Beranda Publikasi Kolom Bergoyang Sambil Berdoa: Menelisik Relasi Musik Dangdut dan Religi

Bergoyang Sambil Berdoa: Menelisik Relasi Musik Dangdut dan Religi

2585

Oleh: Michael HB Raditya (Peneliti di LARAS: Studies of Musics in Society dan editor Jurnal Kajian Seni, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Sudah menjadi kelaziman jika orientasi pasar Orkes Melayu di Pantura seakan berubah sejenak ketika mendekati hari raya lebaran. Dari penampilan panggung dengan goyang yang tiada tanggung, busana biduanita yang kerap membuat mata terbelalak, hingga lirik lagu yang multi tafsir dan sering membuat orang salah kaprah, Orkes Melayu di Pantura seakan berubah haluan satu bulan menuju puasa.

Penjaja cakram padat—baik VCD ataupun DVD—menjadi saksi di mana barang dagangan yang terdisplay berubah pada bulan-bulan tersebut. Pun hal ini dapat ditandai dengan mudah dari kover DVD atau VCD yang dijual, yakni dari potret tubuh seksi biduanita menjadi biduanita yang mengenakan hijab, [terkadang] lengkap dengan para pemain musik yang berbusana jubah dan sorban ataupun peci. Sebagai ilustrasi, lihat gambar di bawah ini.

Gambar Kover Dangdut Koplo Religi

Jika cakram padat diputar, jangan harap mendengar lirik lagu-lagu dangdut lawas atau dangdut koplo lazimnya. Video yang berisi joget yang aduhai pun seakan raib. Sementara hal yang tersisa hanya pujian kepada pencipta. Lagunya pun berbeda seperti lazimnya, pada album pertama (gambar kiri atas) tersemat beberapa tajuk, semisal: “Deen Assalam”, “Ya Asyiqol Musthofa”, “Allah ya Allah”, “Sholawat Badar”, dan sebagainya. Sedangkan album kedua “lagu di kanan atas” tersemat beberapa lagu, seperti: “Perdamaian”, “Ya Robby Barik”, “Syafaat Nabi Muhammad”, “Adzan”, dan masih banyak lainnya. Sementara itu pada album ketiga tersemat beberapa judul, di antaranya: “Sajadah Panjang”, “Ada Anak Bertanya pada Bapaknya”, “Haluman”, “Khusnul Khotimah”, dan lain-lain. Lagu-lagu yang niscaya tidak ditemukan ketika panggung dangdut koplo lazimnya.

Tidak hanya itu, mereka mengimbuhkan terma “Religi” pada kover dari album tersebut, baik diletakkan setelah nama orkes melayu, seperti: Sera Religi, Aurora Religi, dan masih banyak lainnya; ataupun dijadikan tema dari album, seperti pada gambar kover New Pallapa di atas. Dari data penjualan yang dilakukan oleh salah satu penjaja di Pasar Legi di Jombang, Pak Joko (bukan nama sebenarnya), di mana pembelian album religi cukup tinggi. Pun hal ini saya buktikan dengan kerap disetelnya lagu-lagu tersebut beberapa jam menjelang berbuka puasa, baik dari kalangan masyarakat, radio dangdut lokal, ataupun di pasar itu sendiri.

Namun setelah lebaran usai, album dangdut religi ini tidak lagi terdisplay di meja utama penjual, melainkan dikumpulkan ke dalam rak tertentu. Album tersebut baru diperlihatkan jika ada yang menanyakan. Jika tidak, maka album dangdut koplo non religilah yang terdisplay secara rapi.

Lantas, bagaimana fenomena ini dibaca? Bagaimana relasi dangdut dan religi?

Relasi Dangdut dan Religi dalam Islam dan Kristen

Orang pertama yang secara gamblang menautkan dangdut dengan religi—khususnya Islam—adalah Oma Irama. Berdirinya Orkes Melayu Soneta menjadi tanda yang jelas dari hal tersebut. Khususnya pada tahun 1973—setelah dua tahun berdiri—, Oma mendeklarasikan semboyan The Voice of Moslem pada orkesnya (Shofan, 2014: 100). Singkatnya, nilai keislaman dan musik sebagai dakwah menjadi agenda dari orkes tersebut. Hal itu ia buat juga disebabkan kejengahan pada citra artis panggung yang selalu tertaut dengan minuman keras, narkotika, dan pergaulan bebas.

