artinya, masyarakat Banyumas lebih senang berbicara apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu. Tidak sedikit masyarakat luar yang menganggap bahwa masyarakat Banyumas seperti tidak memiliki unggah-ungguh atau tata krama, lugas, atau bahkan kurang ajar.

Anggapan seperti itu dinilai wajar karena cablaka gaya masyarakat Banyumas itu terkadang menimbulkan sakit hati (nylekiti) bagi orang lain yang belum memahami karakteristik masyarakat banyumas, terutama bagi orang yang mudah tersinggung, termasuk sesama masyarakat Banyumas itu sendiri. Perilaku penjorangan, semblothongan, glewehan, atau ngomong brecuh orang Banyumas memang sering berlebih-lebihan sebagai ekspresi dari karakter cablaka teresebut. Namun, bagi sesama masyarakat Banyumas hal itu tidak menjadi masalah. Untuk itu, cablaka masyarakat Banyumas harus dianggap sebagai tindakan keterusterangan, jiwa yang terbuka, akrab, atau ekspresi kebebasan untuk mengutarakan segala hal tanpa ada yang disembunyikan (tanpa tedheng aling-aling).

Cablaka, thokmelong, dan blakasuta sebenarnya memiliki makna yang sama, yakni bicara apa adanya berterus terang, atau bersahaja. Cablaka dan Blakasuta memuat unsur kata yang sama, blaka, yang maknanya terus terang atau bersahaja. Kemudian blaka berasal dari kata blak (dibaca dalam dialek Banyumasan: blag) yang maknanya menga amba atau teladan dan contoh sehingga kata ulang blak-blakan (dibaca dalam dialek Banyumasan: blag-blagan) berarti tanpa nganggo ditutupi dan blakasuta berarti kandha ing sabenere.

Salah satu cara yang terbaik untuk menghadapi cablaka/blakasuta atau thokmelong orang Banyumas adalah dengan melakukan reaksi yang sama sehingga tidak merasa tersinggung atau dilecehkan karena tidak jarang muncul kata-kata jorok dan saru (brecuh) pada saat percakapan sehingga orang Banyumas menjunjung tinggi ungkapan gemblung-gemblung ari rubung (biar gila asal berkumpul) dengan maksud untuk menjalin keakraban dan kebersamaan. Berbicara saru tampaknya menjadi sesuatu yang khas di antara percakapan masyarakat Banyumas.

Istilah lain yang sejalan dengan cablaka/blakasuta/thokmelong, yaitu glogok soar, yang berasal dari bahasa Sunda gologok yang berarti menuangkan air dan soara berarti suara. Glogok soar berarti menuangkan suara apa adanya. Dari istilah inilah, maka Wong Banyumasan memang pada dasarnya adalah tipikal orang yang spontan, apa adanya, tanpa dibuat-buat dan lugas cara berbicaranya, tanpa harus menutup-nutupi sesuatu hanya karena rasa ewuh pekewuh. Hal inilah yang terkadang menimbulkan kesan tidak sopan dan dapat menyinggung perasaan orang lain/lawan bicaranya. Dalam hal relasi antar individu, secara umum Wong Banyumasan adalah orang yang egaliter dan menjunjung kesetaraan, tanpa membedabedakan strata sosial. Hal ini tercermin juga dalam penggunaan istilah inyong dan kowe/ko/rika/kono, yang menunjukkan keakraban dan telah menjadi satu keluarga besar.

Karakter Wong Banyumasan yang egaliter dan apa adanya rupanya telah menjadi karakter yang ada sejak dahulu kala, yang diwariskan dari sastra lisan maupun sastra tulisan sebagaimana dimuat dalam Babad Banyumas. Bukti karakter cablaka tertuang dalam teks Babad Banyumas Kalibening. Sifat dan perilaku cablaka tampak dalam cerita pembunuhan Adipati Wargautama I oleh utusan Sultan Pajang yang berakhir dengan munculnya sejumlah pantangan atau tabu dari pihak Wirasaba. Pantangan Adipati Wargautama I dinyatakan secara cablaka dan dibalas dengan pantangan serupa yang tidak kalah cablaka-nya dari pihak Toyareka.

