Anicetus Windarto (Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Pertanyaan tentang pulung, khususnya yang berkait dengan sastra Jawa, agaknya selalu menjadi harapan dan sekaligus kecemasan bagi masyarakat Jawa, termasuk Indonesia. Pulung seakan-akan merupakan wahyu yang dinanti-nantikan jatuh atau mengena pada sosok atau seseorang yang diramalkan bakal menjadi tokoh terkemuka. Dalam dunia sastra Jawa, Ronggawarsita adalah salah seorang tokohnya.
Namun, ketokohan Ronggawarsita sesungguhnya tidaklah pernah dinanti-nantikan. Sebab di masa mudanya, anak Ronggawarsita II yang dibuang oleh penguasa Belanda, adalah murid di sebuah pesantren di Tegalasari, Ponorogo, yang teramat nakal (Nancy K. Florida, ”Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia Kepujanggan ”Klasik” di Keraton Surakarta” dalam Budi Susanto, S.J. (ed.), Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, Kanisius & LSR, 2008).
Dengan kata lain, tak ada yang diharapkan, kecuali mungkin dicemaskan, dari Ronggawarsita muda untuk menjadi pujangga keraton sebagaimana telah dilakoni oleh para pendahulunya. Akan tetapi, entah mengapa ketika Ronggawarsita kejatuhan pulung kepujanggan, dengan sangat indah ia mampu membaca Al-Qur’an serta menafsirkannya secara tajam untuk para kyai.
Pulung itulah yang membawanya berkelana dari satu pondok ke pondok lain di Jawa Timur sesudah menamatkan pengajarannya di Tegalasari. Bahkan di akhir pengelanaannya, Ronggawarsita sempat berdiam di sebuah asrama Hindu dari suatu pendeta di Bali.
Jadi, pulung sastra Jawa yang dipertanyakan Keliek di masa kini nampaknya bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau ”berlebihan dan ilusif” sebagaimana dibahasakan Bandung. Sebab di masa lalu hal itu telah menyuratkan lahirnya seorang penulis ramalan yang di masa kini guratannya masih dapat dirasakan nuansa ”kenakalannya”.
Simaklah dengan seksama tembang Jawa modern yang belum lama ini diunggah di situs You Tube dengan judul “Jekso/Culiko?” dan telah diulas dalam esai berjudul ”Tafsir Perilaku Korup ala Ronggawarsita” (Solopos, 6/6/2016).
Tembang yang digarap BJ Riyanto bersama Endah Laras dan Younky Soewarno itu memperlihatkan bahwa sastra Jawa yang dianggap bernilai adiluhung masih mampu disuarakan dengan cara dan gaya yang sesuai dengan konteks zamannya.
Hal itu menunjukkan betapa sastra Jawa masih tetap dihidupi dan digeluti sebagai daya pembentuk semesta pemikiran Jawa. Masuk akal jika tafsiran sastra Jawa tidak selalu berorientasi pada hal dan masalah ”klasik”, melainkan juga pada beragam cerita dan peristiwa “populer” yang bersifat kontemporer.
Dalam konteks itulah, pulung sastra Jawa mendapatkan saat dan tempat yang tepat untuk dicari dan ditemukan makna barunya. Ronggawarsita yang dikenal sebagai penulis ramalan justru menulis karya-karya sastranya dalam bingkai sejarah Jawa dan Islam yang amat populer.
Sebagai pujangga peramal, ia menulis sejarah yang mampu mempengaruhi realitas dan menjadikan hal-hal itu terjadi. Dengan demikian, sejarah yang oleh penguasa kolonial Belanda dipandang amat subversif justru mampu menyuarakan krisis kesusastraan yang memporak-porandakan kebudayaan Jawa.
Di situlah pulung, sebagai sisi yang sering terlupakan, untuk me-“rawit”-kan (bukan sekadar meruwetkan) kebudayaan sastra Jawa, dihadirkan kembali.
Hal serupa juga pernah dikerjakan oleh sanak keluarga dari Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon dengan menuliskan sejarah tragis kuasa politik Jawa melalui sebuah puisi ratapan berjudul Serat Bangun Tapa.
Puisi yang berisi sindiran atas trik dan intrik politik suksesi kekuasaan di Surakarta abad 19 yang didalangi oleh penguasa dan pengusaha kolonial Belanda. Menurut Anthony Day dalam kajiannya berjudul “Drama Pengasingan Bangun Tapa di Ambon, Puisi Kedudukan Raja di Surakarta, 1830-1858” (Lorraine Gesick, Pusat Simbol, dan Hirarki Kekuasaan, YOI, 1989), penulisan sejarah yang sastrawi seperti itu menjadi pulung yang mampu menelanjangi, bahkan membongkar, kepentingan sepihak dari mereka yang sedang bertahta.
Meski di masa kini sastra Jawa tampak semakin terpinggirkan, namun bukan berarti pulungnya tidak bisa dicari. Hal ini serupa dengan bahasa Ratu Adil atau Mesianisme. Bukan siapa yang layak menjadi sosok pemimpin yang diharapkan, tetapi pada bagaimana mengupayakan kepemimpinan yang mampu menghadirkan kebersamaan.
Sebab, sebagaimana diperingatkan P.J. Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Djambatan, 1983/1994), kebudayaan Jawa telah mampu menghasilkan jenis kesusastraan yang ditulis dalam bahasa lokal dan membiasakan masyarakat untuk hidup bersama dalam keluasan dan keragaman cara pandang.
Kesusasteraan jenis ini menjadi syarat penting untuk menghindarkan dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran akibat peperangan-peperangan yang mudah terjadi. Maka kekhususan sastra Jawa memang terletak pada “pulungnya” yang memberi dasar bagi masyarakat agar lebih jeli dan waspada untuk berjuang dan menjadi tetap tangguh. [NI]