Oma mengganti orientasi musiknya secara perlahan tapi pasti. Puncaknya adalah pada tahun 1975, di mana sesudah Oma menjalankan ibadah haji. Pada tahun yang sama, Oma Irama menambahkan namanya dengan dua gelar, yakni Raden dan Haji. Sejak saat itulah namanya menjadi Rhoma Irama (Weintraub, 2010: 87). Penyingkatan ini dilakukan karena ia merasa resah dipanggil dua nama tersebut oleh banyak kalangan (Shofan, 2014: 48). Dari situlah Raden dan Haji disingkat dan menyatu dengan nama Oma Irama.

Tidak hanya dengan namanya, Rhoma juga mengganti orientasi penampilannya. Dari Oma Irama yang meledak-ledak dalam bertutur, berambut gondrong tergerai, kemeja ketat dan celana cutbray, mesra dengan para penyanyi perempuan, minuman beralkohol yang tidak terlewat; menjadi Rhoma yang tenang, dengan rambut gondrong terpangkas, menyisakan jenggot di dagunya, bercelana dan kemeja longgar dengan sorban terlilit di bahunya, ada jarak dengan penyanyi, dan tiada minuman keras yang sebelumnya menjadi langganan (lihat Frederick, 1982: 115).

Bahkan Rhoma mengajak semua personelnya untuk meyakini jalan yang ia kehendaki. Rhoma mengatakan ke personelnya, “Mulai hari ini, tidak ada lagi yang meninggalkan shalat. Tidak ada lagi botol minuman di pentas musik. Yang mau ikut, jabat tangan saya. Yang tidak, silakan keluar!” (lihat Shofan, 2014: 102). Sikap Rhoma di atas tentu menegaskan keseriusannya dalam mengelaborasi visi bermusiknya.

Namun hal tersebut tidak langsung diterima. Pada tahun 1979, Rhoma tercatat sebagai orang yang pertama kali menyapa massanya dengan salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Oleh karena hal tersebut dianggap tabu di atas panggung, maka Rhoma mendapatkan ganjaran berupa batu, lumpur, sandal yang menyasar ke dirinya (Shofan, 2014: 106). Buntut dari hal tersebut adalah perkelahian Rhoma dengan seorang penonton yang mengumpat apa yang ia bela.

Tidak hanya itu, pada tahun 1983, MUI menyatakan jika menyanyikan Al-Quran hukumnya haram. Rhoma yang baru saja meluncurkan album La Illaha Ilallah tertampar atas pernyataan tersebut (Shofan, 2014: 109). Buntut dari hal tersebut adalah mediasi yang dibuat MUI untuk mempertanggungjawabkan tindak tanduk Rhoma tersebut. Alih-alih dicekal, setelah presentasi, MUI memutuskan untuk mendukung langkah Rhoma karena dianggap tidak melakukan kekeliruan. Bahkan MUI meminta Rhoma untuk memperbanyak lagu bernafaskan Islam (Shofan, 2014: 109). Selain itu, pencekalan dari pelbagai lini juga kerap terjadi, tetapi Rhoma tetap setia dengan jalan yang ia yakini.

Setelah balada Rhoma Irama, relasi dangdut dan religi—khususnya Islam—semakin tebal. Buntutnya penyanyi dangdut di Jakarta lumrah untuk menempuh cara serupa, baik dari penampilan ataupun lirik lagu. Apalagi hal ini didukung dengan Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI), organisasi yang dibuat olehnya. Ditambah Rhoma juga rutin mengadakan pengajian, yang kerap dihadiri tidak hanya personelnya, tetapi juga biduan, biduanita, serta personel kelompok dangdut lainnya. Dampak dari hal ini adalah efek Rhoma Irama yang niscaya juga tersebar di organisasi tersebut. Singkat kata, dangdut dan Islam mempunyai tautan yang telah lama dibina dan terus dirawat. Alhasil tidak mengagetkan jika dangdut lazim digunakan oleh para biduan atau biduanita dalam berdakwah.

Selain Islam, relasi dangdut dengan agama lainnya tidak kalah penting dicatat, semisal dangdut dan Kristen. Beberapa umat gereja juga membawakan dangdut rohani, semisal mendiang Lies Saodah yang mempopulerkan lagu berirama dangdut untuk memuji Tuhan. Lagu Lies Saodah yang bernuansa dangdut pun kerap dinyanyikan ulang, salah satunya dari trio dari Batak, The Bless Trio. Selain Lies, pada tahun milenium, antara tahun 2009[1], Jason Irwanto juga membuat lagu dangdut rohani bertajuk “Pujian Hanna” yang tergabung pada album Tuhan Selalu Punya Cara.

Sementara EP[2] terbaru yang membawakan dangdut rohani adalah Barry Likumahuwa. Musisi Jazz ini membuat lagu rohani bersama orkesnya, O.M. Sembah raja. Menjelang Natal tahun 2019, Barry merilis EP dengan tajuk Dangdut Worship. Pada album tersebut, Barry turut mengundang beberapa penyanyi dangdut, semisal Erie Suzan ataupun Yopie Latul, maupun penyanyi genre lainnya, semisal Albert Fakdawer, Nesia Ardi, Teddy Andrew, dan Viona Paays.

Gambar Album Dangdut Worship

Proyek perdana dangdut rohani ini Barry lakukan dengan harapan lebih kontekstual dengan masyarakat. Menurut penuturan Barry, “Gw [saya] ingin mencoba dan menambah di dalam dunia musik itu sendiri. Bagaimana sih rasanya dan esensinya pujian dan penyembahan diiringi musik dangdut.” Lebih lanjut, Barry mengamini jika musik dangdut didengarkan oleh pelbagai kalangan, alasan itu juga lah yang menjadi alasan Barry membuatnya.

Kendati demikian, sempat terdapat keraguan atas relasi genre musik dengan religi. Barry pun ikut merasakan, “Banyak orang yang bilang ga [tidak] mungkin dan ga [tidak] bisa, tapi Gw [saya] percaya bahwa genre apa pun bisa kita pakai untuk memuliakan nama Tuhan. Semua tergantung gimana sikap hati kita waktu kita ingin menyembah dan memuliakan nama-Nya”[3].

Dari pernyataan tersebut, Barry seraya menegaskan jika genre musik adalah medium, dan dapat digunakan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Barry Likumahua bisa dianggap serupa dengan Rhoma Irama, yakni tetap mempercayai musik dangdut dapat digunakan sebagai puji-pujian kepada Tuhan YME. Namun, hal yang berbeda adalah Barry tidak—atau paling tidak, belum—menghadapi pelbagai kecamuk pertentangan seperti yang dirasakan oleh Rhoma Irama ketika berkarier. Di mana pelbagai tudingan seperti komersialisasi agama dituduhkan kepadanya.

Dari dua contoh relasi agama dan dangdut di atas, hal ini tentu menarik dan memiliki kompleksitasnya masing-masing. Namun, jika kembali pada studi kasus yang dinarasikan pada awal tulisan, lantas apakah dangdut religi hanyalah upaya dalam rangka semata? Apakah mereka sudah barang tentu melakukan komodifikasi? Atau jangan-jangan ada realitas lain yang dapat dipetik dari dangdut religi?

Bukan Sekadar Komodifikasi

Komersialisasi[4] agama yang dituduhkan kalangan agama dan masyarakat terhadap Rhoma Irama, juga dengan sangat mudah dituduhkan kepada orkes melayu di Pantura. Perubahan orientasi secara sekejap membuat kecurigaan beberapa kalangan semakin tebal, walau beberapa kalangan tetap menikmatinya. Persis dengan komodifikasi yang berarti proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar (Mosco, 1996: 57). Lebih lanjut, sebuah benda atau jasa menjadi suatu komoditas, yang sudah barang tentu mengikuti aturan pasar. Disadari atau tidak, efek yang cukup berbahaya dari komodifikasi agama adalah membuat konsumennya mendefinisikan kembali agama sebagai suatu komoditas pasar yang dipertukarkan (Kitiarsa, 2008:6).

Namun, saya ingin menghentikan arah pembahasan komodifikasi agama kepada dangdut. Kita semua sudah tahu hilirnya, yakni mereka melakukan komodifikasi agama. Hal yang memang lumrah di Indonesia, mulai dari acara hiburan di televisi hingga kontestasi politik sekalipun. Saya justru tertarik dengan dangdut yang bisa switch—beralih atau berpindah—orientasi secara sekejap. Lebih lanjut, saya menyoal tentang orkes melayu dangdut koplo yang saya bahas di awal tulisan. Bukan kah sangat menarik bagaimana mereka bisa berpindah haluan dalam waktu beberapa bulan, kembali lagi setelah hari raya berlalu, dan itu berulang di setiap tahun.