Hal lain yang menonjol dari Babad Banyumas adalah cablaka yang ditunjukkan oleh Bagus Mangun atau Jaka Kaiman yang bersedia berangkat ke Pajang untuk memenuhi panggilan sultan. Bagus Mangun secara cablaka menyatakan dirinya siap berangkat ke Pajang untuk mempertanggungjawabkan kesalahan mertuanya. Namun Bagus Mangun secara blak-blakan mengatakan apabila ia mendapat anugerah raja dan diangkat sebagai pengganti meruta, saudara-saudaranya tidak boleh iri dengki kepadanya. Pernyataan cablaka itu disetujui oleh saudara-saudaranya.

Cablaka Bagus Mangun ini menunjukkan sifat yang jujur dan tidak menghina saudarasaudara lain yang tidak berani menghadap Sultan Pajang. Tanpa diduga ternyata maksud dari pemanggilan Sultan Pajang adalah untuk mengangkat pengganti penguasa daerah Wirasaba yang kosong, menyusul terbunuhnya Adipati Wargautama I. Karena yang berani menghadap ke Pajang adalah Jaka Kaiman, maka dialah yang kemudian diangkat untuk menggantikan mertuanya dengan gelar Nunggak Semi, Adipati Wargautama II. Setelah menjadi adipati, Jaka Kaiman lalu menyerahkan kekuasaannya kepada saudara iparnya, Wargawijaya, dan membagi wilayah Wirasaba menjadi empat bagian, sehingga kelak dikenal dengan nama Adipati Mrapat. Jaka Kaiman sendiri memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya dan membentuk kadipaten baru, yaitu Banyumas.

Tanpa kecablakan Adipati Warga Utama II inilah tidak mungkin muncul nama Banyumas di panggung sejarah sehingga cablaka itu sendiri melekat pada nama Banyumas. Bukankan nama Banyumas mengandung unsur banyu atau air yang dituangkan (glogok)? Mas atau emas adalah logam mulai yang mengkilap (melong). Logam mulia berarti sesuatu yang tidak bisa dibentuk secara instan, tetapi juga tidak mudah berubah. Keberadaan emas tidak bisa ditutup-tutupi meskipun ia berada di tengah-tengah sampah, ia tetap emas. Banyumas merupakan symbol kejujuran dan keterusterangan yang berlawanan dengan Toyareka sebagai symbol fitnah dan rekaya, serta kebohongan.

Penutup

Wong Banyumas yang bersendikan dialek bahasa Banyumasan telah terbangun budaya egaliter, yaitu mengakui kesetaraan antara sesama anggota masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian berpengaruh terhadap gaya dan cara bicara orang Banyumas yang vulgar sehingga terkesan kasar. Jiwa bebas, jiwa egaliter, dan jiwa vulgarini tidak lain dilandasi oleh karakter inti Wong Banyumas, yakni cablaka, blakasuta, atau thokmelong.

Daftar Bacaan

Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto: Metro Jaya.

Prawiroatmojo. 1988. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I (Abjad A-Ny). Jakarta: Hasi Masagung.

Priyadi, Sugeng. 2002. Banyumas: Antara Jawa dan Sunda. Semarang: Penerbit Mimbar-The Ford Foundation-Yayasan Adikarya Ikapi.

Priyadi, Sugeng. Cablaka Sebagai Inti Model Karakter Manusia Banyumas. Jurnal Diksi Vol. 14 No. 1 (2007), p. 1-18.

Priyadi, Sugeng. 2013. Sejarah Mentalitas Brebes. Yogyakarta: Ombak

Sumantri dkk., Maman. 1985. Kamus Sunda-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Deparrtemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widada, dkk. 2006. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Nusantara Institute
Tim Redaksi

Nusantara Institute adalah lembaga yang didirikan oleh Yayasan Budaya Nusantara Indonesia yang berfokus di bidang studi, kajian, riset ilmiah, publikasi, scholarship, fellowship, dan pengembangan akademik tentang ke-Nusantara-an.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini