Oleh: Badrus Shaleh (Penulis buku-buku sastra dan pengajar di Pesantren Darussalam, Sumenep)
Salah satu agama asli Nusantara yang kurang begitu populer diperbincangkan banyak orang ialah Fanömba Adu, sebuah agama kuno orang-orang suku Nias (ono Niha), Provinsi Sumatera Utara. Nama lain dari agama ini adalah Sipelebegu, nama yang diberikan oleh para pendatang.
Sayangnya hampir di seluruh Nias saat ini, tak ada seorang warga maupun satu komunitas penduduk menjadi menganut agama kepercayaan lokal tersebut. Tidak seperti halnya beberapa penganut aliran-aliran kepercayaan asli Nusantara lainnya seperti di Jawa yang beberapa tergolong mudah dijumpai—kendati nasibnya di ambang kepunahan—misalkan penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat atau Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Semua peninggalan Ere (sebutan bagi pemuka agama Fanömba Adu) sudah tinggal jejak-jejak dan sejarah dalam ingatan kami,” ujar seorang kawan Nias, Febriwan Harefa.
Ujarannya bagai sekadar memperhalus ungkapan lain bahwa ‘agama nenek moyang saya telah benar-benar punah’.
Pulau Nias merupakan daerah terluar bagian barat Indonesia yang saat ini dihuni 90% penduduk beragama Kristen Protestan. Sedangkan 10% lainnya adalah para penganut Islam, Katolik dan Budha yang kebanyakan bermukim di wilayah perkotaan, seperti Kota Gunungsitoli dan ibukota empat kabupaten lainnya di seluruh Nias, seperti Telukdalam, Gidö dan Lahewa. Sedangkan keberadaan penganut agama Fanömba Adu sudah benar-benar tamat. Hal itu adalah akibat gencarnya para misionaris Jerman yang ditandai sejak kedatangan seorang E.L. Denninger pada 1865 M.
Kendati, sebagaimana catatan Pastor Johannes M. Hammerle dalam buku Asal-usul Masyarakat Nias (Cet. II, 2016), mula-mula upaya E.L. Denninger membutuhkan tempo hingga sembilan tahun lamanya untuk menasranikan seorang manusia suku Nias untuk merelakan diri dibaptis menjadi kristiani.
Pada saat E.L. Denninger yang dibantu beberapa misionaris yang menyusul datang dari Eropa untuk melancarkan misi Kristen ke Nias, sebagian banyak patung-patung tuhan Fanömba Adu dimusnahkan. Sesungguhnya ono Niha mampu melakukan perlawan, bahkan tak jarang peristiwa-peristiwa sengit dan tragis terjadi. Para misonaris, pendeta-pendeta dari Eropa seringkali dibuang ke hutan oleh penduduk, sebagian lagi tunggang-langgang pulang kampung. Pada titik 25 tahun keberadaan Denninger c.s., barulah 706 penduduk Nias mulai meninggalkan Fanömba Adu dan menyatakan diri sebagai kristiani.
Puncaknya pada tahun 1916, seluruh penduduk Nias dibaptis massal. Peristiwa pembaptisan besar-besaran yang pernah ada di Nias itu dikenal dengan momentum Fangesa Sebua (pertobatan massal). Suksesnya misi tak lepas dari usaha-usaha Belanda dalam memenangkan situasi di seluruh Nias pada masa itu, ditopang banyaknya pemuda-pemudi Nias yang ikut andil sebagai misionaris lokal, sehingga cukup mempermudah upaya-upaya kristenisasi.
Dalam buku dan catatan, juga lisan orang Nias saat ini, Fanömba Adu dianggap bukan agama—lebih sebagai laluan sejarah pemuja roh dan berhala nenek moyang dalam adat kuno.
Kini termanifestasikan dalam nilai budaya menghormati leluhur yang telah berkombinasi dan melebur dalam cara-cara Kristen. Sehingga citra Kristen di Nias cukup unik dibandingkan daerah lain.
Saya sering mendapatkan kalimat seperti ini di Nias: “Agama, di Nias baru ada sejak abad yang lalu”. Seolah keberadaan agama Fanömba Adu sebagai sistem religi ono Niha dan mengakar selama berabad-abad bukan sebuah agama. Mungkin anggapan ini bertolak dari jenis-jenis agama yang diakui negara.
Saya juga tidak menafikan keberadan agama lain yang dianut suku Nias sebelum Kristen. Misalnya informasi yang mengemukakan bagian utara Pulau Nias pernah berada dalam kekuasaan kesultanan Samudera Pasai, walau dalam informasi tidak menyebutkan jumlah pengikut agama yang diakui kesultanan Samudera Pasai.
Jejak Agama Fanömba Adu
Ajaran Fanömba Adu memiliki kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa atas dan dewa bawah semesta alam, kekuatan gaib, roh halus, kuasa arwah nenek moyang, kekuatan alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Kepercayaan ini dibuat dalam wujud yang dapat diindera seperti patung, mökö-mökö, pohon, sungai, angin, binatang dan manusia.
Dewa-dewanya adalah Lowalangi sebagai raja segala dewa dari dunia atas, Lature Danö raja dewa di dunia bawah, dan Silewe Nasarata yang melindung para Ere.
Hal yang mudah untuk menemukan jejak Fanömba Adu hari ini adalah dengan mengamati beragam unsur adat, Nias cukup kuat memegang teguh adatnya dan nilai warisan leluhur. Bagaimana mitos-mitos kuno warisan leluhur tetap diamini dalam penghayatan hidup mereka, juga puisi kuno (‘hoho’) dan kitab hukum adat yang diberdayakan oleh bangsawan (‘si’ulu’) pada owasa dan acara-acara lain seperti upacara penikahan.
Di dalam hoho diurai nenek moyang ono Niha berasal dari langit. Leluhur orang Nias berasal dari langit yang diturunkan ke sebuah tempat bernama Gömö—sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Nias yang lokasinya berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan.
Begitu pula dengan rumah-rumah adat (omo Niha) beserta relief-relief di dalamnya, juga masih adanya para siulu yang dihormati masyarakat sampai kini merupakan nilai-nilai Fanömba Adu, walaupun hari ini semua aspek tradisi sudah dipengaruhi cara pandang Nasrani.
Demikian pula sistem pemakaman di Nias, meletakkan kuburan di bagian rumah, adalah bagian dari nilai Fanömba Adu. Kendati sudah bernisankan salib, kuburan-kuburan diletakkan di halaman atau di ruang tamu bagian dalam rumah, baik itu di kota maupun di pedesaan. Biasanya kuburan suami-istri berjajar dan berhulu ke muka rumah. Artinya supaya makam mendiang tidak berjauhan dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Bila kangen, langsung ziarah ke halaman atau ruang tamu.
Bedanya, Fanömba Adu tidak mengenal adat kuburan. Menangani jenazah tergantung kasta, jenazah bangsawan disemayamkan dalam peti dan diletakkan di rumah. Bagi jenazah jelata, ditidurkan di ranjang gantung atau kursi gantung di hutan. Setelah mayat “membusuk”, tulang-belulangnya diambil kembali oleh keluarga dan ditaruh di dinding rumah. Masyarakat Nias mengenal tradisi penguburan sejak masuknya Kristen. Baru-baru ini, mulai ada wacana peraturan daerah tentang pemakaman umum di Nias.
Sebagai agama penyembah berhala, para tokoh leluhur divisualkan dalam bentuk pahatan kayu. Mereka nenek moyang orang-orang Nias yang dikuduskan dan dipecaya memiliki mukjizat tinggi. Para leluhur memiliki petuah-petuah suci yang tercatat dalam hoho dan menjadi pedoman penganut Fanömba Adu. Hingga hari ini, petuah-petuah itu dijadikan pedoman hidup masyarakat Nias.
Di antara sekira 10 macam patung leluhur sebagai berhala orang-orang Fanömba Adu bernama Adu Zatua, merupakan leluhur berjenis kelamin laki-laki, paling agung di antara yang lain. Adu Zatua merepresentasikan bapak. Dalam hoho disebutkan jantung Adu Zatua yang telah mati dapat berbicara, jantung itulah yang kemudian terus berfirman kepada anak-anaknya.
Adapun jenis kelamin patung-patung leluhur dapat dikenali dari bentuk penutup kepala berhala-berhala, pemakaian anting-antningnya, juga alat-alat vitalnya yang beberapa di antaranya dalam pahatan sangat mencolok. Demikianlah sekilas tentang Fanömba Adu, sebuah agama asli Nias yang kini punah.[]