Atas kecenderungan tersebut, Saya merujuk buku Ariel Heryanto yang bertajuk Identitas dan Kenikmatan. Ariel mencontohkan bagaimana pemudi berjilbab yang menampilkan nyanyian dan tarian Korea di depan umum. Ia juga menanyakan kepada mereka, apakah terdapat kejanggalan atau pertentangan antara menjadi seorang muslim yang baik dan menjadi anggota aktif sebuah kelompok penggemar, mereka menjawab dengan tegas “tidak” (2015: 275). Walau komentar tidak menyenangkan tidak terelakkan.

Bagi Heryanto, beberapa Muslimah muda ini kembali mengejutkan publik dengan menambahkan satu lapis identitas dan pakaian di atas pakaian islami mereka. Mereka mengeksplorasi dan membangun sebuah identitas yang baru sebagai manusia modern dan kosmopolitan (2015: 275). Singkat kata, identitas yang menempel pada perempuan tersebut tidaklah tunggal, melainkan berlapis, walau terkadang saling bergesekan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk saling berkelindan.

Terinspirasi dari hal tersebut, saya mengonversinya pada orkes melayu dangdut koplo dengan album religi dan non religi-nya. Keleluasaan kelokan atau peralihan tersebut saya anggap sebagai identitas berlapis dari para musisi ataupun biduan/biduanita orkes melayu. Pasalnya, jika merujuk pada praktik mereka, di atas panggung mereka memang seorang penghibur, tetapi dalam lingkup agama, mayoritas dari mereka beragama Islam. Hal itu juga lah yang membuat mereka di bulan Ramadhan menghentikan aktivitas panggung mereka. Jika ada pun, justru pujian-pujian kepada Allah SWT lah yang mereka sajikan, walau dengan iringan dangdut koplo.

Jika diilustrasikan, maka di antara identitas keagamaan, mereka menambahkan identitas dangdut di dalam diri mereka. Hal tersebut membuat kelokan dan peralihan tersebut tidak terlampau sulit dilakukan. Namun, tentu pandangan miring selalu menyertai mereka—terlebih praktik komodifikasi agama—, tetapi di saat yang bersamaan, mereka mengejawantahkan identitas berlapis yang niscaya dimiliki oleh banyak orang—walau dengan variabel identitas yang berbeda-beda.

Hal lain yang cukup menarik diartikulasikan, penonton yang lazim menyaksikan mereka dalam panggung non religi tidak memiliki keberatan atas album religi tersebut. Para penggemar justru membelinya, memutarnya ketika mendekati jam buka puasa ataupun setelah Salat Tarawih. Usut punya usut, aktivitas memutar video musik atau mendengar radio dangdut memang sudah lazim dilakukan masyarakat di keseharian mereka. Maka kebiasaan itu terus berlanjut, walau di bulan Ramadhan dengan DVD orkes melayu dangdut koplo versi religi.

Menurut saya, hal itu juga lah yang membuat perubahan signifikan tersebut bukan sebagai momok, tetapi justru menjadi pintu masuk penggemar untuk juga mengamini dan merayakan lapisan identitas mereka. Di sisi yang lain, saya juga mencurigai, jangan-jangan dangdut tidak hanya sekadar musik, tetapi mereka juga telah menjadi cara ungkap dalam mengartikulasikan kedirian seseorang. Ya, saya bisa berdoa sambil bergoyang, atau bergoyang sambil berdoa.[NI]

 

Catatan Kaki

[1] Pertama kali diunggah di YouTube, dengan tautan https://www.youtube.com/watch?v=oI_vsgmUo2g

[2] EP singkatan dari extended play. EP merupakan rekaman musik yang mengandung lebih dari satu track atau singel, namun terlalu pendek untuk dikatakan album. Lazimnya EP memiliki 4 – 7 lagu.

[3] Didapat dari wawancara Barry pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=g40JBMGpGPc&t=217s

[4] Pada kasus ini, saya lebih cocok menyebutnya sebagai komodifikasi.

 

 

Referensi

Frederick, William. 1982. “Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture”. Indonesia vol. 34, hal 103-130.

Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG.

Kitiarsa, Pattana (ed.). 2008. Religious Commodification in Asia: Marketing God. London: Routledge.

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economi of Communication: Rethingking and Renewal. London: Sage Publications.

Shofan, Moh. 2014. Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada. Depok: Penerbit Imania.

Weintraub, Andrew N. 2010. Dangdut Stories: A Social dan Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini