Stanley Khu (Pengajar Antropologi Universitas Diponegoro, alumni Jawaharlal Nehru University, India)
Belum lama ini kita menyaksikan perayaan Hari Raya Waisak di Candi Borobudur yang memang rutin diadakan tiap tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Waisak di Borobudur kali ini juga penuh dengan gegap-gempita dan aneka atribut yang telah menjadi semacam standar, yang paling utama adalah lampion. Tapi, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, ada satu atribut yang secara konsisten luput dipasang, terutama bagi perspektif yang kritis: chattra, atau ornamen payung yang secara tradisional menghiasi sebuah stupa (Harvey, 1984).
Persoalan tentang harus dipasang atau tidaknya chattra pada stupa induk Borobudur yang terletak di level paling atas candi adalah polemik yang boleh dibilang sudah tua, setua usia proyek perdana pemugaran Borobudur itu sendiri. Alkisah, ketika seorang insinyur Belanda bernama Theodoor van Erp pertama kali memugar Borobudur pada 1907, dia memutuskan untuk memasang sebuah chattra di atas stupa induk, mengikuti tradisi Buddhis pada umumnya. Tapi, setelah mendapat saran yang meragukan faktualitas tentang keberadaan chattra pada awal berdirinya Borobudur di era Shailendra, van Erp lantas mencopot chattra dan membiarkan Borobudur tampak sebagaimana kondisinya sekarang.
Dari fragmen historis ini, kita memperoleh satu kesimpulan awal, yakni, untuk mengutip Abu El-Haj (2002) dalam studinya tentang kerja-kerja arkeologi Israel di Palestina: perihal kuasa hegemonik dari sains dalam menentukan apa yang benar dan nyata bagi masyarakat, terutama dalam kasus arkeologi, yang memiliki kemampuan dalam memproduksi fakta melalui artefak (Abu El-Haj menyebutnya arte(fakta)). Dalam hal ini, persepsi tentang wujud ideal Borobudur tidak lagi merupakan ranah otonom dari kelompok yang paling erat klaim dan asosiasinya dengan candi ini (yakni: Buddhis), tapi perlahan-lahan menjadi domain eksklusif ilmuwan.
Partisipasi sains semisal arkeologi dalam situs-situs historis tentu merupakan sesuatu yang konstruktif dan produktif. Tidak ada keraguan perihal poin ini. Tapi, apa yang barangkali tidak boleh lupa untuk dipertimbangkan adalah isu soal ketimpangan relasi kuasa Foucauldian antara dua komunitas: religius dan saintifik. Penekanan sains pada fakta, tak bisa dipungkiri, adalah salah satu sumbangsih terbesar dalam kemajuan umat manusia, baik dari segi material (temuan-temuan teknologis) maupun kognitif (cara berpikir objektif yang menolak segala prasangka rasis tanpa basis ilmiah). Namun, faktualitas yang empirik juga berisiko menafikan elemen krusial lainnya yang menyusun eksistensi manusia: budaya dan/atau religi.
Isu ini membawa kita ke persoalan lebih lanjut ihwal relasi antara tradisi religius dan materialitas, atau lebih tepatnya: bagaimana sebuah tradisi pemikiran memaknai objek material. Saat ini, objek material tidak lagi dipandang sebagai pasif atau sekadar ‘benda mati’. Misalnya, perspektif Latourian memandang objek material sebagai sesuatu yang agentif, dalam artian bahwa hal-ihwal semisal mobil dan gawai punya agensi untuk mengubah atau memengaruhi cara kita menjalani kehidupan. Perspektif semacam ini berjasa dalam membantu kita melampaui dikotomi kaku subjek-objek. Meski begitu, perspektif ini tidak melangkah terlalu jauh sampai, misalnya, menyimpulkan bahwa objek material adalah sesuatu yang ‘hidup’. Dengan kata lain, ia bukan ‘benda mati’, tapi tidak tepat pula disebut ‘hidup’.
Kita bisa mengontraskan ini dengan cara Buddhisme memahami materialitas, terutama melalui ritual Buddhabhiseka. Buddhabhiseka dipraktikkan di berbagai lokasi geografis (Asia Tenggara, Selatan, Timur, Himalaya), dan bisa disimpulkan sebagai keyakinan umum yang tidak eksklusif pada kelompok mazhab tertentu. Aspek utamanya adalah pelukisan sepasang mata pada patung Buddha, sehingga Buddhabhiseka juga dikenal sebagai ‘ritual membuka mata’. Pelukisan sepasang mata ini adalah ritual konsekrasi untuk membuat patung ‘hidup’ (logikanya, benda mati tidak bisa ‘membuka mata’).
Tujuannya tak lain adalah menghadirkan sosok Buddha secara aktual dan konkret di dunia. Terlepas dari sosok historisnya yang secara fisik telah mangkat ribuan tahun silam, Buddhabhiseka diyakini mampu menghadirkan Buddha, minimal dalam wujudnya sebagai energi kebajikan. Contoh utamanya diilustrasikan dengan amat baik dalam film Spring, Summer, Fall, Winter . . . and Spring karya mendiang Kim Kiduk. Dengan teknik shot/reverse shot yang secara berkala diterapkan dalam adegan-adegan di aula pemujaan di mana individu datang menghadap patung Buddha, penonton diberitahu secara visual bahwa apa yang terjadi bukan hanya umat yang bersimpuh untuk menyuarakan segala keluh-kesah mereka, tapi juga Buddha yang dengan penuh perhatian menatap dan mendengar ratapan mereka.
Sampai di sini, barangkali muncul sanggahan: masih masuk akal untuk membayangkan sesuatu yang hidup dalam patung Buddha karena objek ini antropomorfis, tapi bagaimana dengan objek seperti stupa yang pastinya tidak antropomorfis? Kenapa sebuah stupa harus dinaungi chattra? Apakah stupa bisa kepanasan atau legam terbakar matahari?
Sanggahan semacam ini dengan tepat menyoroti gap antara pemahaman yang saintifik dan religius. Dari perspektif keilmuan arkeologi, isu menyangkut ada atau tidaknya chattra di Borobudur adalah melulu soal faktualitas, soal memastikan secara empirik apakah di masa lalu Borobudur memang dipasangi chattra atau tidak. Di sisi lain, dalam Buddhisme, stupa diyakini sebagai simbolisasi dari pikiran atau batin Buddha (patung Buddha sebagai simbol tubuh, dan kitab Tripitaka sebagai simbol ucapan). Ini selaras dengan anjuran yang diberikan Buddha saat ditanya tentang tata-cara menghormati sosoknya. Dengan demikian, umat Buddhis tidak melihat stupa sebagai tumpukan batu belaka, tapi sebagai ekstensi dari satu sosok historis di masa lampau yang mereka akui sebagai guru junjungan.
Patut dicatat bahwa ini bukan sekadar simbolisme murni yang bisa dipahami secara struktural-simbolik belaka. Secara eksperiensial, materialitas dalam Buddhisme tidak hanya mewakili atau menandakan sebuah abstraksi, tapi merupakan sesuatu yang bermakna dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini, stupa – dalam kapasitasnya sebagai perwujudan material dari pikiran atau batin Buddha – berfungsi untuk memberi akses kepada umat dalam membayangkan kesinambungan yang aktif (baca: hidup) antara masa lalu, kini, dan depan. Dan oleh karenanya, akan masuk akal untuk memayungi stupa dengan chattra, sebagaimana tokoh-tokoh terhormat dalam tradisi India juga selalu digambarkan berada dalam naungan chattra.
Keane (2008: 124) menyatakan bahwa: “Agama mungkin tidak selalu menuntut iman, tapi agama akan selalu melibatkan bentuk-bentuk material.” Di sini, kita bisa menambahkan bahwa dalam kasus stupa Borobudur, materialitas berfungsi untuk mengingatkan bahwa meski sosok Buddha historis sudah tiada, Buddha-sebagai-kualitas (atau: Kebuddhaan) senantiasa hidup dan menjelma dalam segi-segi kehidupan manusia.
Referensi:
Abu El-Haj, Nadia. 2002. Facts on the Ground: Archaeological Practice and Territorial Self-Fashioning in Israeli Society. Chicago: University of Chicago Press.
Harvey, Peter. 1984. “The Symbolism of the Early Stupa.” The Journal of the International Association of Buddhist Studies 7 (2): 67-93.
Keane, Webb. 2008. “The Evidence of the Senses and the Materiality of Religion.” Journal of the Royal Anthropological Institute 14 (1): 110–127.